Catatan Broken Home

Langit jingga
Chapter #3

2. Peduli Apa?

Perjodohan?

Satu kata itu berputar-putar dalam kepala membuatnya mual. Dia dan pria Granada itu dijodohkan? Omong kosong macam apa itu? Tak bisa ia bayangkan jika hidupnya dihabiskan bersama pria yang mulutnya seperti mercon, bisa-bisa telinganya rusak lebih cepat.

Ya, mungkin itu hanya akal-akalan Sean saja. Karena ayahnya tidak mengatakan apapun sepulangnya dari rumah Sean. Bahkan saat sarapan yang biasanya jadi ajang diskusi keluarga, ayahnya tidak membahas tentang Sean.

"Keyra....Keyra Felizka..!!"

Perlahan-lahan suara lantang itu menyergap di telinga, tapi Keyra enggan jika harus membuka mata. Sambil menerka-nerka pemilik suara itu Keyra membawa dirinya ke dunia nyata. Tidak, itu bukan suara ayahnya.

"Keyra! Astaga, kamu!"

Keyra terkesiap. Teriakan dan gebrakan meja membuat jantungnya meloncat keluar. Gelak tawa teman-temannya memenuhi ruangan, dan Keyra baru sadar jika dia tertidur di dalam kelas. Sosok laki-laki dengan kumis tipis berkaca mata adalah objek pertama yang ia lihat.

Sial, keyra memaki dalam hati. Beraninya dia tidur di jam pelajaran sejarah, Si guru Killer.

"Sepagi ini kamu sudah tidur di kelas? Kamu habis ronda, huh?"

Keyra membungkuk meminta maaf.

"Kamu bahkan mengigau. Ya Tuhan! Keliling lapangan tujuh kali, sekarang!"

Apa?

Ingin rasanya protes, tapi itu hanya akan menambah kesulitan.

Keyra melangkah pasrah diiringi seru-seruan teman-temannya. Ketika sampai di pintu, seseorang justru baru datang mengalihkan perhatian Si killer dan anak-anak. Keyra melirik seseorang itu saat berpapasan.

"Sean Pradana, Si pria Granada, kamu baru datang? Dari mana saja kamu?" Pak Arif menatap Sean sambil melipat kedua tangan di dada.

"Buang air besar. Saya tidak bisa berhenti begitu saja walaupun bel berbunyi, 'kan?"

Anak-anak tertawa geli dengan jawaban polos Sean. Tanpa basa-basi Si killer menyuruh Sean mengelilingi lapangan. Tapi entah bagaimana wajah Sean justru terlihat sumringah.

Keyra sudah lari lebih dulu di lapangan seluas 32x14m itu. Sean menyamakan posisi dengan Keyra, menyapa gadis itu, tapi Keyra bergeming seolah tidak menyadari kehadirannya.

"Kenapa kamu dihukum?"

Sambil terus berlari Sean melirik Keyra. Angin yang berhembus menerbangkan beberapa helai rambutnya yang keluar dari ikatan. Di bawah cahaya matahari pagi, gadis itu tetap terlihat cantik. Jika di film-film adegan seperti ini dibuat slow motion dengan diiringi lagu romantis seperti saat adegan Dr. Kang bertemu Si Big boss di Urk yang berlatar lagu Kim Na Yeong. Membayangkan itu Sean tertawa sendiri. Ia adalah laki-laki penggemar drama Korea.

"Tidak bawa PR? Makan permen di kelas? Atau kamu tidur?"

Tak ada yang berubah. Mulut Keyra terkunci rapat bak kerang dan pandangannya lurus ke depan sambil mengatur napas.

"Ya, ya, ya kamu tidak perlu menjawab, aku bicara dengan angin." Sean berlari mendahului Keyra. Merentangkan tangan sambil berteriak-teriak tak jelas.

"Angin oh angin....kenapa aku bisa merasakan kehadiranmu meskipun kita tidak bisa saling melihat? Tidak seperti dia yang bisa melihat tapi tidak dirasakan keberadaannya. Waaaa...angin, aku mencintaimu," teriak Seam sambil berlari dan merentangkan tangan. Seperti anak kecil yang bermain pesawat-pesawatan.

Keyra yang melihat itu tersenyum sinis. Merutuki betapa kekenakannya sikap Sean. Untuk ukuran murid baru Sean memang memang tak tahu malu, sok akrab, banyak bicara dan menyebalkan. Keyra tak habis pikir, ada laki-laki di dunia ini yang seperti Sean. Anehnya, orang-orang malah menyukainya. Seperti murid baru kebanyakan, Sean mendadak jadi idol di sekolah. Karena itulah Keyra berani bilang pada Paman Bram tidak ada wanita yang tidak menyukainya kerena sudah tak terhitung berapa kali Keyra melihat adik kelas atau teman-teman sekelasnya memberi Sean hadiah sekedar roti atau cokelat. Mungkin hanya ada satu perempuan yang tidak menyukai Sean, yaitu dirinya.

"Pria aneh!" Hanya itu yang keluar dari mulut Keyra. "Awww...!"

Tiba-tiba Keyra jatuh terduduk. Kakinya lemas dan kaku, rambutnya sudah basah oleh keringat. Masih ada dua putaran yang tersisa. Melihat lapangan yang terbentang di depannya membuat Keyra menghela napas berat.

