Sudah seminggu Farhan di desa ini. Desa yang dipenuhi orang-orang ramah, murah senyum bernama desa Sumber Agung. Sedikit banyak ia telah mengenal warga di sekitar rumah ia tinggal. Bukan karena ia memperkenalkan diri atau mereka yang memperkenalkan diri. Tapi kak Ara memegang peran penting itu. Ia memperkenalkan Farhan. Secara paksa.
Pagi sebelum ayam berkokok atau kumandang adzan subuh di mushola dekat rumah ini, kak Ara membangunkan Farhan dengan paksa. Seperti kali ini. Farhan tiga kali dibangunkan namun tak diindahkan. Seketika dingin air sumur belakang rumah telah menyelimuti sekujur tubuhnya. Farhan ingin marah, tapi kak Ara lebih dulu berkata, “apa?” Sembari matanya melotot. Dengan demikian Farhan hanya bisa mengalah mengingat foto yang terpajang di pojokan rumah.
Farhan berdesis kesal, menggaet handuk yang berada persis di tangan kak Ara. “Lain kali jangan lempar air sembarangan,” belum juga ia melewati kak Ara, bahunya tercengkeram, “lain kali jangan tidur lagi!” muka kak Ara sangat serius dihiasi tatapan tajam. Kaki anak berwajah sendu itu seketika tak mampu menahan tubuhnya, ia meringis kesakitan. Farhan berlutut tak berdaya, bertanya-tanya kenapa wanita bisa sekuat itu.
Setelah mandi.
Anak berwajah sendu itu menyantap nasi goreng yang dibuatkan untuknya. Sesekali, ia melihat ke arah kaca yang terpasang di depan kamar mandi. Di sanalah kakak sepupunya memasang kerudung. Begitu Farhan fokus dengan nasi goreng super gurih, ia kaget. Kak Ara menyodorkan tangannya, Farhan refleks menghindar. Masih takut. “Kenapa? Nggak pernah salim kalau berangkat ke sekolah?” Tanya Kak Ara. Ia mengenakan setelan serba coklat khas PNS, dengan bros kupu-kupu di atas saku sebelah kanan.
“Nggak...” Farhan menjawab terbata-bata langsung mencium tangan kak Ara.
“Jangan telat! Atau mau yang lebih dari tadi pagi?”
“Iya kak...” Entah trauma atau karena raut muka kak Ara berubah, Farhan masih menjawab seperti baru belajar bicara. Menyeramkan dengan senyum yang dipaksakan, begitu batin Farhan.
“Dan satu lagi... Jangan panggil kakak kalau di sekolah. Ibu... Aku gurumu di sana!” tanpa menunggu jawaban kak Ara langsung meninggalkan Farhan. “Assalamualaikum...”
Sekolah barunya tak jauh. Tak seperti Kakak sepupunya yang menaiki motor, Farhan memilih berjalan kaki untuk sampai di sana. Cukup lima belas menit, ia akan sampai.
Belum lama ia berjalan, tetangga barunya menyapa. “Sekolah yang benar nak Farhan. Biar bangga orang tuamu...” Senyum tipis tergambar di wajah Bu Hani. Itu nama ibu-ibu tetangganya yang saat ini menyapu latar rumah.
“Bangga katanya? Aku akan membuat hal sebaliknya!”
“Iya Bu,” jawab Farhan singkat. Tapi dalam hati ia masih menolak sekolah.
Bunyi kring bel sepeda membuat Farhan menghentikan langkah. Menoleh, ternyata pak Supri. “Mau saya antar Farhan? Kebetulan satu arah.” Tawarnya menghentikan laju sepeda di depan Farhan.
“Enggak pak, terima kasih.” Farhan menolak secara halus, dan sebenarnya ia lupa dengan nama bapak tersebut.
Jam 07.00 pagi bel berbunyi. Tak ada satupun siswa yang berkeliaran di depan atau ruang kelas. Semua siap di tempat duduknya masing-masing. Prinsip disiplin menjadi semboyan di sekolah ini.
Di Sekolah ini, sekolah yang luasnya tidak lebih besar dari sekolahnya dulu akan menjadi tempatnya menimba ilmu. Dominasi warna putih sangat kontras dengan lingkungan sekitar yang dipenuhi semak belukar. SMA ini memiliki 2 lapangan di tengahnya. Satu lapangan futsal yang digabung dengan basket, satu lagi lapangan voli.
Anak berwajah sendu itu baru sampai. Jam menunjukkan pukul 8. Ia terlambat. Tak menghiraukan pesan kakak sepupunya. “Jangan terlambat!” Farhan benar-benar tak peduli.
