Catatan Harian Para Pembohong

hidayatullah
Chapter #1

Testimoni Bayi yang Diaborsi

Namaku Malika. Bukan!, aku bukan nama kedelai pilihan di iklan kecap yang sering kalian saksikan. Aku adalah mantan calon manusia, tepatnya janin yang mati karena diaborsi kedua orangtuaku sendiri. Untuk ketenanganku di akhirat, DIA menghapus kenanganku akan wajah ayah dan ibu. Seperti kalian duga, sebab aku adalah janin tanpa dosa maka surga adalah hakku. Aku menghuni surga dengan janin dan manusia lainnya yang beruntung, sudah mati sebelum akil baligh, sebelum amal ditimbang antara buruk dan baik.  Meski mati terlalu dini, tapi pengetahuan kami di-update dengan informasi terkini. Segala pengetahuan yang baik-baik dimasukkan ke kepala, semua pemahaman dianugerahkan untuk kami, para penghuni surga yang masih terlalu belia.

 Tapi setelah berbulan-bulan tinggal di sini, surga yang ideal dan senantiasa berisi kemudahan adalah kemewahan yang menjemukan. Obrolan antar Malaikat di saat rehat adalah obrolan yang menimbulkan kecemburuan. Betapa serunya cerita para tuan Malaikat yang bisa mengintip dunia di bawah sana. Aku tak bosan-bosannya bertanya, menggali cerita tak ideal yang ada di dunia.

“Jadi manusia bisa berkelahi karena uang?”

“Itu baru salah satu sebabnya saja Malika, manusia bisa berkelahi karena apapun.”

“Apa itu karena bisikan iblis?”

“Iblis?”

“HAHAHAHAHAHA!!”

Para Malaikat itu tertawa serempak, menimbulkan tatap kebingungan kami para penghuni baru surga. Setelah tawa mereda, Jibril, atasan para malaikat menatap kami semua.

“Iblis sudah lama kehilangan pekerjaan, manusia bisa berbuat jahat tanpa bisikan mereka, bahkan bisa dibilang kejahatan iblis kalah kreatif dengan manusia.”

Kami dibuat ternganga oleh kenyataan tersebut.

“Meski memang ada juga manusia yang lebih bercahaya kebaikannya dibanding kita.”

Tuan Jibril mencoba menetralkan kata-katanya yang terkesan terlalu menyudutkan manusia.

Tapi sia-sia, karena malaikat yang lain menambahkan pemahaman yang lebih paripurna.

“Itu sih 1 : 200 juta manusia. Mereka itu manusia-manusia mulia yang super langka.”

“Ya seperti kanjeng Nabi kita, yang termulia di antara manusia, bahkan di antara makhluk-Nya.”

Kami semua tertunduk takzim demi mendengar nama manusia paling mulia di antara makhluk disebutkan.

 Demikianlah, cerita seru para malaikat ditambah pengetahuan kami akan kehidupan yang terus di-upgrade membuat kami bagaikan lulusan kedokteran terbaik yang tak pernah melakukan operasi, seolah penyanyi bersuara kelas dunia tanpa panggung untuk bersenandung. Maka di sela-sela kami, para anak baru, bersantai sambil menyaksikan unicorn berkejaran di sela pelangi; aku mengajukan usulan untuk mengajukan permintaan turun ke bumi. 

“Kita memohon untuk jadi asisten malaikat, siapa tahu dikabulkan..”

Ternyata tak semua setuju, karena tak semuanya sebosan aku. Banyak juga yang baik-baik saja menikmati pelangi setiap hari, banyak yang tak habis pikir dengan pikiranku. Mereka yang berkomentar adalah yang mati di umur 10 atau 11 tahun, mereka yang sudah sempat mencicipi ‘serunya’ kehidupan bumi. Kebanyakan mereka adalah anak yang mati karena kerasnya hidup di jalanan, atau meninggal karena miskin dan kelaparan. Tak heran mereka mensyukuri betul keadaan di nirwana ini.

“Bersyukur saja Malika, buat apa sih kamu turun ke bumi? Tidak ada tempat yang lebih indah dari di surga.”

Lihat selengkapnya