Catatan Hitam

Kusnul hidayat
Chapter #1

Anak Bermasalah

Pernahkah kalian berpikir menjadi akun kedua orang tua kalian? Itulah yang dirasakan pria berwajah sendu itu. Pemilik sorot mata tenang dan terlihat malas itu bernama Farhan. Sejak kematian ibunya, kegiatan belajar Farhan adalah urusan ayahnya. Detik berganti menit, sampai ayam masuk kandang. Hatinya dipenuhi rasa marah kepada ayahnya. Itulah yang dirasakannya tiap hari, setelah kematian ibunya.

Dua tahun lalu Farhan masih berseragam SMP. Pulang pergi sekolah selalu menaiki sepeda. Hari itu dia mengayuh sepedanya lebih cepat dari biasanya. Nilainya hampir sempurna, meninggalkan jauh nilai rata-rata UN sekolah. Dengan tergesa ia tak sabar mengabari ibunya. Namun nahas bendera kuning berkibar di depan rumah Farhan. Kayuhannya berhenti, sepedanya dibiarkan ambruk begitu saja. Farhan berlari menerobos kerumunan tetangga yang memenuhi teras rumahnya.

Pemandangan ruang tamu yang ia kenal berubah drastis. Sofa, meja dan lemari kaca yang menyimpan koleksi robot-robotan menghilang. Begitu juga TV yang ada di atasnya. Tak ada senyuman yang menyambutnya pulang, bahkan salam yang biasa di jawab ibunya, hanya dijawab pelukan kakaknya Sarah. Tak ada lagi suara sahutan ibunya, yang ada hanya gemuruh ibu-ibu tetangga membaca surah Yasin.

Dada Farhan kembang kempis naik turun tak karuan. Mungkin tangannya tak lagi sanggup mengepal saat itu. Kakinya yang terlihat kuat tak lagi bisa menopang tubuh. Pandangannya menghitam, lalu Ia ambruk direngkuh kakaknya. Farhan tak lagi sadar apa yang terjadi berikutnya.

Dua hari Farhan tak sadarkan diri. Saat ia membuka mata kembali, Sarah langsung memeluknya. Menggosok punggungnya, seraya terus bergumam pelan, “sabar, sabar, sabar. Farhan anak ibu paling kuat.” Sedang Sarah tak kuat menahan air matanya. Tetesan basah tak luput mengairi punggung Farhan.

Enam tahun lalu adalah terakhir ia menangis. Aturan yang dibuat ibunya terus menahannya untuk meneteskan air mata. Namun kali ini, aturan itu tak lagi berlaku. Hujan dalam hatinya lebih deras. Bendungan yang dibuat ibunya juga hancur. Mengalirkan air yang ditahannya begitu lama. Tanpa suara.

***

Tiga tahun berlalu.

Bercak darah mengering di seragam Farhan. Dia bukan sakit atau kecelakaan Senin pagi ini, tapi berkelahi dengan kakak kelas yang dulu adalah teman seangkatannya. Ya, Farhan tidak naik kelas tahun ini. Ia sering membolos ke tempat yang ia sukai. Sungai, jauh dari sekolah. Tempat di mana gemercik air menerobos melalui lubang telinga. Yang terpenting sendiri. Karena ia suka kesendirian.

Pagi itu, Farhan tak sengaja menabrak pelan, berdesakan menuju lapangan upacara. Karena tubuhnya didorong oleh teman sekelasnya dulu, ia naik pitam dan berubahlah mata sendu itu menjadi mata seekor elang. Siap mencabik apa pun yang ada di depan.

“Apa tak terima? Orang bodoh yang tak naik kelas mana bisa terima. Hahaha...” Tawa teman-teman sekelasnya dulu buncah, seketika tak lagi terdengar oleh Farhan. 

Duakkk... 

Satu pukulan telak menghantam rahang Andi, temannya dulu. Andi yang memiliki postur besar tak langsung jatuh. Kakinya cukup kuat menahan tubuhnya. Segera Andi membalas pukulan ke arah hidung Farhan. Kerumunan yang tadinya cukup dekat, buyar mempersilahkan mereka berkelahi, membentuk barisan melingkar layaknya ring tinju.

