Brak...
Sintia menggeser kursi begitu keras. Bertabrakan dengan meja Farhan. Anak laki-laki itu tersentak bangun dari pertapaannya, hampir terjatuh. Matanya yang masih sayup ia tabrakan lurus dengan mata Sintia. Tapi apa? Bukan kata “maaf” yang didapatnya pagi ini, tapi kata “apa?” yang berintonasi cukup tinggi.
Farhan tak memperdulikannya. Kembali ke posisi semula. Namun tak beberapa lama Sintia menggebrak mejanya. Mengusik ketentraman Farhan pagi ini. Melihat itu, Rani mengawasi Sintia cemas, bertanya apa yang terjadi dengan wanita di sampingnya. Atau lebih tepatnya... Apa yang terjadi dengan hubungan mereka berdua. Apakah terjadi pertengkaran yang tidak diketahui. Atau Sintia sengaja mencari perhatian Farhan.
Bel masuk belum berbunyi. Mata Farhan masih panas, lelah, ingin segera memejamkan mata. Tapi wanita yang duduk di depannya mengganggunya lagi dengan metode yang sama. Dua kali. Tak masalah, Farhan memakluminya. Tapi dalam benak Farhan mengoceh, “awas saja kalau tiga kali!”
Brakkk...
Itu ketiga kalinya Sintia mengusik Farhan pagi ini. Kali ini Farhan menajamkan matanya.
“Ini di sekolah, bukan di rumah. Kalau mau tidur sekalian enggak usah sekolah.” Ucap Sintia masih dengan nada yang sama.
Farhan menatap tajam, tak satupun kalimat keluar dari mulutnya.
“Apa maksud kamu menatap orang seperti itu?” Sintia gugup, hatinya mulai menciut.
“Memang kamu ibuku? Bukan.” Biarpun dikatakan secara halus, tapi ucapan Farhan mengandung sebuah ancaman.
Sintia berdecap, “kamu itu ya! Kalau di...”
“Sudah Sin, sudah...” Potong Rani menarik bahu Sintia karena kerutan di alis Farhan tampak lebih jelas.
Angga yang baru datang bertanya tanya melihat Sintia memajukan bibir sedikit, sedang Farhan masih menatap punggung Sintia dengan tajam. Insting Angga mengatakan kalau ada sesuatu di antara mereka.
Berbisik, “ada apa kak?” Angga menelisik Farhan. Meletakkan Ransel di kursinya.
“Nggak tau.” Jawab anak berambut ikal itu.
Suasana pagi itu begitu berbeda. Walau jam pelajaran belum dimulai, kelas tak seramai pagi lainnya. Semua anak kelas IPA 6 langsung diam begitu merasakan suasana tidak enak dari ketua kelasnya. Mereka tau kalau Sintia memonyongkan bibirnya, sudah pasti bakal habis kena semprot jika berbuat sedikit saja kesalahan. Tak hanya itu, terakhir kali Sintia cemberut masam, bahkan anak laki-laki diajak berkelahi olehnya. Itulah mengapa kelas kali ini nyaman untuk Farhan bermeditasi. Tenggelam dalam mimpi.
Di jam pelajaran sejarah. Sejarah baru terukir di kelas ini. Farhan dengan mata sayu melihat isi buku LKS Angga—Farhan belum memiliki buku LKS apa pun dan tak pernah sekalipun membaca buku LKS pelajaran apa pun. Beberapa menit yang lalu, penghapus papan dan mendarat tepat di kepalanya. Lalu disusul gebrakan meja oleh Sintia. Hal itu membuatnya mendapat dua semprotan sekaligus. Yang pertama dari Pak Har, guru sejarah. Dan yang kedua dari Sintia sendiri.
Dia, Farhan. Menyandarkan punggungnya di tembok sebelah pintu. Bibirnya mengapit sedotan yang mengalir cairan hitam bernama kopi. Bunyi srut pertanda kopinya habis, ia melempar bungkus kopi masuk ke dalam tong sampah tak jauh darinya berdiri. Ia mendesah, tatapannya kosong.
“Heh...” Suara melengking tak asing di telinga Farhan.
“Kalau kamu lempar terus kena orang yang lewat bagaimana? Dan ini kenapa bajunya dikeluarkan?” Sintia menarik bagian bawah seragam Farhan yang tak rapi.
Farhan melirik acuh, meninggalkan Sintia kembali ke tempat duduknya.
Sintia melangkah cepat, dentuman sepatunya terdengar di seisi ruangan. Ia menarik pundak Farhan, memaksa tubuh mereka saling berhadap hadapan. “Rapikan baju kamu sekarang, atau...”
“Atau apa?” Farhan benar-benar muak dengan tingkah Sintia hari ini. Bahkan Sintia yang dari gelagatnya ingin berucap “kamu” suaranya tak keluar ketika mata sendu bertransformasi menjadi mata setajam elang.
***
Jam 2 Siang, mata pelajaran olah raga sudah dimulai. Memang terasa ganjil kalau olah raga di lakukan siang hari. Tapi semua siswa tak keberatan jika dilakukan siang. Toh cuma sekali seminggu mereka lakukan.
Semua siswa kelas IPA 6 di depan gerbang sekolah sekarang. Bokong mereka langsung menyentuh tanah tanpa alas. Panas tentu saja mereka rasakan karena tak ada awan yang berbaris menutupi panas matahari.
Beberapa siswi mengipas tangannya karena kepanasan. Beberapa memperhatikan arahan dari Pak Soleh. Mereka akan maraton. Ya... Memutari beberapa kampung di sekitar sekolah. 5 KM, itu jarak yang harus mereka tempuh.
Farhan duduk di barisan depan, barisan laki-laki. Pak Soleh memisah antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki di depan, perempuan di belakang. Anak itu tak mendengarkan arahan Pak Soleh, ia sibuk membenarkan tali sepatu miliknya. Sepatu putih bergaris hitam.
Arahan selesai diberikan, teknik bernafas juga sudah dijelaskan. Pak Soleh meniup peluit tanda kelompok laki-laki untuk segera berlari. Satu menit kemudian kelompok perempuan juga mulai berlari. Pak Soleh sengaja menempatkan kelompok laki-laki di depan. Tujuannya tentu untuk memisahkan kelompok laki-laki dan perempuan. Agar mereka tidak saling berbicara dan mengganggu konsentrasi saat berlari.
“Larimu lambat... Memikirkan Sintia?” Tanya Alfan menyejajarkan larinya dengan Farhan.
“Enggak...” jawabnya singkat, memandang lurus ke depan.
“Terus kenapa? Jarang olahraga?” cetus Yoga, ikut dalam pembicaraan.
“Paling ingat Sintia...” Kata Alfan yang berada setengah meter di samping Farhan.
“Iya lah... Secara Sintia cantik, manis, diincar hampir satu sekolah. Tapi...” Sahut Yoga.
“Judes...” Kata itu melayang begitu saja di mulut Farhan. Mereka yang mendengar tertawa geli dengan jawaban spontan Farhan.