Catatan Hitam

Kusnul hidayat
Chapter #2

Tak Terduga

5 menit setelah kejadian di gerbang sekolah, hujan kembali turun. Udara dingin mulai memeluk seluruh isi kota. Tak terkecuali di dalam mobil yang Farhan tumpanginya sekarang. Suasana senyap tanpa suara darinya atau si ayah, bisa membuat siapa saja menggigil di dalamnya. Hanya rintik hujan sebagai pembelah sunyi, terkadang gelegar halilintar juga ikut meramaikan suasana canggung di dalam mobil hitam itu.

Hujan kali ini sangat lebat, bahkan lebih lebat ketimbang hujan tadi pagi. Jarak pandang yang semakin berkurang ditambah kondisi mata, membuat ayah Farhan menghentikan laju mobil. Sudah setahun ini pandangan ayahnya mulai memburuk, akan tetapi tetap tak mengindahkan dokter untuk memakai kacamata.

Suara krek dari handrem seperti menjadi pertanda dimulainya lomba menatap jalanan yang kurang jelas karena hujan. Berlomba siapa yang paling lama tidak mengeluarkan suara. Ayahnya merogoh kantong celana dan di situlah ia kalah. Ia tidak melihat jalanan, tapi layar HP miliknya. Farhan bisa saja dari baru masuk mobil ini langsung memainkan HP, tapi tidak ia lakukan. Ia tau kalau nantinya akan ada perbincangan seperti, “daripada main HP lebih baik belajar!” pastinya akan menjadi tema untuk sang ayah mulai berceramah.

Aroma pohon cemara tercium di setiap sudut dalam mobil. Ya, itu pengharum mobil kesukaan ayahnya. Entah sejak kapan, tapi setiap kali ia dijemput pastilah wangi cemara yang menggelitik hidung Farhan. Sudah beberapa hari ini Farhan diantar jemput ayahnya. Perkaranya tentu kalau ia tak diantar, pastilah ia bolos sekolah.

Farhan bosan, teramat malah. Ujung jarinya mulai usil membuat guratan-guratan entah gambar apa di kaca yang dingin itu. Berawal dari ujung jari, merembet ke sela-sela sendi hingga dingin hujan masuk dan berkumpul di bahu sebelah kiri. Sampai akhirnya dingin itu membuatnya bergidik. Lega tentu saja tidak. Farhan hanya iseng. Setidaknya ia tidak mati dalam bosan. Ia bahkan sudah melupakan nasib apesnya hari ini. Kodrat langit yang membuat 1 pukulan beserta beberapa tamparan ia terima. Parahnya dilakukan di muka umum.

Sedikit demi sedikit hujan mereda. Jalanan yang tadinya renggang karena banyak pengemudi memilih berhenti, mulai ramai kembali. Jarak pandang mulai membaik. Sedikit banjir sudah biasa di kota ini, atau mungkin negeri ini malah. Apa karena selokan yang penuh lumpur dan sampah jadi penyebabnya. Sepertinya tidak. Pemerintah telah menggelontorkan dana lumayan besar untuk membersihkan lumpur maupun sampah. Bahkan di tingkat kampung dua bulan sekali diadakan kerja bakti. Jadi jelas bukan selokan yang penuh lumpur dan sampah penyebabnya.

Baru saja beberapa ratus meter ayah Farhan menancap gas. Semua pengendara berhenti, atau lebih tepat disebut macet. Banjir membuat beberapa mobil dan motor mogok. Untunglah mobil ayah Farhan cukup kuat menghadapi medan banjir. Kanan kiri anak-anak kecil berlarian mendorong mobil atau motor yang mogok. Setidaknya dengan banjir ini merekalah yang dengan jelas mendapat berkah dari langit. 

Dari posisi Farhan mengamati, banjir setidaknya setinggi lutut orang dewasa. Padahal itu di jalan raya, bagaimana kalau di tingkat kampung pinggiran kota. Ah, itu tidak penting karena ayah Farhan langsung tancap gas begitu jalanan terlihat lenggang.

30 menit, akhirnya sampai juga di rumah dua lantai ini. Rumah yang tak terlalu besar atau tak bisa disebut kecil, menjadi saksi kehidupan Farhan selama 16 tahun belakangan. Halaman depan dipenuhi rumput hias dan beberapa tanaman standart di lingkungan ini. Tapi yang paling mencolok di sini adalah pohon mangga, satu satunya yang ada di kompleks ini. Jadi tak cukup sulit menemukannya. Jika teman atau kerabat yang baru pertama berkunjung, pastilah pihak keamanan memberi tau kalau rumah yang ada pohon mangganya. Tidak ada yang lain.

Memasuki ruangan, disuguhkan pemandangan kontras sangat berbeda dari kebanyakan rumah di seluruh pelosok negeri. Ya, bagaimana tidak. Baru masuk sudah melihat rak buku lengkap dengan buku-buku yang tersusun rapi. Di Tembok terpampang lukisan seorang pria tua dan anak perempuan sedang asyik membaca buku. Mungkin maksud dari lukisan itu adalah ambil satu buku di rak dan bacalah. Entahlah, yang pasti tertulis di sana, “Buku tak mengenal tua, muda, laki-laki, perempuan. Selama ia dibaca cukup membuat mereka hidup.”