Entah kenapa gerbang sekolah tak tertutup. Hanya ada satu security di sana. Melihatnya dengan tatapan ramah, seperti tak ada keterlambatan ia datang.
Barulah saat ia melangkahkan kakinya melewati pos penjaga. Seseorang berteriak.
“Yang di sana! Awas, tiarap!!!” sangat lantang, membuatnya menoleh ke belakang. Bukan ke arah datangnya suara tapi mengira ada apa-apa di belakangnya.
Tak ada apa pun, hanya capung yang terbang perlahan di pandangannya. Seketika teriakan “tiarap!” lagi-lagi ia dengar, dengan intonasi yang lebih mencekam.
Farhan tak tau, tapi ia melakukannya. Merebahkan badan di atas permukaan tanah. Mematuhi perintah yang bahkan tak tau dari siapa.
Beberapa detik kemudian, ia melihat sepasang sepatu mengkilat berada di depannya.
“Siapa nama kamu!” nada bicara yang sangat tegas.
“Farhan pak...” jawabnya berusaha melihat wajah seseorang yang ada di hadapannya.
“Farhan? Tak pernah dengar!”
“Saya murid baru pak!” teriak Farhan menyamakan intonasi.
“Push Up 100x!” Farhan masih tetap di posisinya. Tak melakukan perintah seseorang yang ada di depannya. Anak itu masih mencerna kata-katanya. “Saya bilang push up 100x murid baru!!!” barulah ia mengangkat dan menurunkan tubuhnya.
Di bawah matahari pagi. Keringat menetes dari keningnya. Membasahi punggung dengan keringatnya.
“Sekarang, masuk kelas! Besok jangan terlambat atau hukumannya semakin berat!” Ucap laki-laki itu.
Farhan tak langsung masuk kelas. Tentu saja karena dia belum tau masuk ke kelas yang mana. Ia ingat, pesan kak Ara untuk langsung menemuinya di ruang guru. Setelah itu baru ia akan didampingi memperkenalkan diri. Karena itu ia sempat bertanya pada guru yang menghukumnya tadi. “Di sebelah mana ruang guru?”
Sampai di ruang guru. Farhan tak menemukan kakak sepupunya. Hanya ada satu orang di sana. Seorang pria, sedang memfotokopi sesuatu. Dengan bantuan orang itu, yang berbaik hati memanggil kak Ara, ia dipersilahkan menunggu.
Farhan duduk di pojok ruang guru menunggu Kak Ara. Tak lama sepupunya datang, ia segera mendapat perintah untuk mengikutinya. Menjawab perintah Kak Ara, anak itu mengangguk, lalu bangkit dari tempatnya.
“Bukannya sudah aku katakan, jangan terlambat!” Ucap Kak Ara dingin. Tentu menjadikan Farhan sedikit menggigil karena takut. Dulu, tak ada yang bisa membuatnya takut kecuali ibunya. Sekarang, sepertinya ia mendapat sosok yang hampir sama seperti ibunya. Tapi dengan sorot mata yang lebih tajam.
Di depan kelas, Farhan dipersilahkan untuk memperkenalkan dirinya. “Perkenalkan diri kamu, singkat!” perintah Kak Ara yang berdiri di sampingnya.
Beberapa memperhatikan kehadirannya, yang lain sibuk menyelesaikan soal dipapan tulis.
“Namaku Farhan.” Matanya sayup tak bertenaga, suaranya lebih pelan daripada kicau burung di dahan pohon sebelah sekolah.
“Wow... Ibu memang memerintahkan kamu singkat, tapi... Ya sudah, silahkan cari kursi kosong. Perkenalkan diri kamu lagi nanti!” Kak Ara, menggeleng heran dengan kelakuan adik sepupunya.
Farhan mengamati seisi kelas mencari kursi kosong. Satu kursi kosong didapat, pojok kelas dekat jendela tak berkaca. Pas seperti keinginannya.
Seorang remaja berkacamata sibuk mengerjakan soal. Ia tak sadar Farhan telah duduk di sebelahnya. Anak berambut klimis itu langsung sadar ketika Farhan meminta tukar posisi dengannya.
“Kak Farhan?” cetus siswa itu pelan. Mengenali sosok Farhan.
“Ha? Siapa? Boleh aku duduk di pojok?” Tunjuknya.
“Boleh kak...” Langsung berdiri dan memindahkan barang barangnya. Saking cepatnya Farhan tak perlu bersusah payah membantunya.