Farhan bangun lebih pagi. Bahkan ayam jago belum berkokok ketika baru membuka mata. Saat terjaga sepenuhnya, tubuhnya terasa sakit, terutama di bagian betis. Ia tak ingin ke sekolah hari ini. Ia tak bisa membayangkan akan sebesar apa kesalahpahaman hari ini. Tapi keinginannya sebatas keinginan yang roboh ketika Kak Ara menatapnya di depan pintu kamarnya.
“Bagus... Sudah bisa bangun pagi ternyata.” Kak Ara melempar senyumnya lalu meninggalkannya begitu saja.
“Bagus apanya, tubuh hancur begini mana bisa pergi sekolah.” Pikirnya.
Sayup tapi jelas Kak Ara berbicara tentang Ayahnya. Kemarin Ayah Farhan menelepon memastikan Farhan baik-baik saja. Sebenarnya HP sudah di berikan oleh Kakak sepupunya. Tapi anak itu menolak untuk berbicara. Bahkan untuk yang satu ini kak Ara harus mengalah. Tak bisa menekan Farhan untuk mengubah pandangannya.
***
Pagi sekali anak berwajah sendu itu tiba di sekolah. Ia menenteng ranselnya masuk begitu saja ke dalam kelas. Tak mempedulikan anak lain yang datang lebih pagi darinya. Menyapa? Itu bukan gaya Farhan. Anak itu selalu menjaga jarak dengan orang-orang. Dengan muka sendu ia meletakkan tas di atas bangku, lalu mengarahkan pandangan ke pohon besar sekolah. Tak ada yang istimewa di pohon itu. Pohon tua dengan banyak ranting tak tentu arah. Daunnya juga sama dengan pohon beringin lainnya. Lebat. Akar-akar menggantung kering saking tuanya. Daun-daun kering berserakan, menghiasi tanah lembek akibat hujan kemarin malam.
Lirih terdengar suara-suara canda di telinganya. Tema hobi yang ditekuni mereka tak di hiraukannya, sampai pada titik mereka berganti tema. Anak itu tanpa memindah pandangannya, mendengar ocehan mereka yang membicarakan Farhan dan Sintia, kemarin lusa. Sudah dua hari ini Farhan mendengar cerita itu. “Tak bosan bosannya mereka,” itu yang dipikirkan Farhan.
Anak laki-laki itu melirik bangku kosong di depannya, tempat biasa Sintia berada. Kemarin Sintia tak masuk. Kakinya sulit untuk digerakkan akibat bengkak yang dideritanya. Ia mendapat kabar kalau hari ini Sintia mungkin juga tak kan ikut kegiatan belajar mengajar. Itu bagus untuk Farhan, karena tak akan ada yang mengganggunya tidur dalam kelas.
Pukul 6.55 pagi semua murid kelas IPA 6 telah tiba. Lengkap tanpa Sintia. Bangkunya masih kosong. Pastilah siswa perempuan itu tak masuk lagi.
Bel berbunyi, kegiatan mengajar dimulai. Seperti biasa, Farhan langsung memulai pertapaannya. Tak ada yang mengganggunya. Hanya Sintia yang berani mengganggunya. Sedang Angga teman sebangkunya, tak menghiraukan keberadaan Farhan jika sudah memasuki waktu belajar. Anak berambut klimis itu fokus dengan guru yang ada di depan kelas, lalu beralih fokus dalam bukunya. Sangat berbeda dengan Farhan. Jika Angga antusias dengan belajar di kelas, Farhan selalu malas untuk sekedar memperhatikan. Minimal berpura pura melihat—tapi tak pernah ia lihat.
Waktu istirahat tiba. Ia duduk di sembarang tempat ia suka. Kali ini tak di pojok sendiri, teman-temannya duduk begitu saja di samping dan depannya. Walau risih, ia tak peduli. Farhan lebih fokus dengan mie ayam yang ada di depannya. Sedang Angga, Alfan, Yoga, dan Kris. Asyik bercanda atau lebih tepatnya menggoda Farhan. Mereka terus menanyakan kabar Sintia walau Farhan sudah menjawab ratusan kali, “tak tau!”
Senda gurau mereka terhenti. Meja yang mereka tempati tiba-tiba sunyi ketika seorang anak perawakan Indonesia Arab duduk di depan Farhan. Reza menatap Farhan. Suasana jadi lebih tak mengenakan. Tapi Farhan tak merasakan apapun karena fokus dengan mie ayam yang akan habis dilahapnya.
“Woy anak baru!” telunjuk Reza mengetuk meja. Tepat di sebelah mangkok mie ayam Farhan. Anak berwajah sendu itu sedikit mendongak, memperlihatkan sorot matanya tepat di wajah Reza. Ia masih mengunyah sisa mie ayam di mulutnya. Setelahnya ia sedikit mendorong mie ayam untuk masuk ke kerongkongan dengan es teh yang tak ia sentuh sejak beberapa menit yang lalu.
