Catatan Identitas

M. Sadli Umasangaji
Chapter #9

Serpihan Konservatif


           Aku melanjutkan catatan-catatanku. Dari media aku melihat bahwa hari-hari ini, semakin terpuruk. Allepo masih membara, Gaza masih ditindas Yahudi Zionis, Muslim Rohingya tak luput dari penderitaan.

           “Tak ku sangka di negeri ku ini, telah terjadi penistaan agama, itu yang ku tahu dari anggapan mereka”, renungan ku sendiri. Mereka menyebut penistaan kepada surat Al-Maidah 51. Akhir-akhir ini juga kita pertontonkan dengan pembubaran ormas yang berafiliasi pada gerakan keislaman transnasional. Begitulah disebut.

           “Catatanku, ku mulai dari pemahamanku tentang ini. Tentang sebuah gerakan yang mula-mula muncul di negeri ku ini", pendamku sendiri. Beberapa hal ku diskusikan dengan Said dan Dawam.

           “Dia adalah gerakan anasir”, gerakan ini memiliki pengaruh yang agak kuat di masyarakat sejak tahun 1990-an, apalagi sejak keterlibatan alumni-alumninya dari Timur Tengah. Ada perubahan-perubahan metode, materi dan nama atas identitas gerakan ini, terutama sebelum reformasi berlangsung.

           “Mereka bergerak, di kampus-kampus dan sekolah-sekolah tingkat menengah, sampai ke mushola-mushola”

“Mereka merupakan gerakan keislaman, gerakan dalam membentuk, mengajarkan atau menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak, siswa ataupun orang-orang yang kita tuju dalam kepentingan dakwah”. Hakikat mendasar bagi munculnya perlawanan bangsa Indonesia pada substansinya adalah hakikat perlawanan umat Islam yang disinari oleh gerakan salaf, dan dari sanalah semua gerakan modern dan gerakan nasional terpengaruh secara massif.

           “Apakah gerakan ini bermula dari pergerakan Islam awal di negeri ini?”

           “Tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir misalkan?", pikir Usamah. Dari beberapa literatur yang ia baca, gerakan ini bermula dari beberapa orang yang memiliki afiliasi, atau mungkin ketertarikan pada gerakan keislaman di Mesir, yang melakukan kelompok pembinaan pada para pemuda dengan metode Usrah. Para tokoh yang menyelesaikan kuliah di Timur Tengah, dan ada beberapa yang karena ketertarikan pada literatur gerakan Islam di Mesir itu, kemudian mencoba menerapkannya. Dan saling bertemu bersama seiring waktu berjalan. Kemudian mulai mengembangkan dakwahnya pada kalangan anak muda di kampus-kampus, terutama kampus-kampus negeri. Lahirnya gerakan dakwah kampus yang di era reformasi berawal dari munculnya kelompok anak muda yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari dan mengkaji serta mengamalkan Islam, sebagai tanggapan atas tekanan politik yang dilakukan rezim represif orde baru terhadap umat Islam, serta juga adanya ruang publik yang relatif lapang yaitu masjid dan mushalla kampus, tempat idealisme kaum muda Islam itu mengalami persemaian ideal secara tepat. Sementara itu, masjid kampus ialah basis yang dijadikan benteng pertahanan sekaligus basis gerakan dan faktor di atas membuat anak-anak muda bersemangat dalam perjuangan dakwah Islam.

Di tahun 1968, Natsir beserta teman-temannya membina generasi muda kampus (khususnya dosen) sebanyak 40 orang yang berasal dari berbagai kampus di Indonesia. Sekembali dari pembinaan tersebut mereka mengembangkan pemikiran keislaman seperti apa yang mereka terima dalam acara tersebut. Pembinaan ini diadakan berkelanjutan tidak hanya sekali.

Menindaklanjuti kegiatan pengkaderan tersebut, maka DDII pada tahun 1974 melaksanakan suatu program yang disebut dengan Bina Masjid Kampus. Program ini mengusahakan pembangunan masjid disekitar kampus untuk dipakai berbagai aktifitas. Fasilitas masjid ini diperlukan agar pembinaan Islami tetap terjaga. Pembangunan masjid kampus ini dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Masjid-masjid kampus seperti Masjid Salman di ITB, Masjid Arif Rahman Hakim di UI, dan masjid kampus lainnya menjadi pusat kegiatan mahasiswa muslim. Muncul forum-forum diskusi yang membahas tentang Islam tidak lagi hanya dalam ranah ibadah, namun dibahas juga Islam dalam berbagai sisi kehidupan, sosial, ekonomi, dan politik.

Natsir meminta kader-kader muda tersebut untuk menterjemahkan buku-buku IM seperti buku-buku Hasan Al Banna, Yusuf Qardhawi, Sayyid Qutb. Dan diterbitkan melalui Media Dakwah, lembaga penerbitan DDII. Penerbitan buku-buku IM ini membantu penyebarluasan pemikiran-pemikiran IM terutama di masjid-masjid kampus.

Melalui gerakan inilah ide-ide dan pemikiran Ikhwanul Muslimin dikaji dan diimplementasikan, perkembangan pemikiran Ikhwanul Muslimin di kalangan aktifis dakwah kampus menjadi semakin semarak dan bergairan setelah kembalinya para intelektual muda yang menimba ilmu di Timur Tengah (khususnya Mesir), yang notabene banyak bersentuhan langsung dengan ide-ide Ikhwanul Muslimin. Para intelektual muda ini kemudian menjadi fasilitator transformasi pemikiran dan ideologi Ikhwanul Muslimin ke kalangan aktifis dakwah kampus. Mereka banyak menterjemahkan buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Selain itu, mereka banyak diundang untuk memberikan materi kajian keislaman di kampus-kampus. Hal ini terjadi di era akhir 1980an-sekarang yang berjalan cukup intens.

“Paska runtuhnya pemerintahan Orde Baru, beberapa gerakan keislaman berideologi semisal Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, muncul kepermukaan, yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai Gerakan Keislaman Baru (New Islamic Movement)”

“Dan gerakan tarbiyah bertransformasi dalam gerakan politik”. Usamah mengucak matanya, menyandarkan badannya pada kursi yang didudukinya, mematikan laptopnya, kemudian menutupnya.

 

#

           

           Pergantian kepemimpian di dalam Partai Dakwah ini, membuat secara tak terduga terjadi kekisruhan dalam internal gerakan yang telah bertransformasi pada gerakan politik ini. Orang-orang menyebutnya Faksi Sejahtera Versus Faksi Keadilan. Religius Movement Oriented dan Political Party Oriented. Atau disebut dengan kelompok “Idealis” dan “Pragmatis”. Kemudian, “Konservatif” dan “Progresif”.

Konservatif diidentikkan dengan “Cenderung memandang hampir semua hal sebagai sesuatu yang tetap dan tidak boleh diubah. Cenderung dikotomis dan berhadap-hadapan, menggunakan “bahasa akidah”, seperti Islam vs kafir, al haq vs al bathil, atau dengan kata lain, cenderung menggunakan bahasa-bahasa aqidah (keyakinan agama)”. Progresif diidentikan dengan “Cenderung memandang banyak hal sebagai sesuatu yang berubah secara dinamis, disesuaikan dengan perkembangan kondisi. Cenderung melihat hubungan dengan elemen-elemen masyarakat yang lain dalam konteks muamalah, mencoba mencari titik temu dan kemungkinan kerjasama”.

Lihat selengkapnya