Di tengah reruntuhan dan bayang-bayang kelam Bekasi distopia, tidak jauh dari pintu keluar tol Jatibening, di balik bangkai-bangkai kendaraan, berdiri sebuah tembok tinggi dengan beberapa menara pengawas.
Di balik tembok itu terdapat oase yang penuh dengan kehidupan: Benteng Jatibening Garden, atau kami menyebutnya BJG.
Dulu, namanya Jatibening Garden, tanpa embel-embel benteng di depannya. Merupakan sebuah komplek perumahan elit yang menggunakan one gate system. Sebagai warga lokal, saya tahu betul Jatibening Garden adalah tempat tinggal orang kaya.
Perumahan ini berisi rumah-rumah mewah dengan fasilitas lengkap. Taman-taman cantik menghiasi tiap blok. Di tengah komplek tersedia sports club dengan fasilitas kolam renang, lapangan tenis, gym, ruang serba guna, dan kantin. Tidak jauh dari sana berdiri masjid Al-Ikhlas. Lalu, agak jauh masuk ke dalam komplek, sebuah lapangan golf driving range melengkapi kemewahan.
Sekarang, Jatibening Garden sudah sangat berbeda. Bisa dibilang, komplek perumahan ini mau-tak-mau harus ikut beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Rumah-rumah mewah yang dulu dihuni satu keluarga berserta pembantunya, kini menampung 5-6 kepala keluarga. Mereka bertanggung jawab atas kebersihan dan kelengkapan rumah.
Renovasi? Ganti cat? Tambah furnitur? Sangat dipersilahkan bila mampu.
Taman-taman cantik di tiap blok yang dulu tampil asri, sekarang menjadi area publik yang berfungsi macam-macam. Ada yang menjadi kebun sayur, kebun tanaman obat, dapur umum, tenda-tenda, area kumpul warga, tempat berjualan, atau sekadar area main anak-anak.
Kantin sports club menjadi dapur umum utama. Dapur ini khusus melayani pejabat benteng, dari presiden hingga para pekerjanya.
Kolam renang ukuran olimpiade yang dulu jernih airnya karena kaporit, sekarang sudah coklat, disekat-sekat, dan resmi menjadi kolam tambak yang super luas. Beberapa jenis ikan dibudidayakan di sini. Ada lele, nila, bandeng, dan gurame.
Bila kolam renang saja sudah menjadi tambak ikan tawar, bisa ditebak apa yang terjadi dengan lapangan golf. Tentu menjadi kebun dan peternakan.
Di sini Kementrian Logistik BJG harus saya apresiasi. Bagaimana tidak? Di tengah jaman pagebluk seperti ini, mereka bisa menemukan bibit-bibit penting dan mengembangbiakkannya.
Lapangan golf yang tadinya hanya hamparan rumput sejauh mata memandang, sekarang menjadi ladang dan kebun. Dari umbi-umbian, sayur-mayur, sampai buah-buahan tumbuh subur. Tidak hanya itu, di sana mereka juga ternak ayam dan kambing.
Rencananya, bila program perluasan benteng berhasil, maka Kementerian Logistik akan berusaha membuat sawah. Demi mengobati kerinduan warga benteng akan sepiring nasi pulen yang hangat.
Hanya masjid yang tidak beralih fungsi. Dia tetap menjadi pusat beribadah bagi umat muslim di BJG. Lima kali sehari, adzan dikumandangan dari dalam masjid. Tanpa pengeras suara, dengan lantunan yang tidak terlalu lantang, untuk mengurangi resiko terdengar zombie.
PRESIDEN BENTENG, DAN JAJARANNYA
Benteng Jatibening Garden bukan sekadar bekas perumahan yang dikelilingi pagar tinggi. BJG adalah komunitas yang hidup dan fungsional. Komunitas yang sejauh ini paling mendekati "hidup normal", era pasca penyebaran wabah.
Memang masih jauh dari ideal, tapi ini adalah usaha terbaik yang bisa dicapai untuk saat ini.
Selama tidak ada zombie yang berhasil menyelinap masuk, atau tidak ada segerombolan manusia edan yang menyerang, BJG akan terus menjadi baik. Tidak menutup kemungkinan bila nantinya "hidup normal" akan bisa terjadi lagi sepenuhnya di sini.
Lalu pertanyaannya, siapa yang mewujudkan semua ini?
Dia adalah Bang Domu, Presiden Benteng Jatibening Garden. Seorang pemimpin yang tegas, dihormati, dan yang terpenting: sisi kemanusiannya masih tersisa banyak.
Sebelum distopia, dia bekerja di sebuah NGO. Entah apa jabatannya, apa NGO-nya, apa yang dia kerjakan, berapa gajinya, dia tidak pernah mau bercerita.
Bang Domu tidak bekerja sendiri, dia dibantu oleh banyak orang yang dia percaya. Salah satunya adalah Bang Gondrong, Wakil Presiden BJG. Seorang mediator kawakan yang selalu berhasil bernegosiasi dengan benteng lain ataupun kelompok nomaden urban.
Jujur, auranya sangat membunuh. Beruntung dia sangat menghormati Bang Domu yang terlihat jauh lebih menenangkan.
Bila Bang Domu lebih sering terlihat di area kebun ataupun taman, Bang Gondrong lebih sering berkeliling pagar, naik-turun menara pengawas, atau memeriksa isi gudang senjata.
Dia sangat concern pada keamanan benteng. Setiap hari dia pasti akan berkoordinasi dengan Jendral Keamanan Benteng: Ageng, atau lebih dikenal dengan panggilan Pakde.
Beliau adalah sosok dengan raut wajah paling bengis di BJG.
Jangankan anak kecil, orang dewasa saja langsung menunduk bila bertemu mata dengannya. Sorot matanya seakan bisa membekukan nyali siapapun yang menatap.