Catatan Identitas

M. Sadli Umasangaji
Chapter #15

Serpihan Kesadaran


Seorang lelaki, sudah terlihat semakin dewasa, tenggelam dalam perenungannya. Said sedang membaca buku, Kembali Dalam Dekapan Tarbiyah, karya Yusuf al-Qardhawi. Sambil bermain dengan si kecilnya, Nursi.

Said, kemudian terbayang pada apa-apa yang telah ia lalui, tentang apa yang ia baca, tentang apa yang ia lakukan. Semua memenuhi dalam ingatannya. Telah terurai menjadi kenangan. Kenangan adalah serpihan waktu. Kenangan adalah serpihan identitas. Waktu sendiri telah menjadi serpihan kehidupan yang memakan, menjelma, menelan, semua telah terbangun dalam sebuah imajinasi dari serpihan kehidupan menjadi serpihan identitas. Sementara waktu telah berjalan menjadi setengah kehidupan, atau memang ia telah membulat menjadi kehidupan yang utuh. Waktu adalah kehidupan.

Terbayang pada bacaannya, “Berapakah luas wilayah ruang dan waktu yang diberikan sejarah ataupun kenangan kepada setiap lelaki, untuk dimaknai, dihidupkan, lalu diabadikan? Apakah manusia dalam perhitungan sejarah, perambatan kenangan, memaknai dirinya dengan waktu?”

Serpihan identitas, lambat laun, menjadi serpihan kenangan. Kenangan dan identitas, menjadi sejarah. Sejarah? Pada mulanya, menggunakan deret ulur waktu. Disini, setiap manusia menjadi setetes air di laut kenangan, atau lautan sejarah, ataupun lautan identitas? Setetes air itu dapat disebut sebagai umur. Dan kumpulan tetes-tetes itu yang dikenang, menjadi sejarah. Kita semua adalah sejarah. Tak ada yang lepas dari padanya. Serpihan kenangan.

Kemudian riak-riak itu dipenuhi oleh tetes kenangan, tetes sejarah, tetes identitas yang kemudian oleh waktu. Dan waktu memang menjelma menjadi kehidupan. Keutuhan kehidupan itu sendiri.

Waktu adalah kehidupan. Sebagaimana ungkapan Hasan al-Banna. Waktu adalah kehidupan adalah bentuk sanggah terhadap pandangan materialistis bahwa waktu adalah emas, waktu adalah uang. Pandangan bahwa waktu adalah emas hanya benar bagi orang-orang materialis yang biasa mengukur segala-galanya dengan benda. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, dimana waktu jauh lebih berharga ketimbang emas dan permata-permata lainnya. Sebab, hilangnya emas masih mungkin dicarikan gantinya, tapi luputnya waktu tidak mungkin tergantikan lagi. Pada hakikatnya waktu adalah kehidupan itu sendiri. Bukankah kehidupan manusia hanya rentang waktu yang ia lalui sejak lahir hingga usai?

Dan pada nantinya serpihan identitas akan berorientasi bahwa, “Hidup adalah masa karya”.

Setiap kita diberi rentang waktu, yang kemudian kita lantunkan sebagai umur. Serpihan umur itulah untuk berkarya. Harga hidup kita, di mata kebenaran, ditentukan oleh kualitas karya kita. Maka sesungguhnya waktu yang berhak diklaim sebagai umur kita adalah sebatas waktu yang kita isi dengan karya dan amal. Selain itu, “ia bukan milik kita”. Dan berlalu begitu semata.

Seperti uraian Sang Orator dalam Arsitek Peradaban, karyanya. Hidup ini adalah jalan panjang yang harus kita lalui. Tak satupun di antara para peserta kehidupan itu yang diberitahu di mana dan kapan ia harus berhenti. Sebab tempat perhentian pertama yang engkau tempati berhenti; adalah ajalmu. Akhir masa karya kita.

Said kembali terbawa dalam serpihan waktu atas kejadian-kejadian yang terjadi saat-saat ini. Waktu adalah masa lampau. Waktu adalah serpihan kenangan yang menggumpal dan satu waktu kejadiannya bisa terulang. Tentang cerita-cerita lampau.

Berbagai peristiwa yang terjadi seakan terulang. Perdebatan-perdebatannya kemudian masuk dalam relung-relung publik.

Sebuah peristiwa pengeboman terjadi. Peristiwa meledaknya bom ini terjadi di beberapa tempat ibadah orang nasrani, gereja. Orang-orang dan relung-relung publik menyorot seakan-akan yang salah umat Islam. Pelakunya umat Islam. Islam dicondongkan dengan terorisme. Padahal kejadian-kejadian ini kemudian dikecam pula oleh berbagai kalangan gerakan Islam termasuk organisasi kepemudaan Muslim ini.

Di ruang lain, organisasi kepemudaan Muslim ini dan kekolektifannya seakan dituduh sebagai pencipta benih terorisme. Padahal tidak!

Residu. Diperkirakan pada tahun 1990-an, efek residu dari perang Afghanistan bertebaran kemana-mana. Diperkirakan juga pada tahun 2017 sekitar seratusan warga Negara ini pergi ke Suriah atau Irak yang kemudian bergabung dengan Islamic State, Negara Islam Irak dan Syam. Kemudian orang-orang ini kembali, masing-masing dari mereka kembali ke Indonesia melalui proses radikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Pelaku bom bunuh diri di salah satu gereja diduga dilakukan seorang Ibu yang membawa dua anaknya. Ibu dan dua anaknya berupaya masuk dalam ruang kebaktian ini sempat dihalau oleh seorang satpam keamanan di pintu masuk.

Di tempat lain, ledakan terjadi saat suatu sepeda moto yang ditumpangi oleh dua orang kakak beradik memasuki kompleks gerekan dan nyaris menabrak dan kemudian meledak.

Di lain tempat lagi, peristiwa terjadi saat suatu mobil merangsek masuk ke halaman gereja dan kemudian melemparkan sebuah bom. Menerobos masuk dengan kecepatan tinggi, menabrak pintu, kemudian meledak.

Kejadian-kejadian ini terpampang di ruang-ruang publik, televisi, media sosial, berita-berita, Koran-koran. Ruang-ruang ini melototkan matanya pada berbagai gerakan Islam yang dianggap konservatif. Dianggap sebagai benih-benih terorisme. Padahal kita sedari bahwa tragedi ini adalah duka kita semua.

Kemudian dalam duka itu, terjadi diskusi dalam ruang publik.

“Katanya anda teman sekolah SMA dia? Seperti tulisan anda di facebook ya? Anda satu angkatan itu, sekelas dengan dia?”, Tanya pembawa acara.

           “Bukan, jadi pelaku ini bukan angkatan saya, dia lulus, saya masuk tapi dia senior saya dalam pengajian”

           “Oh, dia lulus, anda masuk, jadi apa yang dia lakukan di SMA itu anda tidak tahu?”

           “Tahunya di pengajian”

Lihat selengkapnya