Setelah kejadian-kejadian itu. Said mencoba merenungi beberapa hal bagi dirinya. Perenungan tentang bacaannya. Ma’alim Fi Ath-Thariq, buku yang ia pegang saat ini. “Hendaknya persoalan akidah menjadi fundamen dakwah Islam kepada manusia karena akidah sedari awal memang menjadi fundamen dakwah Islam kepada manusia. Dakwah inilah yang menjadi fokus al-Qur’an periode Mekkah selama tiga belas tahun penuh. Jika konsep dasar agama Islam ini mendarah daging dalam diri umat Islam maka pengkristalan inilah yang akan menjadi landasan bagi apa yang disebut dengan 'Masyarakat Islam'. Masyarakat ini sangat tepat dalam membangun tatanan Islami dalam kehidupan sosial”. Ia sedang duduk sendiri dalam sekretariat organisasi kepemudaan Muslim itu.
Proses manusia menerapkan nilai-nilai agama di dalam ruang dan waktunya bukan proses yang sekali jadi, melainkan membutuhkan waktu yang panjang. Pertama-tama dibutuhkan waktu untuk memahami konten panduan tersebut secara benar dan setelah memahaminya dibutuhkan pula waktu untuk memahami cara mengimplementasikannya sesuai dengan ruang dan waktu. Selanjutnya, pada saat pengimplementasiannya, dibutuhkan juga pemahaman tentang realitas ketika konten itu diterapkan dan setelah dipahami realitas pada saat melaksanakannya, mungkin ditemui fakta baru tentang keterbatasan-keterbatasan sebagai manusia. Di saat itulah disadari bahwa mungkin ada pemahaman yang salah tentang konten panduan tersebut, atau bisa juga benar cara memahaminya tetapi salah cara menerapkannya. Atau boleh jadi benar cara memahaminya dan benar juga cara mengimplementasikannya, tetapi konteks ruang dan waktunya tidak sesuai.
Tauhid merupakan penerus sejarah suci kenabian. Sejak awal, Tuhan Yang Maha Esa mengutus para Nabi dan Rasul dalam wujud manusia yang diamanahi wahyu untuk mengingatkan kehadiran-Nya, perintah-Nya, cinta-Nya, dan harapan-Nya. Sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, tradisi Islam mengakui seluruh mata rantai kenabian, mulai dari para Rasul yang paling dikenal, seperti Ibrahim, Nuh, Musa, dan Isa, hingga yang kurang dikenal, bahkan nabi yang tidak kita kenal sama sekali. Tuhan selalu menyertai kita sejak awal penciptaan hingga hari akhir kelak. Inilah makna sejati tauhid dan rumusan al-Qur’an tentang muasal dan muara hidup manusia: “Kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali”.
Said membuka buku Ma’alim Fi Ath-Thariq itu, di dalamnya ada beberapa lembar catatan. Said ingat ini catatan dari ceramah dalam ramadhan kemarin. Said kembali mencerna ceramah yang ia dengar beberapa waktu lalu saat bulan ramadhan. Dalam salah satu ceramah Ustad Ridwan Husen, Lc, beliau mengungkapkan puasa seharusnya tidak membuat kita melalaikan tugas berjihad di jalan Allah, membina masyarakat, memperbaiki masyarakat. Dengan tetap membersamai itu semua dengan amalan-amalan kita dalam ramadhan seperti tilawah, sholat sunnah, qiyamul lail, itikaf, dan lainnya.
Para sahabat ketika Ramadhan, semangat berjihadnya meningkat. Kita terbalik karena kesibukan amalan kita lupa berjihad. Merekrut, dan liqo. Bahkan kadang liqo “diliburkan” karena “kesibukan” dalam “amalan harian”.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (Q.S al-A’raf : 7 : 96)
Takwa itu, pandangan dari Ridwan Husen, Lc, dari perintah puasa maka takwa itu adalah perbaikan juga pada masyarakat. Maka takwa itu bukan hanya pada diri sendiri. Pada Ramadhan itu, Imam Hasan al-Banna, menargetkan bagaimana dampak takwa itu pada masyarakat. Khairun nas an faahum lin nas (“Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain”). Ramadhan adalah bagaimana tantangan kita mentakwakan masyarakat. Puasa itu menurut DR. Yusuf Qardhawi, diperintahkan ketika keimanan masyarakat Madinah telah kokoh. Perintah puasa itu hanya batu loncatan. Karena mereka sudah beriman.
