Catatan Hitam

Kusnul hidayat
Chapter #5

Gelap

Farhan tak langsung pulang, ia memilih ke kantin sekolah mengisi perutnya yang seharian kosong. Sedari pelajaran Pak Sofyan, sebenarnya ia tak bangun untuk mendengarkan, sebenarnya ia lapar. Setelah ia menambahkan sedikit saus dan sambal di atas mie ayam. Bunyi tang ting bergantian antara sendok dan garpu. Sebenarnya Ia orang yang suka pedas, tapi hari ini ia memilih pedas yang normal ketimbang yang membuat meledak di leher. Es teh yang ia pesan langsung habis begitu mie ayamnya tewas dikeroyok pengemis di perutnya.

Sekitar 10 menit setelah ia menghabiskan makanannya, bel berbunyi panjang yang menandakan KBM telah usai. Rombongan siswa siswi berhamburan keluar gerbang sekolah. Beberapa menuju lapangan, masjid, atau ruang club mereka. 

Ternyata Pak Sofyan memperbolehkannya pulang karena memang waktu tinggal sedikit.

Memegang tali ranselnya, Farhan melangkahkan kaki untuk segera pulang. Melewati kelas demi kelas di pinggir lapangan, ia terhenti oleh suara nyaring yang ia kenal. “Kak...” ia menoleh ke arah suara. “Ikut yuk...” Tawaran Angga yang membawa bola, dijawab Farhan dengan menggeleng pelan, lalu segera pergi meninggalkan.

Farhan ingin segera pulang dengan cepat. Itu rencananya. Tapi ia kembali terhenti. Perhatiannya teralihkan. Seorang guru yang ia tak tau namanya diikuti tiga ekor kucing. Abu-abu, kuning putih, dan hitam. Semua masih kecil. Entah kenapa ia tertarik dengan kejadian itu. Ia berdiri mengamati. “Pusss...” Tangan guru itu menggenggam makanan kucing, sesekali memanggil dan menunjukkannya agar terus diikuti kucing-kucing kecil itu. Saat anak kucing kuning putih yang ada di belakang tak mengikutinya, ia kembali menoleh dan memanggilnya. Entah kenapa wanita itu tau kalau ia tidak diikutinya.

Guru itu berhenti, di depan ruang guru. Hanya ia sendiri di sana. Membawa makanan kucing dan menuangkannya ke dalam mangkuk plastik berwarna kuning. Sepertinya guru itu sudah lama memelihara kucing, Farhan menebaknya begitu melihat banyak wadah berwarna di dekat keran air. Kucing-kucing itu makan dengan lahap. Guru itu mengelus dan tersenyum saat melakukannya. Bahkan senyuman guru itu sepertinya menularinya, walau sangat tipis tergambar di bibirnya.

Apa aku harus memelihara kucing, begitu pikirnya. Farhan memang sangat kesepian, tak ada teman yang benar-benar menganggapnya teman. Bahkan teman-temannya di klub bola sekolahnya yang lama, sepertinya hanya memanfaatkan Farhan. Bagaimana tidak, di final saat tak ada Farhan malah keok dihajar lawan.

Setelah menggeleng berusaha menghapus ingatan masa lalunya, ia pergi melanjutkan perjalanan pulang. 

Di depan gerbang, ia berhenti sekedar menengok kanan kiri untuk menyeberang. Ya... Sekolahnya memang berada di pinggir jalan raya, jalan utama yang dilalui banyak bus dan truk.

Di kiri tak jauh darinya, Sintia berdiri di depan toko kelontong ditemani seorang laki-laki membawa motor CB keluaran lama. Rambut Sintia yang di kuncir ekor kuda berkibar begitu ditabrak embusan angin. Begitu juga poninya yang ia berusaha merapikannya sekarang. Laki-laki itu menggeber motornya, suara knalpot langsung memekakkan telinga. Dari seragamnya, bisa dipastikan laki-laki itu tidak satu sekolah dengannya. Tak lama, remaja itu turun dari motornya mendekati Sintia yang merangkul tasnya.

“Ayo bareng pulang...” Tawar laki-laki bertopi itu.

“Enggak,” Jawab Sintia singkat.

Remaja itu memasang wajah senyum palsunya, meraih pergelangan tangan Sintia. Sintia mengipratkannya, tapi tenaga laki-laki itu lebih besar. Alhasil Sintia meronta melepaskan cengkraman dari laki-laki bertopi. Ia sudah berteriak minta tolong, tapi penjaga toko kelontong di depannya hanya melerai dengan suaranya. Tanpa tindakan.

Sintia masih mengipratkan kesana kemari tangannya, sampai kipatannnya berhenti.

