Catatan Indah untuk Tuhan

Mizan Publishing
Chapter #2

Catatan Kedua: Para Perayu

"Tuhan senang kepada orang-orang yang manja kepada-Nya."

-Emha Ainun Nadjib

Pesantren Ilmu Giri, Selopamioro, Bantul, Pertengahan 2012

Mujahadah malam itu baru berlangsung setengah jalan. Tiga ratusan jamaah yang berkumpul di tempat itu masih berdoa. Masing-masing memanjatkan hajatnya. Usai membaca Surah Al-Fâtihah sebanyak 41 kali, seluruh jamaah berdiam diri. Sunyi. Ustad Nasrudin Anshory mengajak seluruh jamaah untuk berdoa, apa pun permintaannya. Keheningan lereng bukit dan semilir angin menjadi saksinya. Malaikat seolaholah turun bersama para petani yang menghimpun doa mereka yang berserakan dan membawanya ke langit. Usai berdoa, bersamaan dengan dibagikannya ayam ingkung dan nasi gurih kepada seluruh jamaah, Gus Pur berbagi cerita, “Ada seorang kiai, pimpinan sebuah pondok pesantren di Purworejo, mengajarkan ilmu tauhid dengan cara sederhana. Beliau sangat menjaga shalatnya, juga katakata dan kebersihan tubuhnya. Menjelang shalat Zhuhur beliau mandi setengah jam sebelumnya, lalu berganti baju, menyisir rambut, dan memakai minyak wangi. Rapi seperti akan bertemu dengan kekasih. Ketika azan berkumandang, beliau sudah ada di masjid, beribadah dengan tenang. Dunia dan seisinya tidak mengusik kekhusyukannya. Begitu juga menjelang maghrib. Beliau sudah rapi pada pukul 17.00. Dia menunggu petang dengan tenang, seolah-olah itu adalah waktu untuk bertemu dengan kekasih yang telah lama dirindukan. Beliau berdoa dengan khusyuk dan shalat yang ditunaikannya seolah-olah adalah shalat terakhirnya.”

Jamaah terdiam.

“Sementara kita, kadang melaksanakan shalat hanya sebagai syarat. Buru-buru, dikejar waktu. Pertemuan dengan Allah hanya seperti mengisi absen di kantor. Tidak ada dialog dari hati. Kita tidak menikmati shalat.”

Aku pun mengangguk mengiyakan.

“Sekali waktu, seorang santri mengabarkan kalau motor pak kiai hilang. Beliau menjawab dengan ringan, ‘Kalau Allah menghendaki motor itu kembali, pasti ia akan kembali lagi.’ Tak lama kemudian, seorang santri datang lagi. Ia mengabarkan kalau motor sudah ditemukan, mogok di pinggir sawah dan ditinggal maling yang mengambilnya dari pekarangan. Itulah perbedaan kita dengan beliau. Kalau kita kehilangan motor, yang pertama kali dituju adalah paranormal dan polisi. Sementara pak kiai, pasrah kepada Allah. Yang Mahakuasa akan mengurusnya.”

Angin semilir di Bukit Selopamioro seolah ikut membisu, mengajak semua hati yang hadir untuk takluk kepada-Nya.

***

Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta

Lihat selengkapnya