“Dari kabar yang aku dengar kamu pacaran sama Sintia. Bener?” Matanya mengintimidasi, membuat teman yang ada di sebelahnya menelan ludah tak terlihat.
Farhan sedikit membuang nafasnya yang tertahan, “masalah itu lagi... Menurutmu?” Farhan menjawab nyaris tanpa ekspresi.
“Menurutku enggak mungkin. Memang Sintia sedikit cerita ada anak baru di kelasnya. Tapi enggak mungkin kalian pacaran, mungkin cuma dekat. Tapi... Jauhi dia!” Kata terakhir Reza terdengar lebih serius dengan nada yang lebih tinggi dibandingkan saat ia memanggilnya.
Reza pergi begitu saja, meninggalkan kelompok Farhan yang diam tanpa kata-kata. Alis Farhan sedikit mengernyit ketika mendengar, “kelas isinya pengecut semua.” Ia tak sempat untuk berdiri. Tangannya tertahan oleh Angga. Dari kejauhan Farhan melihat Reza yang kembali ke kelompoknya, tertawa seakan telah menang dengan gampang. Anak dengan tatapan sendu itu tak peduli dengan Sintia. Tapi yang membuat hatinya bergejolak adalah kata-kata pengecut yang keluar dari mulut Reza. Ia melihat dengan saksama wajah Reza. Sangat mudah baginya untuk mengingat wajah itu. Tak ada siswa lain yang mirip dengan Reza. Tak ada yang memiliki wajah setengah-setengah seperti Reza. Bahkan kalau Farhan mau, ia tau harus datang ke mana. Di klub Voli. Farhan pernah melihatnya di sana. Bermain Voli, dan bola voli yang mengenai tubuhnya adalah ulah Reza.
“Turut berduka bro... Tapi, lupakan Sintia saja daripada berurusan dengan Reza!” Pernyataan yang keluar dari mulut Yoga menambah rasa penasarannya akan sosok Reza.
“Siapa Reza?”
Farhan melirik kearah Yoga, “ada apa? Kalian takut dengan anak itu?”
“Semua orang tau Reza siapa. Dia jendral perang di sekolah ini. Kalau ada tawuran, atau apa pun dia dan kawan-kawannya yang maju. Terakhir dua bulan yang lalu dia menghajar anak kelas 3 karena mengganggu Sintia. Dia yang berkuasa di sekolah ini. Dan kabar buruk untuk kamu, Reza Suka dengan Sintia.” Jelas Angga menundukkan kepala. “Reza itu anak yang di takuti di sekolah. Enggak ada yang berani melawan. Kalau Melawan, hajar... Melawan, hajar. Tapi entah kenapa dia juga siswa yang berprestasi. Dekat sama guru. Enggak cuma itu, dengan wajahnya yang jauh di atas rata-rata, cewek-cewek juga banyak yang suka sama dia. Ada masalah dengan dia, pasti ada masalah dengan guru dan cewek-cewek yang mengaguminya”
“Terus kenapa kalau banyak yang suka?” Potong Farhan. Tangannya menggenggam dengan keras sampai bergetar.
“Urusannya bakal panjang kalau berurusan dengan Reza...” Sahut Yoga di sertai anggukan Alfan dan Kris.
“Balik ke kelas yuk...” potong Angga. Tak ingin membicarakan sosok Reza.
Mereka berempat kembali kek kelas, sedang Farhan masih duduk menahan amarah. Beberapa kali ia membunyikan jari jarinya di bawah kolong meja. Entah kenapa ia sangat kesal dengan membayangkan wajah Reza. “Tak ada yang berani?” Pikir anak berambut bergelombang itu. “Kalau enggak ada yang berani, mungkin saatnya Reza tau kalau ada yang berani. Tapi bagaimana dengan kelompoknya?” Farhan berpikir bisa mengalahkan Reza tapi tidak dengan kelompoknya. Darah Farhan seketika mendidih memikirkan skenario apa yang akan dia lakukan untuk bisa melawan Reza, satu lawan satu.
Kantin sekolah semakin sepi mendekati jam istirahat yang semakin menipis. Kini ia bisa menatap dengan jelas punggung Reza dari kejauhan. Ia meneliti, mengukur, apakah ia bisa mengalahkan Reza di perkelahian. Semisal hal ini semakin rumit, Farhan bisa menciptakan skenario untuk berkelahi dengan Reza.
Anak itu benar-benar tidak terima diperlakukan seperti pengecut di kantin. Selepas ia mengembalikan mangkuk, Farhan kembali ke kelas. Ia berjalan di koridor sekolah, tangannya memegang satu buah pisang goreng. Selesai melahap habis pisang goreng, ia memikirkan bagaimana caranya membalas perbuatan Reza.