Farhan di sana, menggenggam keras pergelangan tangan laki-laki itu.

“Lepas!” bentak Farhan. Cengkeraman laki-laki itu terlepas, ia juga melepas cengkeramannya.

Sintia masih menganga, matanya melebar melihat Farhan. Bahkan ia lebih kaget saat Farhan tiba-tiba merangkulnya.

“Kenal?” Mata Farhan dan Sintia bertemu membentuk garis miring 15 derajat. Farhan lebih tinggi dari Sintia, itulah mengapa Sintia sedikit mendongak lalu menggeleng.

“Maaf mas, ini cewekku. Jangan ganggu dia lagi!” Melirik santai kearah laki-laki itu.

Mendengarnya, remaja itu tiba-tiba menggerakkan sedikit bahunya ke atas. Farhan tahu akan hal itu, ia mundur satu langkah melepas Sintia. Menghindari pukulan laki-laki bertopi. Dengan tenang Farhan memajukan kaki kanannya hingga laki-laki itu tersandung dan terjatuh.

“Maaf, kakiku tergelincir...” laki-laki itu semakin marah mendengar perkataan Farhan. Ia bangkit dengan muka merah layaknya kepiting rebus. Mengayunkan tangan kanannya lebih cepat dari yang pertama. Tapi Farhan masih dengan tenang melompat kecil ke belakang. Serangan lainnya diluncurkan oleh laki-laki itu, Farhan terus menghindarinya dengan lompatan-lompatan kecil mundur ke belakang.

Farhan tak membalas dengan pukulan. Ia justru merangsek ke depan ketika lengan laki-laki itu berhasil di hindarinya. Dengan sedikit dorongan di bahu belakang, laki-laki itu tergelincir ke depan. Topinya lepas, menggelinding seakan tertiup angin.

“Maaf lagi mas, saya pergi dulu...” Merangkul Sintia, “Ayo sayang!” senyumnya pada gadis itu.

Sintia tertegun melihat aksi Farhan barusan, yang lebih parah ia tak berucap apapun kecuali mengikuti sandiwara Farhan. Farhan menggiring Sintia masuk ke sekolah. Sesekali wanita itu menoleh ke belakang, melihat laki-laki tadi ngos-ngosan. Berlutut di atas trotoar.

“Sudah jangan dilihat!” Farhan memutar kepala Sintia dengan tangan kirinya.

Tin tin...

Dari arah parkiran guru seseorang yang ia kenal terlihat. Ia menghentikan langkah, begitu juga Sintia.

“Ouhhh... Baru satu hari sudah punya cewek nih anak.” Sapanya begitu kak Ara menghentikan motor bebeknya.

Tangan Farhan langsung sigap membentuk istirahat di tempat. “Anu... Tadi...” belum sempat menjelaskan Kak Ara melengos memajukan bibirnya. Menarik tuas gas meninggalkan mereka berdua.

Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “maaf lupa kalo sudah jauh tadi.” Ucap Farhan.

Pipi tembem wanita itu memerah, menundukkan kepala. “Enggak apa-apa...” kaki kanannya menggeser sedikit ke kiri dan ke kanan. Rambut sepunggungnya juga turut berkibar karena galengannya begitu cepat.

Mendengar pernyataan itu, Farhan meninggalkan Sintia tanpa sepatah kata. Berlari ke arah gerbang sekolah. Setelah ia memastikan laki-laki itu sudah pergi, “sudah aman!” ia berteriak ke arah Sintia.

***

Awan bergerak lebih lambat sore ini. Begitu juga mentari, 30 menit lagi akan ada kilauan emas di ufuk barat. Hari ini Farhan tak kan lagi menyaksikan senja di persembunyiannya, tempat di mana ia bisa berdialog dengan dirinya. Di depan teras rumah— entah milik Kak Ara atau orang tuanya—Farhan duduk dalam lamunan. Ditemani buku hitamnya dan sebuah pena. Buku itu tergeletak tak berdaya di sebelah tangan Farhan yang menyangga tubuhnya.

Farhan masih memikirkan bagaimana cara merepotkan ayahnya. Sedang saat ini, ia berada jauh darinya. Ia Masih menyusun rencana agar Ayahnya lebih frustasi terhadap dirinya. Beberapa rencana terpikirkan, namun buyar begitu ia mengingat aksi sok pahlawannya. Ia tersenyum—sangat tipis. Memejamkan mata dan membayangkan gadis berkuncir kuda bernama Sintia. Rambut Farhan bergoyang diterpa angin sore ini. Desir angin tak luput terdengar di telinganya.

Lihat selengkapnya