Sudah dua hari ini Farhan sendirian di rumah. Pagi ini ia terlambat ke sekolah seperti hari-hari lain selain hari Senin tentunya. Selain hari di mana upacara dilaksanakan, dia pasti terlambat. Atau bolos sekolah seperti kemarin. Ya, tepat setelah tak ada lagi yang marah-marah membangunkannya.
Bel berbunyi dua kali menandakan waktunya istirahat. Farhan mengangkat kepalanya yang telah lama terbenam di lipatan tangannya. Mengucek sebelah matanya yang tampak memerah karena lama tertindih berat kepalanya.
Riuh siswa siswi keluar dari kelasnya masing-masing. Kebanyakan langsung ke kantin, tapi tak sedikit yang langsung nongkrong di depan kelas. Sekadar mengobrol atau bermain gitar dengan teman sekelasnya. Farhan tentu saja juga beranjak pergi ke kantin. Memesan es teh, semangkuk bakso. Belum lama ia tengok kanan kiri untuk mencari meja kosong, Rangga sudah melambai lambaikan tangannya isyarat ia ingin mengajak Farhan menghabiskan waktu istirahat bersama. Tak mempedulikan senyum konyol Rangga, ia memilih duduk di pojok kantin. Yang mana memang kosong saat itu.
“Duduk di sana Han... Kita mau bahas strategi buat pertandingan besok. Pelatih juga nanti datang.” Tanpa disadari Rangga sudah di depan Farhan. Menunjuk meja panjang, teman satu klubnya berkumpul. Rangga masih berdiri menunggu jawabannya. Begitu lama sampai akhirnya Rangga membuka suara kembali, “ayolah, anak-anak klub sudah menunggu!.” Ia mulai meninggikan suara. Kesal.
“Iya tau, makanya aku lebih memilih duduk di sini.” Balasnya tanpa memandang lawan bicara. Kemudian, memakan bakso pesanannya yang baru saja datang.
Dari dua hari yang lalu Farhan tak cukup beristirahat. Matanya sulit sekali terpejam. Begitu terpejam, orang yang diberikan kepercayaan selalu datang. Gadis yang selama ini dianggapnya sangat istimewa, ternyata telah menghianatinya. Ia menyesal telah menceritakan semua tentang dirinya. Ia bahkan menyesal pernah bertemu dengannya.
Ada yang aneh. Dan hal itu menggelayut dalam pikiran dan perasaan Farhan. Ia tak merasakan apa pun. Sakit hati pada gadis itu harusnya telah bersarang sejak ia meninggalkannya. Tapi saat ini, ia tak merasakannya. Mungkin karena Farhan memiliki dendam yang lebih dalam pada ayahnya.
Anak berwajah sendu itu melirik Rangga.
Farhan tau teman-teman club bolanya duduk bergerombol tak jauh dari tempat duduknya. Tapi ia sudah malas dengan semua kegiatan sekolah. Kalau tadi pagi ibu Sari tak meneleponnya, tentu Farhan akan bolos lagi seperti kemarin.
“Sebenarnya kamu niat apa enggak ikut club bola? Kalo nggak niat keluar saja lah. Nggak perlu buat kita menunggu yang nggak pasti lagi.” Mata Rangga menyipit, alhasil kedua alisnya bertemu.
“Oke...”
Jawaban pendek Farhan benar-benar membuat Rangga frustrasi kali ini. Terbukti ia langsung menggebrak meja dengan kedua tangannya. Detik itu juga mereka menjadi sorotan. Keduanya saling menatap tajam, hampir tak berkedip.
“Maumu apa? Ke lapangan, selesaikan sekarang!?” Farhan berdiri dari tempat duduknya. Wajah sendu itu telah berubah sangat marah. Tatapan mereka tak lagi seperti seorang teman, malah lebih mirip layaknya musuh bebuyutan.
“Rangga sudah, enggak apa kalau Farhan enggak mau!” Teriak salah seorang dari anggota club.
“Jangan harap di lapangan anak-anak bisa melerai.” Tantang Rangga, langsung pergi begitu telunjuknya mengarah ke wajah Farhan.
Dengan santai Farhan mendekati Rangga. Tangannya terlihat mengepal, matanya tajam layaknya elang. “Jadi enggak!” Bentakan Farhan membuat semua mata tertuju padanya. Rangga mengiyakan tanpa berkata, seketika ia bangun dari duduknya.
“Sudah Han, Rangga enggak ada maksud mau berkelahi.” Ucap salah seorang dan menghadang agar pandangan Farhan dengan Rangga tak bertemu. Begitu pun yang lain, mereka juga menarik Rangga ke tempat duduknya kembali. Bisa kacau rapat club mereka jika sampai Farhan dan Rangga berkelahi. Paling buruk adalah mereka berdua mendapat hukuman. Dan hal itu akan merugikan diri mereka sendiri, baik di club atau masa sekolah.
Pak Pras datang tepat waktu. Ia adalah pelatih klub bola empat tahun ini di sekolah. Suasana yang tadinya sangat panas berubah sedikit mendingin. Farhan pun langsung pergi dari kantin, meninggalkan tanda tanya besar di kepala Pak Pras.
“Ada apa?” ucap Pak Pras mengetahui Farhan pergi tanpa menyapanya. Ada yang menggeleng, ada juga yang mengangkat bahu seakan tak tau ada kejadian luar biasa hari itu.
Rapat dilanjutkan. Tanpa Farhan tentunya. Mereka membahas strategi untuk menghadapi sang juara di kandang mereka sendiri. Dengan atau tidak adanya Farhan, mereka percaya diri pasti bisa mengalahkan sang juara. Tentunya dengan bantuan Pak Pras, pelatih mereka.
Sekolah Farhan memang cukup serius dalam bidang prestasi non akademik, terbukti beberapa ekstrakurikuler didatangkan pelatih sungguhan, atau pembina yang sudah profesional.
Farhan berjalan melalui lorong-lorong sekolah. Banyak siswa siswi berlalu lalang di sebelahnya, namun tak ada yang ia kenal. Mungkin ada beberapa yang mengenalnya, karena menyaksikan bentrokan Senin kemarin. Tapi ia tak peduli akan hal itu.
Tibalah ia di depan lapangan berukuran 50 kali 100 meter. Lapangan yang mungkin adalah medan tarung nanti. Farhan tak mau dicap sebagai pengecut, sebab itulah ia duduk di pojok lapangan agar mudah di temukan oleh Rangga. Menunggunya entah sampai kapan, tidak pasti.
Di bawah pohon mahoni cukup besar, ia berteduh. Duduk menunggu di atas akar pohon. Rambut bergelombangnya menjuntai ke tanah. Telapak tangannya saling mendekap dengan rapat, di atas lututnya sebagai sandaran.
Sesaat Farhan menutup matanya, saku celananya bergetar membuatnya kaget tersentak. Dengan malas ia mengangkat telepon yang di layarnya bertuliskan “TARGET”
“Halo... Ada apa yah?” jawabnya dengan nada yang sangat malas.
“Ayah sudah carikan kamu sekolah baru. Jauh dari rumah seperti yang kamu mau. Kalau kamu siap urus surat perpindahan sekolah kamu.” Terjawab sudah pertanyaan Farhan kenapa ayahnya tiba-tiba mengirim pesan seperti itu 3 hari lalu.