Balas membalas pukulan tak terelakkan. Mereka gulung-gulung bergantian di atas tanah. Tentu pemandangan ini tak layak jadi bahan tontonan sebelum upacara bendera dilaksanakan. Tak ada siswa atau siswi yang melerai. Bahkan satu guru yang melerai terlambat setengah menit sebelum lawan Farhan mimisan. Farhan juga mimisan karena pukulan pertama Andi. Baju mereka lusuh tak karuan. Noda tanah memenuhi setiap inci seragam mereka. Juga noda darah yang berasal dari hidung mereka. Perbedaannya, Farhan masih kuat berdiri, mengusap sisa darah dari hidung. Sedang Andi, tak sadarkan diri.

Seperti itulah sebab Farhan berada di ruang membosankan bagi sebagian siswa berandal. Hari ini. Ia harus menunggu guru BP sampai upacara selesai. Ruang yang cukup besar untuk anak-anak bermasalah. Di Ruang ini, bahkan suara nafas akan terdengar saking sepinya. Terletak di tempat paling belakang sekolah, setidaknya hanya ruangan ini tempat paling nyaman bagi Farhan. Udara cukup sejuk, tak harus mengikuti kegiatan sekolah alias kegiatan belajar mengajar. Dan yang terbaik, tak ada yang memarahinya kecuali Bu Sari, wali kelasnya sekaligus guru BP di sekolah.

Farhan terlihat kelelahan setelah berkelahi. Wajahnya lesu. Nafas terdengar berat, tapi tenang. Matanya telah tertutup beberapa detik lalu. Suara-suara berisik yang masuk ke telinga sudah tak terdengar. Tak mengganggu istirahatnya. Ia tertidur. Tanpa peduli rasa nyeri di wajah akibat berkelahi.

Bunyi cekrek dari kunci pintu membangunkannya. Mata merah tak bisa disembunyikan oleh Farhan. Ia tertidur sekitar 40 menit sebelum sosok yang ia kenal duduk tepat di seberang meja. Farhan menelan ludah, begitu kasar karena belum meminum setetes cairan apa pun untuk melumasi tenggorokannya. 

Menatap wajah itu, Farhan tau kalau akan ada masalah baru di catatan hidupnya.

“Kamu ingin enggak naik kelas lagi?!” Pertanyaan pertama yang memecah keheningan.

“Kalau begitu lakukan!” Balas Farhan malas. Tak ada rasa bersalah terlukis di mata sendunya. Tak peduli.

“Ibu sudah enggak tau mau kamu itu apa, tapi berkelahi di sekolah? Kamu serius Farhan? Setahu ibu kamu itu cuma pemalas, bukan berandal! Berkelahi? Apa lagi sebelum upacara bendera?”

“Dia mendorongku lebih dulu,” Farhan memotong omelan Bu Sari. Masih memasang tampang tak bersalah. Tak ada getaran suara yang menandakan ia takut. Bahkan seinci pun tak ada.

“Itu memang bukan sepenuhnya kesalahan kamu, tapi...”

“Tapi apa? Semua masalah tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan?”

“...” Jari telunjuk wali kelasnya mengetuk ketuk meja beberapa kali, mukanya bulat dengan sorot mata tajam jelas seperti seorang ibu yang kesal.

Farhan menunduk tak berani melihat muka ibu Sari, “maaf.” Mata itu selalu mengingatkan ia pada ibunya.

“Farhan Reza Aditya... Ibu sudah enggak tau apa yang harus ibu lakukan supaya kamu bisa terus sekolah di sini. Kamu sudah tinggal kelas, jangan sampai dua kali tidak naik kelas. Ibu tau sebenarnya kamu bisa. Kalau berusaha. Tapi dari cara berpikir kamu saja sudah salah.”

Ibu Sari menyodorkan kotak hitam berlayar, “kamu yang telepon atau ibu?”

“Ibu saja...” Farhan pasrah melihat nomor ayahnya.

Dari seberang meja Farhan membuka telinga. Mendengar percakapan itu, Farhan tau ayahnya akan segera menemuinya. Semakin menciut nyalinya, tapi juga ada rasa terbakar dalam hatinya. Siswa berwajah sendu itu hanya diam seribu bahasa, menunggu kedatangan ayahnya. Tak lama Bu Sari memainkan gunting kesayangannya di depan Farhan. Bunyi ctakkk dari gunting semakin mendekat, kala itu Farhan tak mendengarnya. Sampai rambutnya tersentuh baru ia sadar.

“Rambut bergelombang memang bagus ya kalau panjang.”

Menyadari senyum palsu itu, “hehe...” balas Farhan.

“Mau dipotong sekarang atau kamu rapikan besok?”

“Iya bu, saya rapikan besok.” Ia menarik senyum canggung.

Lihat selengkapnya