Malika memulai hari kedua dengan semangat, ia ingin mencatat kebohongan yang bukan kebohongan. Ia berada di barisan paling depan dari para asisten Raqib-Atid yang lain. Mereka bersiap memenuhi buku catatan kebohongan hari ini.
“Hari ini kalian semua akan mencatat ‘Bohong Putih’ apa dan bagaimana bohong putih itu nanti kalian akan menyimpulkan sendiri di akhir hari. Kalian yang tidak kuat, dan atau tidak bisa menarik pelajaran dari ‘bohong putih ‘ ini akan kami eleminasi kembali ke surga.”
Pengumuman sebelum keberangkatan hari ini menghantui pikiran Malika. Dia tidak berniat kembali ke surga yang membosankan itu terlalu cepat. Dia bertekad bisa mengambil intisari dari yang namanya ‘bohong putih’ ini.
Kali ini dia terbang agak jauh, alarmnya belum juga berbunyi, agaknya susah sekali masuk kategori bohong putih ini. Hingga ia terbang melintasi benua Afrika, alarmnya menyala dengan cahaya lemah, makin mendekat cahayanya makin terang dengan bunyi khas yang menandakan ada ‘bohong putih’ yang harus dicatat.
Google dari surga memberi informasi kalau dia ada di daerah Mombasa, Kenya. Sebuah daerah kering di dataran Afrika Timur.
“Tiiiiit! Tiiiiiit! Tiiiiiiiiiit!!”
Malika makin tertarik terbang ke sebuah rumah yang bahkan jauh lebih buruk dari rumah Udin kemarin. Agaknya untuk bohong yang bukan bohong harus lahir di tempat yang rumahnya juga tak berbentuk rumah.
Segera dia melebur ke pandangan seorang manusia paruh baya, inilah kali pertama dia berada di dalam manusia dewasa. Warna dan auranya jauh lebih rumit dan kompleks, karena pengalaman dan pengamalan hidup mereka yang jauh lebih panjang.
Malika meminjam pandangan mata ‘Peninah Bahati Kitsao’, wanita yang biasa dipanggil Kitsao ini terlihat sedang serius menjerang panci, mengaduk-aduk makanan di dalamnya. Terlihat di sekelilingnya banyak anak-anaknya yang menunggu dengan tak sabar, tatapan mereka sangat lapar menatap panci yang penuh air bergolak. Para adik menatap Kakak tertua untuk jadi juru bicara cacing mereka yang sudah keroncongan sejak tadi.
“Mama cepat, kami sudah sangat lapar..”
“Sabarlah, kalau mau enak harus dimasak agak lama. Kamu dan adik-adik kamu mau makan makanan mentah?”
“Tidaaaaaakkk!!”
Serempak wajah-wajah kuyu itu menggeleng kuat-kuat. Untuk masakan Mama yang memang selama ini sangat enak, mereka harus kuat.
“Tidurlah kalian dulu, nanti kalau sudah siap akan Mama bangunkan.”
Kakak beradik itu pun mengaku kalah, langsung masuk ke kamar sempit. Tumpuk bertumpuk menunggu kantuk, akhirnya rasa lapar mengantar mereka ke alam mimpi.
Sementara Kitsao terus saja membesarkan api dengan kayu bakar, memastikan air terus bergolak di antara matanya yang menangis terisak. Malika tersentak! Baru disadarinya, ternyata Kitsao tidak memasak apa-apa di dalam panci penuh air tersebut. Kitsao hanya memasukkan BATU ke dalam panci, untuk menipu rasa lapar anak-anaknya, dia membuat masakan seolah-olah, hingga mereka semua tertidur karena terlalu lelah menunggu.
Pena di tangannya bergetar, lembaran buku catatan atas nama Kitsao terbuka.
Malika termangu, haruskah dia mencatat kebohongan semacam ini? Betapa pelik kebohongan yang berwarna putih ini, membuat hatinya pedih.
