Ketika Tuhan memanggil, apakah kita akan berpaling?
Tebet, Oktober 2011
Siang itu Warung Ayam Bakar Mas Mono penuh pengunjung. Menjelang tengah hari orang-orang berdatangan untuk makan siang. Dulu, warung ini hanyalah warung mungil yang menempel di tembok. Perjalanan waktu dan kegigihan Mas Mono dalam membangun bisnisnya membuat warung itu membesar, melebar, dan mengalirkan pundi-pundi uang yang tak berkesudahan.
“Sap, tunggu, ya. Aku meluncur ke situ bawa Alphard baru, nih! Gres dari dealer,” teriak Mas Mono via ponselnya.
“Yo, tak tunggu,”1 balasku.
Kawanku ini memang unik, selalu ada kejutan nyleneh. Kali ini apa lagi yang bakal jadi guyonannya?
“Sap, lihat ke luar. Lihat ke luar.” Tot tot tot. Sebuah bajaj warna oranye mengilap masuk ke halaman warung, mungkin itu klakson kereta yang dipasang. Lalu, nongollah kepala manusia itu.
“Apik, tho, Alphardku?2 Hahaha,” katanya cengengesan.
Begitulah gayanya. Rezeki memang gampang datang kepada orang-orang yang suka gojekan3. Ibu dan istriku tertawa terpingkalpingkal.
1 “Iya, aku tunggu.”
2 “Bagus, kan, mobil Alphard-ku?”
3 Bercanda.
“Ayo, pesan makanan dulu. Inilah warung Mas Mono yang melegenda. Ada ayam bakar. Semua dibakar. Ada es monogami. Coba semua, Bu, Mbak,” tawar Mas Mono.
Mas Mono pernah main ke rumahku di Jogja dua kali. Dia sudah kenal baik dengan ibu dan istriku.
Pesananku belum datang ketika azan zhuhur berkumandang, suaranya parau di tengah deru mobil, motor, bajaj yang berlalu-lalang di jalanan Tebet.
“Sap, udah azan, tuh. Kita shalat dulu saja, ya. Ayo, Bu, Mbak Sita, kita shalat dulu. Masjidnya cuma di seberang, kok,” ajak Mas Mono.
Kami beranjak menuju masjid, padahal perutku sudah menggeliat dari tadi.
“Azan itu panggilan Allah. Masa kita cuekin? Ibaratnya begini, kita punya sopir, supaya komunikasi lancar, dia diberi ponsel. Nah, ponselnya itu harus on setiap saat. Jangan sampai waktu kita menelepon, malah tidak diangkat karena dia ketiduran atau sibuk main. Sebagai bos, kita kesal. Ambil saja ponselnya, kalau perlu dipecat, cari sopir lain,” kata Mas Mono saat kami berjalan menuju masjid.
“Iyo, yo, Mas.”
“Nah, azan itu pertanda kita sedang ‘ditelepon’ oleh Allah, disuruh menghadap. Allah kangen sama kita. Kalau dipanggil oleh Yang Memiliki hidup, kita cuek, apa nggak mungkin diambil semua nikmat yang sudah diberikan, seperti majikan yang mengambil ponsel sopirnya yang malesmalesan?”
Aku manggut-manggut.
Kami shalat berjamaah bersama lima orang lainnya. Masjid itu kosong melompong. Sementara suara bajaj dan motor menderu-deru di luar sana, mungkin sibuk mengejar setoran dunia.
***
Jogja, 1985
Main di sawah bersama kawan-kawanku adalah momen yang sangat menyenangkan semasa kecil. Sejak habis ‘ashar hingga rembang petang aku berlarian di lapangan, pematang sawah, menaiki kambing milik Mas Sisum, atau perang-perangan bersenjata tangkai daun pisang dengan Andri dan Nardy. Ibuku selalu berpesan, “Kalau main, jangan lupa, waktu maghrib harus pulang, mandi lalu shalat. Kalau main sampai malam, awas ada wewe gombel4.” Mungkin kamu mempunyai pengalaman yang sama. Pada sore hari bapak dan ibu getol mengejarmu agar segera mandi, dengan iming-iming akan mendapat tambahan uang jajan, dibelikan permen, hingga diancam akan digigit wewe gombel. Aku tidak takut pada wewe. Saat usiaku 6 tahun, begitu maghrib datang, aku sudah mandi dengan sabun bebek warna biru. Badanku yang bau kambing wangi kembali. Kuambil sarung dan peci, lalu shalat di mushala yang ada di pinggir dusun.
4 hantu