Catatan Harian Para Pembohong

hidayatullah
Chapter #2

Kebohongan Pertama di Dunia

Ahh ternyata dunia memang lebih seru, bahkan dari tontonan yang kusaksikan lewat chip di kepala, kenyataannya jauh lebih berwarna. Tidak cuma didominasi warna-warna cerah, aura orang-orang di bumi kebanyakan berwarna suram dan kelabu. 

Ini adalah masa orientasi, hari pertama di bumi. Malika ditugaskan untuk mencatat kebohongan pertama yang dilakukan oleh anak manusia. Pembohong kambuhan dan yang sudah mahir nanti baru bisa jadi tugas Malika, jika ia sudah terbiasa dengan siasat manusia. Karena berbeda dengan para malaikat yang murni menyajikan fakta dan data tanpa melibatkan emosi, maka Malika sebagai mantan calon manusia masih harus diberi waktu untuk mengendalikan hawa nafsu.

Jadilah hari ini, alarm kebohongan hanya menyala di manusia-manusia yang baru akil baligh. Ah bahkan kebanyakan dosa pertama manusia didominasi oleh kebohongan. Meskipun menurut chip informasi Malika, dosa pertama manusia bukanlah kebohongan melainkan pembunuhan. Dosa luar biasa yang dilakukan oleh Qabil, anak Nabi Adam, yang membunuh Habil, adiknya yang baik hati, karena iri dengki. Barulah setelah membunuh, Qabil melakukan kebohongan saat ayahnya, Nabi Adam menanyakan keberdaan Habil yang tidak kunjung kelihatan.

“Tidak tahu ayahanda..”, itulah jawaban Qabil yang menjadikannya kalimat kebohongan pertama di dunia.

Qabil ini mewakili sifat-sifat buruk manusia, iri dengki, pembohong bahkan pembunuh. Tapi yang lebih pahit adalah kenyataan, bahwa dari dialah keturunan Nabi Adam bisa diteruskan. Karena sepeninggal tewasnya Habil, hanya Qabil-lah lelaki muda yang tersisa, yang lain adalah dua saudara perempuan, Iqlima dan Labuda. Maka mungkin inilah cikal bakal menapa manusia banyak bikin bencana di bumi. Kakek moyangnya sendiri sudah mengawali hidupnya dengan dosa-dosa yang luar biasa.

“Tiiiiiit! Tiiiiiit! Tiiiiiiit!”

Alarm Malika menyala terang menunjukkan sebuah lokasi yang tak jauh dari tempatnya melayang. Agaknya inilah catatan pertama di buku harian para pembohong ini. Catatan pertama yang akan diisi oleh kebohongan pertama seorang anak manusia.

Maka Malika pun meluncur ke barisan rumah sederhana yang kecil dan rapat, menyisakan gang di sela-selanya yang hanya muat untuk satu motor. Hingga jika ada dua motor saling berlawanan, harus ada yang mengalah untuk melewati gang ini bergiliran.

‘Hmm.. di bumi manusia dituntut beradaptasi dengan keadaan yang tidak serba ada.’ Malika menuju lokasi sambil mengagumi manusia yang bisa memanfaatkan keadaan tersebut dengan dua anak muda yang berdiri masing-masing di ujung mulut gang. Mengatur arus lalu lintas gang, dengan ember bekas cat di tangan untuk menampung recehan terima kasih dari pengendara yang lewat tanpa khawatir bertabrakan. Sungguh kemudahan di surga tak akan bisa menginspirasi perilaku yang kreatif seperti ini.

“Tiiiiiiiiit! Tiiiiiiiit! Tiiiiiiiiit!”

Alarm mengingatkan kalau Malika sudah hampir sampai di lokasi. Begitu makin mendekat ke tempat tersebut. Meleburlah Malika ke dalam mata seorang anak manusia, untuk mendapatkan pencatatan yang lebih obyelktif. Maka pandangan mata manusia yang sedang dicatat adalah pandangan mata Malika.

Udin masih mengucek matanya, ia menguap menatap PR Fisika di depan matanya yang terasa makin menyebalkan, makin tidak masuk akal.

 

Soal Cerita : Sebuah mobil patroli melaju di jalan tol dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam. Berapa jarak yang ditempuh mobil tersebut dalam waktu 50 menit?

 

PRET! Soal Cerita apaan nih?, mana ada ceritanye kalo ada mobil patroli kita malah ngitung-ngitung gak jelas? Kalo ada pelokis* ya cabut*lah!

*Pelokis? Oooh itu adalah bahasa tongkrongan dari Abang-abangan Udin di lingkungan. Istilah untuk menyebut polisi.

*Cabut? Oke dalam konteks ini berarti segera pergi, menghindari kejaran polisi. Chip Malika sibuk memberi pemahaman.

 Malika tersenyum, makin kagum dengan kreatifitas manusia, bahkan ada yang namanya bahasa tongkrongan.

Catatan Udin masih bersih, memaki pelajaran tidak masuk klasifikasi dosa yang harus dicatat Malika,

“Din, udah sholat belom?” terdengar suara Emaknya dari luar pintu kamar. Bukan gambaran pintu yang ada di kumpulan informasi yang didapat Malika, yang disebut pintu hanyalah korden kain yang disampirkan, tanpa ada kotak kayu persegi panjang apalagi kunci.

“Isya dulu Lo sono, cepetan!”, tirai kain tersibak, kini Bapaknya sudah ikut-ikutan dengan intonasi suara yang lebih menyentak.

“Udah Mak.. Udah Pak tadi pas banget ajan, pas Emak-Bapak blom pulang.”

Udin yang nyatanya belum sholat menjawab tanpa berpikir, tanpa berubah air mukanya. Maklumlah Udin sudah belajar bahwa bukan jawaban jujur yang diharapkan Emak-Bapaknya. Jawaban yang menyenangkan, jawaban yang menenangkan, jawaban yang gak bikin gagang sapu mampir ke pantat dan pahanya.

“Eh ngejawab aje lo! Lo pikir Emak sama Bapak Lo ampe isya blom pulang buat ngayap gak perlu kayak lo hah!!!?”

Kalimat tanya dengan intonasi yang lebih banyak tanda serunya. Udin lolos dengan kebohongan sholatnya, tetap saja tidak lolos dengan kemarahan orangtuanya, yang kelelahan mencari penghidupan di luaran.

Ini bukan kebohongan pertama Udin, menurut catatan Malika Udin belajar berbohong sejak dini dari Emaknya yang suka mengurangi timbangan belanjaan di warung kecilnya di pasar.

“Pak Ustadz bilang, ngurangin timbangan bisa masuk neraka Mak.”

“Alah Ustadz Romli itu punya banyak utang di warung, Emak aja sampe bosen nagihnye. Impaslah kalo Emak kurangin timbangannya.”

Lihat selengkapnya