Beberapa tahun telah berlalu. Di suatu waktu mereka bertemu dalam sebuah musyawarah organisasi kepemudaan Muslim yang mereka geluti dulu. Hadirlah Usamah, Yusuf, Dawam, Said, Mirgah dan beberapa senior di atas mereka, dan juga junior di bawah mereka. Said saat itu telah menjadi dewan penasehat organisasi ini.
Pikiran Usamah terbawa jauh dalam sejarah tentang musyawarah. “Tangan Allah adalah bersama jamaah (suara yang terbanyak)”, pikiran Usamah masih melayang-layang pada masa lampau.
Musyawarah bersama-sama, bagaimana yang akan baik. Terkenanglah Usamah, “Jika muncul suatu persoalan, mereka lihat dahulu bagaimana cara Nabi memutuskan. Jika tidak diperoleh, lalu dimusyawarahkan”.
Bermusyawarah, bermufakat, dan berbincang bersama-sama memilih mana yang bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat, itulah naluri asas kita. Bukankah kamu lebih mengetahui tentang urusan-urusan duniamu (antum a’lamu bi umuri dunyakum).
Pikirannya masih terbawa pada sejarah. Ketika wafatnya Nabi. Ada beberapa pandangan terhadap kepemimpinan (khalifah) paska Nabi. Ada yang mengatakan bahwa kalau Nabi SAW wafat yang berhak menjadi pengganti untuk mengepalai urusan kaum Muslimin ialah kaum kerabatnya yang terdekat, yaitu keturunan Bani Hasyim atau Bani Abdul Muthalib. Setelah agama Islam tersebar jauh, bangsa Persia lebih suka menganut paham ini, sebab pengaruh dari susunan kerajaan Timur yang berdasarkan monarki. Ada yang berpendapat bahwa Nabi orang Muhajirin, keturunan Quraisy dan dari darah Adna, hendaklah khalifahnya dari orang Ansar Madinah, sebab dia penduduk asli di sana dan supaya terbagilah berganti-ganti kekuasaan dari keturunan Adnan kepada keturunan Qahtan. Ada pula yang berpendapat bahwa yang berhak memegang kekuasaan ialah yang kuat ashabiyah-nya, dasar teguh kebangsaaannya, yang disegani oleh seluruh bangsa Arab menurut tradisi yang telah beratus tahun, yaitu kaum Quraisy. Abu Bakar dan Umar bin Khatab mempunyai paham begini.
Itulah yang dimusyawarahkan, diperdebatkan, sampai dua hari. Sehingga terkendala urusan pemakaman Rasulullah lantaran mencari keputusan. Syukurlah segala perbedaan pandangan, mengakui bahwa Abu Bakar adalah orang satu-satunya yang dapat diketengahkan, yang capable, untuk dijadikan pengganti Rasulullah mengurus urusan kaum Muslimin sehingga pertikaian pandangan dapat dipendam ke dalam dasar jiwa untuk beberapa tahun lamanya.
Tiba-tiba suara, “Pilih dan contohlah mana yang baik untuk zaman dan tempat kita. Namun, prinsip tidak kita lepaskan; syura. Karena kita semua adalah khalifatullah di bumi-Nya”. Ternyata pernyataan Said diatas podium sebagai dewan penasehat.
Pikiran Usamah juga terbawa ketika pemilihan musyawarah dulu untuk organisasi Kepemudaan Muslim ini tingkat Daerah di Ternate. Ketika Said terpilih sebagai ketua menggantikan Imran. Secara sadar ada gerbong dalam gerakan yang diam-diam. Sebelum itu Usamah, Dawam dan Said juga ikut dalam Muktamar Organisasi Kepemudaan Muslim ini. Saat itu ada tiga kandidat terkuat yang terasa, ada Rabiul, Ilham, dan Rezlan. Rezlan dipandang sebagai yang dekat dengan orang-orang Sang Deklarator. Rezlan mengklarifikasi ketika bertemu dengan kami beberapa pihak yang menyatukan pandangan, “Saya memang dekat dengan beberapa senior dari orang-orang Sang Deklarator. Karena sebagian sama-sama sebagai berasal dari satu daerah”.
“Saya tidak sedikitpun meminta bantuan pada mereka”, kata Rezlan dengan perasaan serius. Bahkan saking ibanya atas persepsi teman-teman lain, ia menjelaskan dengan air mata yang bercucuran. “Meski demikian bagi saya, saya tetap fair dan fight dalam pertarungan di Muktamar ini”.
Sedangkan Ilham menjelaskan visinya ketika bertemu kami. Ia menguraikan bahwa yang terpenting adalah kesadaran moral seorang kader. Bahwa ia boleh berpendidikan tinggi tapi kesadaran akan kesalehan seorang kader harus tetap terjaga. Ilham dipandang sebagai pilihan kumpulan (jamaah).
