Catatan Hitam

Kusnul hidayat
Chapter #10

Sebuah Alasan

“Kakak berangkat dulu Han...” Ucap tak seberapa jelas karena tersumbat sepotong roti.

“...”

Kak Ara begitu tergesa gesa pagi ini. Mungkin karena tak sabar merayakan hari jadi sekolahnya, atau mungkin tak ingin lama-lama melihat Farhan.

Kemarin malam Farhan sempat bertengkar dengan kakak sepupunya, penyebabnya jelaskulah Farhan. Ia tak ingin berbicara dengan ayahnya di seberang telepon. Karena terus dipaksa Kak Ara, jadilah sebuah pertengkaran adu mulut.

Tak lama, deru mesin motor antik kak Ara terdengar di telinga Farhan. Setelah asap sedikit memasuki rumah disertai bau bensin, perlahan suara motor itu menjauh.

Farhan mendengkus mengingat kejadian malam kemarin.

“Seberapa pun kamu membenci ayahmu, tak sepatutnya kamu menolak berbicara dengannya!” Amukan kak Ara begitu membekas di telinganya.

Tak ambil pusing ia segera merapikan meja makan, menyapu remah-remah roti yang tertinggal. Tak lupa anak itu menenggak sisa susu di gelasnya, lalu segera mencucinya gelas dan piringnya.

***

Sekolah belum ramai, Farhan berjalan gontai menuju bangkunya. Ia melempar tas di atas meja, setelahnya suara brek terdengar. Seperti biasa, ia langsung menenggelamkan kepalanya, mendengkus seberat yang ia bisa. Hari ini anak berwajah sendu itu berharap bisa melihat senyum indah Sintia, mungkin itu akan sedikit membantu melupakan masalahnya.

Beberapa menit kemudian.

Sentuhan di bahu berhasil mengagetkan Farhan. Kelima teman barunya. Dua orang ia ingat, yang lain? Tak bisa ia ingat.

“Kak... Belum ganti baju?” Tanya Angga menyeringai memakai setelan merah hitam. Farhan lupa kalau hari ini akan ada turnamen futsal di sekolahnya. Bahkan ia tak ingin mengingat kalau ia salah satu perwakilan kelasnya.

“Nggak bawa...” jawabnya malas memeluk tasnya.

“Yah... Kalah, sialan kamu Han!” umpat Yoga kecewa. Farhan mengintip dibalik tasnya. Tak tau maksud dari Yoga.

“Yosh... Apa aku bilang. Lumayan dapat semangkuk bakso. Hahaha...” Alfan tertawa lepas.

“Sudah, sudah!” Ujar Angga memisahkan Yoga dan Alfan.

“Ini masih pagi, kalau mau berkelahi di belakang sekolah sana!” cetus Farhan bersandar di kursinya. “Memang ada apa? Apa hubungannya kalah menang dengan aku?” tanyanya.

“Oh... Mereka taruhan. Kak Farhan bawa baju bola apa enggak. Biasa, kebiasaan Yoga.” Jawab Angga berusaha memisahkan Alfan dan Yoga. “Fan, kamu bawa kan?”

“Oh tentu bawa...” Alfan merogoh tasnya lalu melempar jersey di depan meja Farhan. “Ingat cuma aku pinjamkan!” tegasnya menunjuk jersey dengan logo kapal layar.

Farhan terdiam. Anak itu tak menginginkan memakai seragam serupa dengan teman-temannya. Lebih tepatnya ia tak ingin bermain bola dengan mereka, atau siapapun lagi nantinya.

“Kenapa? Nggak bisa main?” kata Yoga dengan mata penuh selidik.

“...” Farhan menggeleng.

“Yosh... Ahaha, menang. Kita impas Fan, hahaha,” tawa Yoga penuh suka cita.

“Astaga,” Alfan menepuk jidatnya di seberang Yoga.

Farhan berdecap, “berapa kali kalian jadikan aku taruhan?”

Alfan dan Yoga sama-sama saling melirik.

