Pada mula mereka berkumpul, mungkin demikian. Sebagai kejadian dalam dinamika kumpulan ini. Semua bermula dari cerita ini. Tak seperti tahun sebelumnya. Acara ifthor jama’i bersama dengan Sang Deklarator, dikatakan sungguh berbeda. Kalau di tahun lalu, saat bulan Ramadhan yang bertepatan dengan, awal konflik belumlah nampak. Kumpulan petinggi baru dilantik. Seluruh alumni organisasi kepemudaan ini, begitu kata mereka, masih dalam suasana bahagia dan sedang bersmangat sekali membentuk organisasi alumni. Seluruh alumni tak dipisahkan oleh sekat apapun. Tapi di tahun ini, konflik Sang Deklarator dan petinggi kumpulan ini, atau bisa kita sebut perbedaan faksi, itu kini sangat berdampak pada alumni organisasi kepemudaan ini. Sebagian dari alumni, kata mereka, seperti terlibat dalam seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi, dan menjadi serba salah posisinya.
Berbagai pembicaraan dari mereka dan obrolan terurai. “Selalu saja berulang. Kisah-kisah menakjubkan yang bergulir di roda sejarah. Tentang kehendak atau langkah mula-mula untuk menciptakan peristiwa besar yang akhirnya terpatri dalam lembar waktu. Seperti mengamini kata para ahli hikmah dan ahli sejarah; bahwa dalam setiap masa, selalu ada kisahnya. Dan dalam setiap kisah, selalu saja ada pahlawannya. Dan bahwa dalam kemunculan para pahlawan, selalu saja para pemuda pemberani yang menjadi pemantiknya”, kata Pendamping Sang Deklarator.
“Semoga saja, perjumpaan di rumah Sang Deklarator malam ini, menjadi batu penanda lahirnya gelombang kepahlawanan baru di negeri ini”, kata Sang Pendamping dengan semangat dan senyum pada yang hadir. Bagi mereka, mereka menyebut mereka generasi baru, sebagai gelombang kepahlawanan baru, bagi mereka, momentum Ramadhan ini, seperti menemukan tempat singgah raksasa untuk merenungi, melakukan kontemplasi atas tubuh diri, dakwah dan umat; lalu melesat tinggi menjadi ribuan kerlip lintang di ufuk khatulistiwa.
Mereka memulai lagi perbincangan saat setelah menunaikan sholat tarawih, Sang Deklarator membuka dengan menjelaskan ulang tentang niat awal mereka berkumpul di rumahnya. Tentang menangkap kegelisahan kolektif atas peristiwa-peristiwa. Tentang obsesi dan optimisme yang ingin dibagi diantara hadirin.
Mungkin ada yang absurd. Seperti yang terurai dari kata salah seorang yang dianggap mewakili tempat kita bernaung, bercerita bahwa di Maluku Utara, sudah ada 50 orang anggota kumpulan yang diberhentikan dari halaqoh (pengajian) karena mengadiri Deklarasi Alumni. Bahkan mantan Ketua kumpulan di Maluku Utara ikut diberhentikan karena rumahnya dijadikan tempat panitia mempersiapkan deklarasi.
“Memang represi dan tekanan bagi anggota Organisasi Kepemudaan itu dan alumninya yang pro deklarator, terjadi dimana-mana secara massif”, kata Sang Pendamping.
“Organisasi Kepemudaan ini sebagai organisasi sudah dianggap sebagai properti yang dikuasai secara utuh dimana aktivisnya bisa “digunakan” sesuai keinginan pada waktu-waktu tertentu dan kebijakannya sering diatur secara kaku, sesuai kepentingan pada saat itu”, masih kata Sang Pendamping.
“Organisasi Kepemudaan itu tidak lagi dipandang sebagai organisasi yang merdeka dan bebas yang harusnya jangakauannya bisa melampaui sekedar wajah dari kumpulan dalam bentuk partai, karena Organisasi Kepemudaan itu, bisa merangkul banyak anak muda dari berbagai latar belakang. Begitu juga dengan output kader yang dihasilkan. Tidak boleh lagi dianggap sebagai properti dari wajah kumpulan yang dalam bentuk partai, ya partai tertentu, karena faktanya, Organisasi Kepemudaan ini memang menyatakan diri independen dalam kredonya; yang berarti, kadernya bisa berdiaspora ke berbagai bidang dan partai politik”, kata Sang Pendamping masih dalam perbincangan mereka.