Catatan Hitam

Kusnul hidayat
Chapter #6

Kesalahpahaman

Pagi ini Sintia masih di atas kasur. Tak seperti biasanya, Sintia masih enggan untuk membasuh tubuhnya. Ia masih lelah, tak mau melihat jam yang ada di atas pintu kamarnya. Ia belum tidur dari semalam. Rambutnya acak-acakan, pandangannya terus berputar. Otaknya masih memainkan film yang sama, film tentang superman yang ia temui kemarin. Yang menolongnya dari gangguan siswa sekolah lain, dan menenangkannya saat ia menggigil tak karuan.

Kadang saat teringat Farhan yang saat itu menggendongnya, pipinya memerah dengan sendirinya—tak disadari. Ia terus memutar bantal, membolak balikannya, atau bahkan seperti saat ini. Memindahkan posisi bantal kearah mukanya. Berharap ia akan terlelap dengan sendirinya. Namun ia gagal, ayahnya memanggilnya. Memerintahkannya untuk segera mandi dan ikut sarapan pagi.

“Bentar yah...” Sahut Sintia. Suaranya tak begitu jelas karena bantal meredamnya.

Bunyi cekrek tuas pintu memaksanya membuka bantal di wajahnya. “Ayo Sintia, sudah jam lima, masa mau tidur lagi. Mandi sana, biar segar!” Sintia bangkit, duduk menatap ayahnya dengan mata pandanya. “Sintia boleh bolos enggak yah?” Pintanya serak.

Tentu saja permintaan itu dibalas dengan gelengan, “lho... Anak ayah kan pinter. Masa mau bolos sekolah... Katanya mau jadi juara kelas tahun ini?” Ayah Sintia mendekatinya lalu mengacak-acak rambut Sintia yang dari awal sudah teracak.

“Iya deh iya...” jawab Sintia.

***

"Apa yang mengganggumu?"

"Bukan apa-apa."

"Hey! Aku tau siapa dirimu."

"Huft... Entahlah..."

"Sekarang cobalah untuk tidur! Jangan pikirkan gadis itu lagi! Bahkan menghancurkan diri butuh tenaga, jadi istirahatlah!"

***

Hari ini hari kedua Farhan menuntut ilmu di sekolah barunya, atau lebih tepatnya tempat tidur barunya dipojok bangku deretan belakang. Kak Ara sudah pergi lebih pagi dari kemarin. Katanya ia harus mengoreksi nilai UTS kemarin—Saat itu Farhan belum pindah sekolah.

Tak ada guyuran air pagi ini. Ia belum tidur sama sekali sejak menggendong Sintia pulang. Tubuhnya memang lelah, dingin, tapi ia masih tetap terjaga memikirkan bagaimana mungkin cewek yang datang malam-malam bisa takut dengan kegelapan. Apapun yang membuat ia tetap terjaga, semua tentang kejadian kemarin, kejadian sore kemarin dan hujan kemarin. Tentang gadis bernama Sintia.

Farhan telah berpakaian sekolah, mengenakan jaket, dan siap berangkat sekolah. Tapi setan di dalam dirinya memberontak, mengiming-imingi dirinya untuk membolos hari ini. Toh kak Ara sudah berangkat lebih dulu, dan tubuhnya masih lelah. Mungkin lelah bisa menjadi alasan untuk dijelaskan kepada kak Ara nanti. Farhan semakin bingung, mengacak acak rambutnya, memukul sendiri pipinya. Sampai suara yang ia kenal baru-baru ini hinggap di telinganya.

Dia di sana. Di depan rumah kak Ara. Gadis yang mengganggu pikirannya sampai membuatnya tak bisa tidur.

“Berangkat yuk...” Farhan melirik Sintia yang sudah berada di luar halaman depan. Membawa sepeda berwarna merah muda. Rambut Sintia sama seperti saat pertama ia memperhatikan gadis itu. Di kuncir kuda, raut mukanya pun sejuk segar seakan tak terjadi hal mengerikan kemarin malam.

“Superman enggak pernah telat lo... Yok... Masa mau telat hari ini?” Sintia memperlihatkan gigi taringnya yang tidak rapi. Gingsul. Farhan baru memperhatikannya pagi ini. Ia terlihat sangat manis, begitu pikir Farhan.

“Kenapa enggak dari kemarin bawa sepeda? Kan lebih cepat.” Tanya Farhan mendekati Sintia dengan tatapan sendunya.

Sintia merengut, “Ayah baru servis tadi pagi. Rusak kemarin-kemarin.” Jelasnya mengingat kejadian di pos ronda. “Ayo!” Suaranya melengking membuat Farhan menoleh ke kiri melempar senyum malu kepada Bu Hani tetangga barunya.

“Ya sudah yuk...” Farhan memegang setir sepeda, tapi Sintia menunjuk jok belakang dengan ibu jarinya.

Anak berwajah sendu itu berdiri. Mematung.

“Kenapa? Malu di bonceng cewek?” ucap Sintia, menunjukkan deretan gigi.

“Ya enggak... Tapi kan...” Kata-katanya sulit keluar untuk beralasan dirinya malu di bonceng.

“Ish...” Sintia langsung melajukan sepedanya. Tapi ia berhenti beberapa meter kemudian. “Bareng enggak?”

“Ya sudah iya...” Entah kenapa Farhan jadi lebih penurut kalau berhadapan dengan perempuan.

“Hati-hati Sintia... Farhan... Sekolah yang benar!” Teriak Bu Hani menghentikan aktivitas menyapunya. Tentu dengan tatapan curiga.

Di jalan, Farhan bertanya tentang Bu Hani yang mengenal dirinya. Sedang Farhan, mungkin lupa dengan namanya.

“Memang seperti kota yang kadang enggak tau siapa nama tetangganya? Ini desa Farhan... Dari ujung ke ujung semua kenal.” Goda Sintia, lalu geli dengan ketidaktahuan Farhan.

Tiba di sekolah, Farhan lebih dulu sampai dikelas. Sintia ditinggalkan memarkir sepeda.

Di depan kelas ia seperti akan diadili satu kelas. Di depannya ada Angga, dan teman-teman sekelasnya yang belum ia kenal. Tatapan mereka tajam, menyerbu masuk ke rongga kerongkongan. Farhan menelan ludah, karena keanehan mereka.

Lihat selengkapnya