Catatan Laila: Reportase Bekasi Distopia

cendana
Chapter #3

Bangkitnya Kaum Nomaden Urban

Ketika saya mengibaratkan benteng perlindungan sebagai oase, sebetulnya saya tidak sedang melebih-lebihkan. Karena dunia di luar benteng itu bak gurun keputusasaan yang penuh dengan ancaman di tiap sudutnya.

Kehidupan di luar benteng itu sangat erat dengan kematian dan marabahaya. Tapi sepertinya manusia memang punya jalan hidupnya masing-masing. Seseorang berhak menentukan sendiri jalan mana yang mau dia tempuh. Itu adalah hak prerogatif setiap orang. Tidak bisa dipaksakan.

Termasuk ketika seseorang memilih dengan sadar untuk hidup di luar benteng perlindungan, hidup di dunia luar secara berkelompok ataupun sendirian. Berdampingan langsung dengan para mayat hidup yang menjadikan manusia sebagai sumber nutrisinya.

Mereka yang memilih untuk menempuh jalan terjal ini disebut sebagai kaum nomaden urban. Dan inilah kisah mereka.


NOMADEN URBAN ADALAH JALAN NINJAKU


Tidak perlu alasan khusus untuk menjadi seorang nomaden urban. Hanya perlu nyali dan sedikit kenekatan, umumnya sih begitu.

Tapi di beberapa kasus, ada juga orang-orang yang menjadi nomaden urban karena sebuah alasan khusus. Salah satu alasan yang paling sering saya temui adalah: ingin pergi ke suatu kota. Ada yang untuk mencari sanak saudara, ada yang percaya di kota tertentu bebas zombie, atau sesederhana ingin mencari peruntungan yang lebih baik di kota lain--itupun kalau ada.

Mereka yang sudah memilih untuk hidup di luar benteng, harus menjalani semua resikonya. Hidup berpindah-pindah, keadaan tidak menentu, dan setiap detiknya harus selalu waspada akan bahaya yang mengintai.

Sebagai seorang hunter, yang notabenenya sering berpergian keluar benteng, saya sangat bisa memahami kehidupan mereka. Bagaimana sulitnya bertahan hidup dengan sumber daya seadanya.

Lupakan makan atau minum, karena yang paling utama adalah tidak mati dimakan zombie. Itu saja dulu, sisanya bisa menyusul. Karena alasan itulah mereka biasanya bergerak di siang hari, kala para zombie sembunyi di tempat-tempat yang tidak terkena sinar matahari.

Waktu yang tepat untuk mencari makan, atau melanjutkan perjalanan.

Mungkin kamu berpikir mereka akan keluar-masuk rumah, bangunan, atau minimarket untuk mencari makanan. Tapi maaf, kamu salah. Karena kegiatan seperti itu sudah punah sejak tahun kelima. Segala macam makanan olahan sudah kadaluarsa dan rusak. Cukup lima tahun saja untuk alam menghilangkan segala jejak makanan instan yang dahulu kita puja-puja.

Lalu bagaimana caranya mencari makan? Jelas kembali alam.

Bisa berburu atau memancing. Tapi saya akui, tidak semua orang--bahkan yang sudah menjadi nomaden urban--bisa dan sabar untuk melakukan itu. 

Beruntung kita hidup di tanah Nusantara, tanah yang gemah ripah loh jinawi, tempat beragam pohon buah-buahan tumbuh dengan subur. Mangga, pisang, jambu, rambutan, jeruk, belimbing, sawo, nangka, kedondong, kelengkeng, manggis, dan masih banyak lagi.

Merekalah sumber makanan pokok yang paling mudah ditemukan bagi para nomaden urban. Ironisnya, sering kali di bawah pohon-pohon buah yang rindang itu terdapat zombie yang sedang berteduh.

Ada dua pilihan: cari pohon lain, atau bunuh zombienya, lalu panen pohonnya. Saya pribadi akan memilih opsi kedua. Karena saya tahu pasti, di saat siang hari, gerakan para zombie menjadi sangat lambat, seakan tidak bertenaga. Jadi jauh lebih mudah untuk dikalahkan.

Tapi itu pilihan. Karena walaupun lambat, bukan berarti mereka jadi tidak mematikan.

Tentunya banyak juga nomaden urban yang memilih untuk main aman, dan tidak melakukan kontak sama sekali dengan zombie. Seperti yang saya ucapkan di atas, tidak perlu alasan khusus untuk menjadi nomaden urban. Dan setelah menjadi nomaden urban, tidak perlu alasan khusus untuk selalu berhati-hati.


DANGEROUS IS UNDERSTATEMENT

Lihat selengkapnya