Di dunia yang telah berubah menjadi neraka, malam adalah waktu yang paling berbahaya.
Ketika kegelapan menyelimuti kota, bangkit sosok-sosok yang bersembunyi di balik bayang, menjadikan sesama manusia sebagai buruan, lalu memangsanya. Mereka adalah para kanibal, sekelompok manusia post-apocalypse dari kasta paling bawah. Sekelompok nomaden urban yang paling terkutuk.
Melalui jurnal ini, saya, Laila Nurhayati, menyusuri jejak mereka untuk mengungkap kengerian yang mereka tinggalkan.
CERITA DARI PENYINTAS
Para kanibal biasanya hidup di dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan tiga sampai sepuluh orang. Mereka tinggal menyebar di seantero kota. Sebenarnya, populasi mereka itu terus berkurang setiap tahunnya. Entah mati dimakan zombie, mati dimakan kelompok kanibal lain, atau mati di tangan korbannya yang melawan.
Hal ini terlihat dari jumlah kasus penyerangan yang kian hari kian menurun. Dalam kurun waktu enam bulan terakhir saja hanya ada tiga kasus penyerangan yang dilakukan oleh para kanibal.
Di kasus terakhir, kebetulan yang menjadi korban adalah warga Benteng Jatibening Garden.
Tepatnya bulan lalu. Waktu itu menjelang hari raya Idul Adha. Dua orang warga benteng bernama Riko (42 tahun) dan Geraldus (38 tahun), dipimpin oleh Gilang (45 tahun) memutuskan keluar benteng untuk mencari jeruji sepeda, yang rencananya ingin mereka gunakan untuk memasak sate klathak saat perayaan qurban.
Mereka bertiga berangkat pagi-pagi sekali, tujuannya agar bisa pulang ke benteng sebelum gelap. Namun diperjalanan, mereka bertemu sekelompok anak-anak remaja yang sedang merusuh di sebuah perempatan jalan besar.
Karena mereka tidak terbiasa keluar benteng, mereka jadi terlalu takut untuk bergerak. Takut ketahuan, lalu dihajar oleh mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk sembunyi di lantai dua sebuah ruko kosong.
Mereka menunggu dengan penuh cemas. Berharap geng alay yang merusuh itu segera pergi. Namun memang manusia hanya bisa berencana dan berharap, tetap Tuhan yang menentukan. Geng alay itu menetap hingga malam. Mereka bahkan menyalakan api unggun di tengah perempatan.
Sampai akhirnya, mereka tiba-tiba bergegas pergi. Menurut Geraldus, yang mengaku memiliki pendengaran peka, para bocah alay tersebut minggat setelah melihat segerombolan zombie berjalan ke arah mereka.
Sementara itu Gilang sudah kebelet ingin pulang. Dia ketakutan setengah mampus. Seharian dia bersembunyi di ruko itu dengan jantung yang tidak berhenti berdegup kencang. Bahkan dia sudah membuang jauh-jauh keinginannya untuk menyantap sate klathak. Pokoknya dia ingin segera pulang ke Benteng Jatibening Garden!
Akhirnya Gilang memberikan komando untuk segera keluar dari ruko, lalu bergegas menuju benteng sebelum hari semakin malam. Namun nasib nahas memang sedang di pihak mereka bertiga.
Ketika mereka ingin turun, mereka berpapasan dengan lima orang kanibal, yang ternyata bersembunyi di lantai tiga ruko tersebut. Tiga lawan lima. Tentu yang punya kans menang lebih besar adalah yang lima.
Tapi Gilang cs tidak pasrah begitu saja. Mereka melawan sekuat tenaga. Berusaha menyambung nyawa, setidaknya sehari lagi saja.
"Mereka muncul dari balik bayangan! Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada suara nafas, tidak ada suara sama sekali! Mereka seperti hantu!", ucap Geraldus ketika diminta memberikan keterangan kepada Pakde.
Geraldus adalah satu-satunya orang yang selamat dari serangan tersebut. Sementara kedua temannya, Gilang dan Riko, tewas di tangan para kanibal.
"Saya berhasil lolos karena Gilang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan saya. Dia mati setelah terkena tebas golok di bagian bahu kanan.
Tapi saya tidak tahu pasti nasib Riko. Yang saya ingat, saya melihat tubuh Riko sudah tergeletak. Entah dia sudah mati atau sekadar tak sadarkan diri...
Kalau boleh jujur, saya berharap Riko sudah mati saat itu.
Karena saya tidak bisa membayangkan apa jadinya bila dia tersadar di markas para kanibal? Pengalaman seperti itu jauh lebih menyeramkan daripada kematian."