Waktu adalah kehidupan. Yang kemudian menjelma menjadi serpihan identitas. Semua telah berjalan. Beberapa tahun telah berlalu. Semua telah menentukkan pilihannya masing-masing. Said memilih melanjutkan karirnya terlibat dalam partai dakwah, secara otomatis terlibat dalam kumpulan. Dawam masih sering-sering hadir dalam agenda rutin kumpulan, tapi fokus advokasi pada kelompok tertindas, sekali ia terlibat dalam gerakan membela Rakyat Gebe yang melawan Perusahaan Tambang. Sekali juga terlibat dalam pembelaan Kasus PHK para karyawan di sebuah perusahaan tambang di Kabupaten Halmahera Timur. Ia masih serius menggeluti pembelaan terhadap kaum tertindas. Yusuf melanjutkan studinya sembari tetap terbuka dengan semua gerakan Islam, sekali-sekali ia turut khuruj bersama Jamaah Tabliq, tapi turut pula ia dengar ceramah Adi Hidayat yang diunduhnya. Mirgah telah terlibat jauh dalam gagasan dan gerakan Sang Deklarator. Mereka telah membentuk gerakan kebangsaan, gerakan yang berafiliasi pada Demokrasi Islam merujuk pada gagasan Ghanouchi. Partai baru patut didirikan. Usamah masih seperti sedia kala. Bolak balik dengan sepeda motor biasanya, menuju Puskesmas tempat ia bekerja. Dari Desa T menuju desa S. Ia menikmatinya. Sembari terus membaca berbagai gagasan Ikhwan, dan sedikit melirik gagasan Sosialisme Islam. Ia seperti Dawam masih menikmati novel-novel sosialis. Saat ini ia menikmati Orang-Orang Malang, karya Fyodor Doestovsky.
Ketika Usamah sedang menuliskan sebuah novel tentang seorang pemuda yang kemudian berafiliasi dengan gerakan Kiri Islam. Bukan Kiri Islam tapi Sosialisme Religius. Ia tersenyum sendiri. Membawa ia kembali pada ingatannya tentang perdebatan mereka tentang gagasan Sosialisme Islam.
Saat itu Said berpandangan pada gagasan Sayyid Qutbh dalam bukunya Keadilan Sosial dalam Islam, Usamah dengan gagasan Hamka dengan judul buku yang sama, Keadilan Sosial dalam Islam, Dawam membaca Teologi Pembebasan, karya Asghar Ali Enggineer. Ditambah dalam bacaan mereka dengan gagasan Tjokroaminoto.
“Mengapa harus Sosialisme Religius?”, Tanya Said pada Dawam dan Usamah.
“Sebab, sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh Pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial. Bahkan suatu frasa, yakni Sosialisme Religius, baik sebagai istilah maupun sebagai ide bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. Sudah semenjak masa perkembangan Sarikat Islam, khususnya setelah mengalami sentuhan dengan paham-paham sosialis-komunis Barat yang mengadakan infiltrasi ke dalam tubuhnya, ide sosialisme-religius itu mulai mendapatkan perumusan-perumusan sistematis dan serius, meskipun mungkin belum sepenuhnya memuaskan. HOS Tjoktoraminto menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme, dan H. Agus Salim mengemukakan pikiran bahwa ide sosialisme sudah tercakup dalam ajaran-ajaran agama, khususnya agam Islam. Syafruddin Prawiranegara pernah pula menulis sebuah pamflet yang isinya menegaskan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Karena pikiran-pikiran serupa itu, tidak mengherankan, jika Masyumi, oleh Kahin, digolongkan sebagai Islam Kiri atau Islam Sosialis”, jawab Dawam.
“Apa Islam Kiri atau Islam Sosialis akan selalu berafiliasi pada Marx?”
“Bisa jadi ia adalah sejalan tapi ruhnya adalah Islam, sebaliknya bisa jadi ia berdiri sendiri, hanya ada pada kesamaan ide, atau bisa jadi ia menjadi kritikan pada Marxisme”, jawab Usamah.
“Mari kita diskusikan pandangan kita ini”, jawab Dawam.
“Bahwa orang harus membedakan antara paham sosialisme sebagai pelajaran dan sosialisme sebagai suatu pengaturan pergaulan hidup bersama (sistem)”, lanjut Dawam
“Sosialisme awalnya dari perkataan bahasa latin ‘socius’, makna dalam bahasa melayu sebagai teman, dan bisa jadi sebagai ‘kita’. Sosialisme menghendaki cara hidup “satu buat semua dan semua buat satu”, yaitu suatu cara hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita, bahwa kita memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain. Segala teori (sosialisme) ini juga mempunyai maksud akan memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan terbanyak jumlahnya. Agar supaya mereka mendapat satu nasib yang sesuai dengan derajat manusia, yaitu dengan memerangi sebab-sebab menimbulkan kemiskinan”.