Tahu-tahu Sean berdiri di depannya dan mengulurkan tangan. Keyra menatap tangan dan wajah pria itu yang tertimpa cahaya matahari secara bergantian. Tangannya kukuh terkesan kuat, tapi Keyra memilih menepis tangan itu dan mengembalikan tenaga. Berlari mendahului Sean.

"Terkutuklah kamu, Keyra!" gerutu Sean. Ia kembali bergerak lebih cepat menyusul Keyra dengan mudah. Saat ia menoleh untuk memastikan seberapa jauh Kerya tertinggal, Keyra sudah kembali berjongkok dengan terengah-engah. Sean kembali mundur. Meski sebal hatinya berkhianat untuk tidak peduli. Kali ini Sean melepas dasi dan mengulurkannya pada Keyra. Wajah lelah gadis itu tampak ragu. Sean bersumpah akan melilitkan dasi itu di leher Keyra jika dia kembali menolak.

Namun ekspresi wajah Sean seketika berubah manakala Keyra memegangi dasinya erat-erat. Berdiri dan berlari bersama. Astaga, sepertinya dia memang tidak ingin menyentuhku.

"Berapa keliling lagi?"

"Dua," akhirnya Keyra bersuara meski terkesan dingin.

"Wah luar biasa. Kamu pasti sering olahraga.

"Lumayan."

"Tapi kamu tidak akan bisa lari dariku."

Keyra mendelik lagi. Sean tertawa lagi.

"Aku sudah punya pacar."

"Ya, ya, ya Si pria basket itu 'kan? Jangan sedih, aku juga sudah punya pacar, lihat itu." Sean menunjuk ke arah sekumpulan gadis yang memakai seragam olahraga di punggir lapangan. Saat Sean mengangkat tangan, mereka langsung berteriak-teriak memanggil nama Sean sampai hukuman selesai.

Keyra benar-benar tak mengerti ketika salah satu dari mereka memberi Sean minuman dingin dan sepotong roti isi. Sean menerimanya tanpa merasa bersalah. Benar-benar menikmati kepopulerannya.

"Terima kasih—"

"Indah, namaku Indah," ujar gadis itu riang.

"Ah ya? Indah, aku sedah kehausan jadi aku terima."

"Ya, aku senang, semoga kamu suka."

Keyra memperhatikan interaksi kedua orang itu dengan wajah mengernyit. Gadis bernama Indah itu begitu senang seperti baru menghadiri meet and great bersama aktris idolanya.

Sean menggeleng. Meneguk setengah air minumnya sambil mendesah dengan nikmat.

"Bukan aku yang minta apalagi mengambil, tapi dia sendiri yang memberinya." Sean menyodorkan botol minum pada Keyra. Awalnya Keyra ragu, tapi akhirnya mengalah karena tidak ada pilihan lain. Sean juga membagi roti isinya menjadi dua untuk Keyra.

"Tidak usah, Indah akan sakit hati kalau kamu membagi rotinya denganku."

Tapi Sean memaksa. Berujar jika roti itu sudah jadi miliknya jadi dia berhak untuk melakukan apapun.

"Ayolah, aku tahu kamu lapar."

Karena Keyra tak kunjung mengambil roti yang ia sodorkan, Sean terpaksa menyimpannya langsung di genggaman Keyra.

"Tidak boleh menolak pemberian orang lain, kamu mau pintu rezekimu ditutup?" katanya sok bijak namun mengancam.

Keduanya duduk di kursi taman. Angin berhembus. Pelan-pelan mengusir gerah. Sean sibuk melilit dasi sambil menggigit sisa roti isi.

"Kenapa kamu dihukum?" Keyra bertanya.

"Aku—" kalimat Sean berjeda. Roti yang digigitnya jatuh ke tanah karena ia membuka mulut. "Yah, rotinya." Sean mendesah nelangsa meratapi nasib rotinya.

Merasa bersalah, Keyra pun membagi roti isi miliknya pada Sean. Tentu saja Sean menolak, tapi Keyra langsung menjejalkan roti itu ke mulut Sean alih-alih merayu agar Sean menerimanya. Tanpa diduga, Keyra merapikan lilitan dasi Sean membuat wajah kesal Sean seketika berubah sumringah. Asik menatap Keyra dari dekat. Aduh, kalau ceritanya seperti ini Sean rela jika harus tawaf di lapangan setiap hari.

"Keyra kamu sedang apa?"

Sialan!

Adegan film romansa Sean berhenti begitu saja melihat Angga. Pria itu datang entah dari arah mana dan mengganggu. Seperti iklan yang tiba-tiba datang di tengah film. Sayangnya dia tidak bisa di skip begitu saja

"Oh, Kakak."

Kakak? Sean memasang wajah ingin muntah mendengarnya. Kenapa Keyra memanggilnya Kakak padahal mereka satu angkatan.

"Aku baru dihukum karena tidur di kelas. Kamu belum masuk?" Keyra mengalihkan pembicaraan.

"Kamu tidur dengannya?" tuduh pria berkaki panjang itu sengit sambil menunjuk ke arah Sean.

Tanpa merasa tersinggung, Sean tertawa-tawa. Ide bagus, gumamnya.

"Tentu saja tidak!"

Lihat selengkapnya