Pagi ini suasana kelas begitu tertib. Bukan apa-apa, Pak Ragil dikenal sebagai guru killer di sekolah, yang tak segan memberi nilai 0 pada muridnya. Ia menggores spidol di papan tulis, menulis langkah mengerjakan soal linier. Dibalik punggung guru itu, anak-anak lain sibuk menyalin apapun yang ada di papan tulis, kecuali Farhan. Seperti biasa anak berwajah sendu itu menatap keluar jendela. Tak sadar, sesuatu akan menimpanya.
“Awas yang di sana!” Teriak Pak Ragil sambil melempar tutup spidol. Anak-anak lain tak kaget dengan akurasinya, malah terlihat mereka menahan tawa ketika tutup spidol sukses mengenai kepala Farhan.
Lamunan Farhan buyar oleh denyutan menyakitkan di pelipisnya. Ia sedikit meringis, menahan rasa sakit serta rasa malu secara bersamaan. Anak-anak lain mulai cekikikan. Begitu juga dengan Sintia yang puas dengan menutupi giginya yang tak rata.
“Ada apa di luar sana?” tanya Pak Ragil yang terlihat sangat geram dibuatnya.
“...Ada pohon pak.” Farhan menjawab seadanya.
“Ada gurumu di pohon beringin?”
“Hah? Nggak ada Pak.” Jawab Farhan polos membuat seisi kelas terbahak. Sintia tersenyum simpul, Yoga menatap Farhan bingung.
“Benar, enggak ada guru di pohon itu. Adanya di sini, di depan kamu. Sekarang kamu maju, kerjakan soal ini!” Pak Ragil menulis soal itu begitu cepat bahkan sebelum Farhan sampai di depan kelas.
Farhan melongo, lalu menggaruk kepala. Mencari alasan tepat untuk tidak mengerjakan soal itu. Farhan berdiri cukup lama membelakangi semuanya. Hanya ada papan putih beserta goresan soal yang menurutnya bukan sekadar level SMA. Anak itu yakin ini adalah soal khusus untuk mahasiswa.
Setengah menit ia cuma memandangi soal, Pak Ragil menepuk pundaknya dan berkata, “bisa?”
“Sulit pak...” Jawab Farhan jujur.
“Makanya jangan lagi berguru sama pohon tua!” Katanya membuat Farhan tersenyum garing. Seisi kelas pecah dengan cekikikan. “Gurumu ada di depan sini, bukan ada di pohon itu! Hargai!” Ia berbisik cukup pelan untuk tak didengar murid yang lain.
“Maaf Pak,” sesal Farhan.
“Sudah, sekarang kembali duduk! Jangan berguru lagi sama pohon.”
Setelah Farhan duduk, ia segera mencatat yang ada di papan, khawatir di hapus Pak Ragil. Angga meliriknya sebentar. Di luar kesadarannya, Farhan kembali kepada pohon tua setelah selesai mencatatnya.
***
Sintia beranjak ke kantin setelah menyelesaikan urusannya di club voli. Suasana tak asing bagi Sintia. Ramai, aroma bakso, mie ayam, soto bercampur jadi satu di bangunan ini. Setelah memutuskan akan memesan apa, pilihannya jatuh pada semangkuk bakso.
“Bu Romlah, satu ya!” seperti biasa ia melepas senyum saat berbicara.
“Satu mangkuk bakso segera terhidang!” jawab bu Romlah, membuat geli siapa pun yang mendengar. “Sintia tau enggak? Itu... Anak baru yang suka duduk di pojok.” Tanyanya sambil memasukkan beberapa bakso ke dalam mangkuk.
“Yang mana Bu?” tanya Sintia mengintip di balik etalase.
“Itu yang lagi nulis di buku!”
“Oh... Farhan. Tau Bu.” Jawab Sintia begitu matanya menangkap sosok Farhan. “Kenapa Bu?” ia memicingkan mata penasaran.
“Aneh!” bisik bu Romlah pelan. “Sering sendiri, di pojok, sepertinya enggak ada teman... Tapi sering bantu memindahkan mangkok sama gelas, terus di taruh ke cucian.”
Meski Sintia tak paham dengan arah pembicaraan, “kan bagus Bu kalau begitu.”
“Iya bagus... Tapi sepertinya dia kurang pinter juga,” sindir Bu Romlah menyodorkan bakso pesanan Sintia. “Mau minum apa?”
“Es teh saja Bu,” Jawab Sintia.
“Masa iya... Di kasih diskon 30% malah pilih gorengan yang harganya 1.000an.” Jawil bu Romlah ke tangan Sintia.
“Wah aku mau Bu... Harga 10.000 bayar 7.000, “ goda Sintia mengharap perlakuan yang sama.
“Nah kan. Orang normal pastinya mau. Itu anak kok malah pilih...” belum habis kata-kata bu Romlah, Farhan sudah ada di depan mereka membawa tumpukan mangkuk dan gelas. Jantung Bu Romlah dan Sintia berdetak lebih kencang, takut kalau Farhan mendengar apa yang mereka bicarakan.
“Mangkuknya di taruh di mana Bu?” Tanya Farhan dengan wajah datar.
“Taruh di bak saja nak!” Jawab Bu Romlah agak kikuk. “Diskon 30% buat kamu nak!” tawar Bu Romlah. Tangannya fokus mengaduk teh pesanan Sintia.
“Nggak usah Bu... Pisang goreng satu seperti biasa sudah cukup.” Cetusnya mencomot sebuah pisang goreng. “Terima kasih Bu... Mari, “ sambungnya pergi dengan sebuah senyuman tipis.
“Huft...” nafas lega keluar dari kedua wanita itu.
“Tuh kan, apa ibu bilang. Kurang pintar!”
“Iya sih...” jawab Sintia setuju mengingat kejadian tadi pagi.
***
Farhan berjalan gontai menuju kelas. Ia sesekali memijat pelipisnya yang masih berdenyut. “Ah... Si tua tak berperasaan.” Lirih tak ada yang mendengarnya. “Tapi enggak masalah, aku punya mainan baru sekarang.” senyumnya melebar memandang buku tulis yang ia bawa.
Di pertigaan lorong yang sepi, tangan seseorang menariknya. Cukup kuat untuk segera menghempaskannya ke tembok. Wajah yang tak asing bagi Farhan, rasanya ia ingin segera menyelesaikan semua sekarang.