“Seperti kata Tjorokoaminoto, Tetapi barang siapa mengetahui bahwa pemikiran demokrasi dan sosialisme itu telah berakar kuat di dalam Islam, niscaya terlihat benar akan kebutaan orang banyak tentang Islam”.
“Tapi tidak semua harus sejalan bisa jadi adalah bagian dari kritikan kepada Marxisme, tapi tetap pada naluri Keadilan Sosial”, tandas Said. Ia melanjutkan “Seperti gagasan Sayyid Qutbh. Sepanjang belum tercipta keadilan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga dengan demikian, Islam mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu yang ada di sekitar, sebagaimana halnya ia mencakup masalah ibadah dan amaliyah, jiwa dan hati nurani. Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini bukanlah semata-mata nilai ekonomi belaka, dan juga bukan sekedar nilai-nilai material pada umumnya. Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah dan ruhaniyah. Apabila komunisme memandang manusia dari segi kebutuhan materialnya belaka, dan bahkan memandang alam semesta ini dengan kacamata materialisme, maka Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah antara kebutuhan rohani dan dorongan jasmaniyahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan materialnya. Islam memandang alam semesta dan kehidupan dengan kacamata integral yang tidak terpisah-pisah”.
“Tapi tidak seutuhnya Marxisme itu salah, bisa jadi tetap ada kesamaan ide”, kata Usamah. Dipandangnya Said dan Dawam, kemudian ia berkata, “Datang teori Karl Marx tentang ekonomi yang berdasarkan historis materialisme. Satu perkara yaitu perkara pokok, jelas selisih kita dengan dia yaitu dia tidak mengakui Allah. Dia memandang agama hanyalah sebagai akibat dari perekonomian dan kadang-kadang agama sebagai musuh yang akan menghalangi diktator proletar dan revolusi dunia. Tentang ini bersimpang jalan kita. Inilah prinsip! Oleh karena itu bersedialah umat Islam mempertahankan prinsipnya. Islam tidak pula memandang segala sesuatu buruk saja. Dalam teori Marx, sangat banyak pula yang dapat diterima. Selama teori Marx tidak melanggar prinsip ketuhanan akan kita terima. Akan kita gunakan untuk mencapai cita-cita dan menyempurnakannya. Akan tetapi, untuk memandang Marx sebagai orang suci yang tidak pernah salah atau Lenin orang yang tidak boleh dibantah atau Stalin sebagai dewa, Islam tidaklah dapat menerimannya”.
“Pada dasarnya Keadilan Sosial dalam Islam hanya masalah percabangan. Kita tidak akan dapat menghayati bentuk keadilan sosial dala Islam sebelum kita memahami konsep keseluruhan Islam tentang alam, kehidupan dan manusia. Keadilan sosial tidak lain hanyalah sekedar cabang dari prinsip besar, dimana seluruh pembahasan Islam harus dirujukkan kepadanya”, kata Said.
“Pada asasnya yang paling mendasar adalah menyediakan ruang gerak yang cukup bagi kehidupan dan nilai-nilai ekonomi yang merata dalam semua segi yang menunjang kehidupan menurut pandangan Islam, merupakan cara yang paling ampuh untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan sosial, serta mewujudkan keadilan dalam setiap segi kemanusiaan dan menghilangkan adanya citra interpretasi yang sempit dalam masalah keadilan seperti yang ada dalam komunisme. Keadilan dalam komunisme adalah persamaan imbalan tanpa ada perbedaan sedikitpun dalam segi-segi ekonomis, sekalipun ia harus berbenturan dengan kemampuan kerja yang dimiliki individu. Sedangkan menurut pandangan Islam, keadilan adalah persamaan kemanusiaan yang memperhatikan pula keadilan pada semua nilai yang mencakup segi-segi ekonomi yang luas. Dalam pengertian yang lebih dalam berarti pemberian kesempatan sepenuhnya kepada individu, lalu membiarkan mereka melakukan pekerjaan dan memperoleh imbalan dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan tujuan hidup yang mulia”
Usamah mencermati dan ia memberi sanggahan, “Tapi bila kita telaah bukannya manusia pertama dahulu kala tidaklah banyak keperluaan hidupnya dan tidaklah terlalu payah dia berjuang mencukup keperluan itu. Di kiri kanannya ada buah-buahan yang lebih dari cukup dan binatang buruan pun masih jinak. Pakaiannya pun cukup dari kulit kayu atau kulit binatang bekas diburunya. Tempat tinggalnya cukuplah gua-gua batu. Mereka tidak kenal apa yang bernama krisis ekonomi”.