“lima atau enam kali Fan?” cetus Yoga tanpa rasa bersalah. Lagi-lagi anak berwajah sendu itu berdecap.

“Kalau enggak bisa main, pakai saja. Yang penting kelihatan di lapangan. Lagi pula kita bakal kalah di pertandingan awal. Jadi enggak perlu gantian.” Cetus Kris yang sedari tadi diam.

“Huft... Oke.” Farhan menggenggam Jersey pinjaman Alfan, merangsek pergi ke kamar mandi. Ia pikir tak ada masalahnya kalau cuma memakai baju bola. Toh sekadar formalitas.

***

“Maaf Za... Aku enggak bisa terima perasaan kamu.” Ucap Sintia menatap sepatu merah Reza.

“Tapi kenapa Sin?” sahut Reza.

“Kamu tau kan...”

“Karena ada Farhan anak baru itu?” potong Reza. “Atau karena aku disebut jendral perang sekolah?” ia merapatkan jarak, memaksa Sintia menatap matanya. “Jawab Sin! Kamu tau kan aku juga punya prestasi akademik, non akademik. Kamu tau? Aku melakukan semua itu untuk menarik perhatian kamu. Aku sudah bersabar cukup lama Sin. Tapi aku sudah enggak bisa tahan perasaan aku.” Tambahnya meyakinkan Sintia.

Sintia hanya bisa menggigit bibirnya tanpa berkata-kata.

“Sintia, aku sudah lama suka sama kamu. Aku sayang sama kamu. Kita sudah dekat cukup lama, apa kamu pura-pura enggak tau itu?” tekan Reza putus asa.

“Maaf Za... Tapi aku memang enggak mau pacaran.” Jawab Sintia. “kalau masalah Farhan, aku enggak pacaran kok sama dia.” Tekannya meyakinkan Reza.

Bunyi derit pintu toilet sekolah membuat mereka berdua menoleh. Farhan berdiri diambang pintu dengan raut datar khasnya. Sendu.

“Farhan?” ucap Sintia kaget.

“Hi... Boleh aku lewat?” Sapa Farhan melewati mereka berdua. Farhan bukannya tak mendengar pembicaraan Sintia dengan Reza, bahkan ia mendengar cukup jelas saat Reza mengutarakan cintanya. Anak berwajah sendu itu tak ingin ikut campur urusan mereka. Ia bergegas meninggalkan Reza dan Sintia.

Tujuh langkah Farhan menyeret kakinya, “oke... Aku terima alasan kamu. Tapi aku mohon jangan dekat-dekat dengan anak baru tak naik kelas itu!” Reza menunjuk ke arah Farhan.

Alis Sintia naik, “kenapa kamu mengatur aku? Urusan aku berteman dengan siapa bukan urusan kamu kan?” sanggah Sintia. Sebelum ia melanjutkan ucapan, ia menoleh karena sentuhan di bahu kanannya. Farhan kembali, di sisi kanan Sintia.

“Sintia... Pergilah ke kelas. Biar aku jelaskan padanya.” Datar ia menatap Reza. “Apa maksud ucapanmu tadi!?”

“Han...” Sintia mengucapkannya lirih, ia khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan.

“Sintia... Pergilah ke kelas, anak-anak membutuhkan bantuan di sana! Aku janji enggak akan terjadi apa-apa,” tatap Farhan dengan sudut bibirnya sedikit terangkat.

Sintia mengangguk lalu pergi begitu meninggalkan dua anak laki-laki yang dikenalnya.

Sekolah tak begitu ramai. Hanya beberapa siswa yang melewati mereka berdua. Tak ada yang memperhatikan mereka, tak ada yang merasakan hawa panas dari keduanya.

Setelah memastikan Sintia hilang di tikungan koridor, Farhan membuka suara. “apa maksudmu tadi!?”

Sempat tertawa, Reza juga membuka suara beratnya. “yang mana? Anak baru tak naik kelas atau ucapan menjauh?” ejeknya sembari terkekeh.

“Keduanya!” ucap Farhan begitu serius.

Lihat selengkapnya