Lebih ke dalam semakin banyak tumpukan buku dalam rak. Di mana-mana dalam rumah itu semerbak bau buku tipis-tipis tercium oleh hidung. Mungkin ini yang disebut kutu buku yang sebenarnya. Bahkan rumah dipenuhi buku. Tak ada ruangan yang tak di tempati susunan kayu berwarna coklat yang di dalamnya buku-buku berjejer rapi menunggu pembaca. Tak ada satupun ruangan luput kecuali kamar mandi. Tentu saja tak ada buku di sana. Apa jadinya kalau di sana juga ada rak buku. Yang ada malah rusak karena air.

“Langsung mandi, setelah itu temui ayah!” Dingin sekali perintah itu. Tapi Farhan tak ada pilihan untuk tidak menuruti Ayahnya. Hanya Ayahnya saja yang tinggal bersama Farhan. Sedang kakak perempuannya telah menikah tahun lalu, jadi ia harus tinggal di rumah keluarganya yang baru.

Setelah melempar tas sembarangan di kamarnya, anak berwajah sendu itu kembali ke ruang tamu. Farhan malas sekali untuk sekadar berbicara dengan ayahnya. Ia tau pasti segalanya akan diungkit kembali. Semua tentang hari ini, semua tentang tujuan jelas Farhan dilahirkan.

Ayahnya fokus dengan berita hari ini. Berita tentang banjir ada di mana-mana musim penghujan ini. Walaupun dipindah channelnya, pastilah tentang gosip artis tahun ini. Ayahnya tak suka, tak tertarik sedikit pun.

“Ada apa ayah memanggilku?”

“Duduk!” pria paruh baya itu tetap fokus dengan TV.

Farhan langsung duduk, menempelkan bokong ke tempat yang nyaman. Suara khas sofa menandakan ayahnya akan segera mulai berbicara. “Emmm...” Tanda Farhan sudah siap diceramahi.

“Ibu Sari menceritakan semua tadi. Ayah mampir sebelum jam kamu pulang sekolah.”

“lalu?” Jawab Farhan malas.

“Kamu menghabiskan waktu ayah, tenaga ayah, bahkan uang ayah kalau akhirnya kamu tidak naik kelas lagi.” Ayahnya menoleh, Ia menatap tajam Farhan, “ayah sudah menyerah seperti ibu Sari, teman ibu kamu. Menyerah meyakinkan kamu untuk belajar di sana. Menyerah bahwa kamu bisa.” Suara TV sayup terdengar. “Kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu, teman temanmu, yang minimal cukup untuk naik kelas. Harusnya kamu sudah kelas 12 tahun ini. Hanya saja kamu bodoh, tak seperti kakakmu yang bisa membanggakan.” Ucapan seperti ini bukan sesekali terjadi. “Andi, teman SD kamu bahkan sampai bisa dapat beasiswa keluar negeri. Kamu, masih saja...”

“Jangan mulai membandingkan!!!”

Walau sering terjadi, tapi setiap kali Ayahnya membandingkan atau menekannya, bukan cuma pikiran tapi hatinya juga ikut tertekan. Ingin marah menumpahkan keluh kesahnya, tapi apa daya yang di hadapannya adalah sang ayah. Bahkan dari waktu pertama duduk ia sudah menduga dan menahan amarahnya. Hanya bisa meremas jari-jarinya.

“Dengan jadi jagoan enggak bisa buat hidup nyaman. Apa apaan dengan kelakuanmu tadi pagi? Mau mencoreng nama ayah? Ha? Cuma bisa berkelahi sama main saja kerjaanmu. Kasihan ibu Sari, sampai angkat tangan mengurus berandalan sekolah seperti kamu.”

“Ayah ingin kamu lebih sukses, lebih hebat dari kakakmu. Lebih hebat dari ayah. Tapi apa ini? Calon tinggal kelas dua tahun berturut-turut?” Ayahnya kembali memfokuskan tatapannya ke TV.

Merasa semua telah terisi, dan tak sanggup lagi menahan omongan pedas Ayahnya, Farhan langsung pergi tanpa kata-kata. Baru beberapa langkah ayah Farhan membuat emosi anaknya tak terbendung lagi. “Kabur terus seperti banci...” Farhan menghentikan langkah. “Sepertinya kamu masih membawa bola di tasmu. Bukankah ayah sudah suruh buang? Apa tujuanmu didunia ha?” Pria paruh baya itu sampai memperlihatkan urat di lehernya.

“Pergi sejauh mungkin dari Ayah.” Jawab Farhan, lari meninggalkan obrolan.

***

Sore ini Farhan kembali menaiki tangga penampungan air. Tempat biasa ia menumpahkan semuanya. Semua hal negatif maupun positif setiap harinya. Tempat persembunyian teraman baginya. 

Karena hujan tadi, tentu membuat tempat yang biasa ia duduki agak basah. Ia hanya mengelap seadanya dengan tangan. Masih basah dan dingin tentunya, tapi tak ada tempat lain selain di sini ia bercerita kepada semesta.

Cahaya jingga keemasan di cakrawala menjadi saksi awal ia bertanya apa saja hari ini. Tetes air jatuh dari ujung daun dengan anggun. Angin dingin mondar-mandir bertanya, apakah akan ikut larut dalam pertanyaan Farhan. Banyak sekali pertanyaan Farhan akan dunia sandiwara ini. Apakah besok adalah akhir, atau awal yang lebih menyedihkan?. Yang pasti ia akan mencoretkan penanya di atas buku hitam yang ia bawa.

Lihat selengkapnya