Sangat terasa bahwa ada pertentangan antara Sang Deklarator dan kumpulan dalam organisasi kepemudaan Muslim ini. Walaupun semua berjalan dengan diam-diam tanpa ada tindakan-tindakan anarkis. Adab-adab memang harus dijaga. Rezlan yang mengusung Gerekan Kreatif, Ilham dengan Gagasan Moral Kader, dan Rabiul dengan Gerakan Potensi.
Pada akhirnya bahwa Ilham terpilih. “Pertanyaannya menjadi mewakili suara kumpulan atau disebabkan arahan kumpulan?”. Semuanya pada akhirnya adalah pilihan masing-masing dan itu ideal dalam pandangan masing-masing. Bisa jadi ada yang kepentingan, ada yang sekedar kekaguman, atau ada yang memang mengikuti ketaatan bersama.
Selain itu selama pandangan umum yang disampaikan PD dan PW dari organisasi kepemudaan Muslim ini, Dawam turut member kritikan, “Bila kita lihat kembali beberapa waktu yang lalu semisal beberapa PK yang dikritik oleh ‘oknum’ Ormas tertentu terkait posting-an atas beberapa tokoh ‘Islam’ bangsa ini. Titik sederhananya mungkin dalam momentum besar ini, mari kita narasikan kembali Ke-Indonesia-an Organisasi Kepemudaan Muslim ini dari warna yang cenderung ‘Timur Tengah’ atau Ikhwan-Centris”.
“Yang patut kita pikirkan kembali adalah bagaimana gerakan kreatif berbalut dalam ideologisasi gerakan kepemudaan. Kemudian memunculkan dalam wajah ke-Indonesia-an. Mungkin kita harus jujur bahwa sebagian kader lebih lantang membicarakan Sayyid Qutbh, Hasan al-Banna, ketimbang melirik karya Buya Hamka, Muhammad Natsir, Agus Salim dan lainnya”.
“Bila gerakan kreatif kita gaungkan sebagai gerakan perlawanan, mungkinkah kita sebagai kader, mau menikmati karya sastra semisal Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, atau kegirangan membaca karya Seno Gumira. Atau yang lebih masuk akal membaca karya sastra Kuntowijoyo. Atau mungkin sekedar memutar lagu genjer-genjer sebagai lagu perlawanan rakyat kepada penjajahan Jepang waktu itu. Bukan gagap karena takut dituduh ‘Komunis’.”
“Dengan adanya gagasan bahwa gerakan kreatif sebagai gerakan perlawanan. Atau sebaliknya Ledakan Potensi harusnya dalam momentum besar ini kita pikirkan kembali gagasan para tokoh bangsa, murni masuk dalam pikiran gerakan ini. Agar isu kegagapan yang dipandang tidak menyentuh ide dari tokoh ormas tertentu atau sekedar mengambil pangsa pasar kader tertentu, harus diantisipasi dengan murni menikmati gagasan tokoh-tokoh bangsa”, Dawam menutup kritikan dalam menyampaikan pandangan umum.
Perbedaan pandangan dalam ide-ide gerbong juga terjadi dalam musyawarah daerah. Masing-masing gerbong menentukan pilihannya. Tak disangka Mirgah yang kadang berpandangan mandiri. Terkesan menjadi pemihakan pada orang-orang yang secara ide setuju dengan Sang Deklarator. Said menjadi kesapakatan bersama dalam kumpulan untuk ketua berikutnya. Dalam musyawarah daerah itu tidak terlalu meriah. Digelar dengan sederhana. Tidak banyak perdebatan. Tapi sadar atau tidak banyak ada arahan-arahan diam dari masing-masing pihak.
Usamah tekenang pada puisinya paska-paska itu,
“Benih yang tumbuh
Kau rebutkan.. Aku adalah yang benar
Tak kau biarkan ia bebas
Masih saja ada rumput liar menganggu
Benih yang harusnya ditunggu ranum
Kau buat ia seperti rumput liar
Dengan seribu dalih dijadikan pupuk
Yang dinanti tunas...
Disambar arak-arak politik gerbong
Janganlah kau menebar racun pikiran baru
Jangan kau rusaki benih baru itu”
Said telah kembali ditempat duduknya, maka Usamah berbisik masih ingatkah antum dengan kejadian Musyawarah dulu?
Said tersenyum lebar pada Usamah. Dawam yang mendengar pun ikut tertawa sambil berkata, “Biarlah yang ada sekarang berjalan sesuai dengan pilihan-pilihannya sendiri. Saya percaya setiap kader akan menentukkan pilihan-pilihan terbaiknya sendiri. Dan setiap kepengurusan akan selalu punya pandangannya sendiri. Disitulah titik kedewasaan pengkaderan”.