Orang-orang yang menang di peperangan-peperangan akidah di belakang nabi-nabi mereka adalah mereka yang memulai peperangan dengan permohonan ampun atas dosa, bertawakal kepada Allah, dan berlindung ke perlindungan-Nya yang kokoh. Maka, membersihkan diri dari dosa, bertawakal kepada Allah, dan kembali ke perlindungan-Nya adalah termasuk modal kemenangan, bukan sesuatu yang terpisah dari medan”. Kembali Said terkenang dengan kata-kata Sayyid Qutbh sembari mencerna dengan ceramah Ustad Ridwan.
Maka secara pribadi, apa kita sudah punya modal keimanan yang cukup. Untuk menjadikan masyarakat yang takwa. Hingga keberkahan itu menyertai masyarakat yang beriman dan bertakwa. Demikianlah Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas Muslim yang terjadi malah kemunduran setiap tahun. Maka tanyakanlah puasa kita. Refleksi keimanan kita. Standar keimanan.
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka apabila disebut nama Allah, gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal” (Q.S. al-Anfal : 6 : 2)
Ketika membaca sejarah peradaban, kita akan menemukan satu kaidah bahwa pada saat sebuah peradaban sedang naik, maka sesungguhnya peradaban tersebut sedang dikendalikan oleh ruh. Sementara ketika peradaban berjalan mendatar maka yang mengendalikannya adalah rasio atau akal. Dan ketika peradaban sedang menukik turun, maka berarti ia sedang dikendalikan oleh syahwat atau hawa nafsu. Fenomena sejarah yang menunjukkan peradaban dalam grafik naik berarti juga memperlihatkan rasio perbandingan antara sumber daya dan produktivitas. Pada saat kita dikendalikan oleh ruh maka produktivitas kita pun jauh lebih besar dari sumber daya yang kita miliki. Sedangkan grafik mendatar menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya berbanding lurus dengan produktivitas kita atau dengan kata lain berimbang. Sementara grafik menurun, memperlihatkan gambaran bahwa produktivitas kita jauh lebih rendah dari ketersediaan sumber daya yang ada.
“Allah ingin membangun komunitas, harakah dan akidah dalam waktu bersamaan. Dan Allah menghendaki pembangunan masyarakat dan harakah yang berakidah dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan harakah. Allah menghendaki akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas riil dari akidah”.
“Orang Quraisy bukan semata-mata menentang seorang manusia dan sebuah misi. Sesungguhnya, jika semua utusan Tuhan mendapati pengalaman yang sama. Penentangan serupa dan kebencian dari sebagian besar kaumnya. Hal itu terjadi karena kandungan pesan yang mereka bawah merupakan revolusi radikal atas tatanan masyarakat," Said masih terpendam dalam lamunannya tentang Tauhid. Ya, revolusi radikal itu adalah revolusi tauhid.
#
Dalam ruangan yang biasa digunakan untuk rapat itu, ada satu meja, dan dua kursi. Sekretariat yang berada di jalan lorong kecil. Berada di sekitarnya ada penginapan, di jalan lorong ini, di sebelah sananya juga ada sebuah mushala kecil, di dekat mushala itu, ada juga sebuah gereja besar, terkadang kalau berjalan mau sholat entah sholat maghrib atau sholat ashar, kadang disana gaung adzan berkumandang, dan berjalan pelan-pelan menuju mushala itu, sembari akan terdengar suara nyanyian dari gereja.
Di mushala ini juga kita temui seorang yang hanya berkaki satu, tapi tak lekang baginya untuk meninggalkan sholat di masjid, bahkan ia kadang selalu datang di awal-awal waktu sholat. Para kader selalu melihatnya, terinspirasi olehnya.
“Ah, ia yang fisiknya terlihat tak sempurna tapi selalu berusaha sholat tepat waktu," Said menghela nafasnya dalam perenungannya.