Pusat arsip bahkan menemukan kisah serupa, jauh di zaman sahabat Nabi, Khalifah Umar bin Khatab. Bedanya Ibu di kisah Umar akhirnya dibantu sendiri oleh sang Khalifah untuk mengatasi kelaparan anak-anaknya. Ribuan tahun kemudian kisah ini akhirnya terulang di sini, Malika memohon Malaikat membuka tabir masa depan untuk menghilangkan rasa penasaran dan menenangkan perasaannya. Ahh, alhamdulillah, akhirnya kisah Kitsao berakhir indah. Umar bin Khatab menjelma dalam wujud tetangganya yang peduli, dalam wujud sumbangan dari penjuru negeri karena kisahnya memasak batu menjadi viral.
***
Kini Malika bisa terbang kembali mencari para pembohong putih dengan lebih tenang. Kini ia terbang kembali ke negara tempat ia diaborsi. Malika masih terbang dengan pikiran masih di kisah menakjubkan sekaligus memilukan tersebut. Ia memikirkan apa definisi bohong putih berdasarkan kisah tadi?
“Tiiiiiiiit!! Tiiiiiiit!! Tiiiiiiiitt!!!”
Alarmnya berbunyi membawa Malika kembali dari lamunannya. Sayapnya membawa ia terbang ke sebuah keluarga kelas menengah. Semua anggota keluarga ada di rumah. Aryo sang suami 30 tahunan, Putri ibu muda 28 tahun dan Salsabila putri mungil mereka nan menggemaskan baru berusia 5 tahun. Malika masuk ke rumah tersebut dengan perasaan hangat. Apalagi yang lebih hangat selain sarapan bersama anggota keluarga di Minggu pagi yang cerah dengan bias sinar matahari yang menjadikannya instagramable untuk hati siapapun yang memandangnya.
Malika belum tahu dia akan masuk ke pandangan siapa. Siapa yang akan melakukan ‘bohong putih’ kali ini. Malika tidak ingin suasana yang sudah ideal ini menjadi hancur hanya karena kebohongan, yang putih sekalipun.
Ahh ternyata dirinya tersedot ke arah Aryo. Kini dia bisa mencatat pandangan dan pikiran Aryo. Terlihat matanya penuh cinta memandang Putri istrinya yang sedang asik memasak macaroni schotel, hasil kreasinya dari belajar lewat youtube. Kini macaroni schotel sudah dikeluarkan dari dalam oven, sudah disajikan dengan cantik di atas meja.
“Wahh Mama jadi cep..”
“Cheff..” Aryo membetulkan kata-kata Salsabila sambil mengelus rambut ikalnya yang nakal menyentuh mata lentiknya.
“Iyaa.. Cepp Mama..”
“Hahahahahahahaha..”
Ahh bahkan Malika tertawa-tawa sendiri demi melihat keluarga ini. Dia merasakan betul rasa hangat di hati yang dirasakan Aryo.
“Ayo.. dicobain ya. Harus review jujur loh yaa..” Putri menyajikan potongan macaroni shotel di piring kecil. Tentu saja untuk Salsabila ukurannya jauh lebih mungil.
“Perut Bila kan masih kecil, nanti kalo mau lagi tinggal nambah kok.” Putri memberi pengertian ketika melihat anaknya merajuk meminta potongan sebesar Papa-nya.
Aryo pun menyuapkan macaroni ke dalam mulitnya dengan penuh rasa antusias. Tiba-tiba Malika merasakan ujung lidah Aryo merasakan sensasi rasa asin yang menggigit. Tapi mata Aryo tak memperlihatkan itu, matanya tetap berbinar, mulutnya terus mengunyah macaroni schotel yang keasinan itu sampai habis dengan rasa seolah-olah penganan paling nikmat di bumi.
“Gimana Mas?”, Putri bertanya penuh harap.