Sekitar dua tahun lalu, saat saya masih menjadi seorang nomaden urban garis miring hunter, saya sedang mencari barang-barang berharga di ruko-ruko terbengkalai di daerah Summarecon Bekasi. Di sana saya menemukan sebuah kotak besi berisi seperangkat kamera. Seketika saya merindukan kehidupan normal yang sudah jauh terlupakan. Kehidupan ketika saya berpergian dengan kamera dan tumbler Corkcicle berisi es kopi susu, bukan dengan parang dan botol plastik bekas berisi tadahan air hujan.
Akhirnya saya bawa seperangkat kamera itu pulang ke tenda persembunyian kelompok saya. Sejak saat itu, saya mulai mengabadikan kehidupan unik di Bekasi distopia melalui kamera saya.
HASAN, HUNTER SAYANG IBU
Hunter merupakan salah satu dari banyak gelar profesional baru yang muncul di zaman pagebluk ini.
Mereka adalah orang-orang yang berani mengambil resiko untuk berkeliaran ke tengah kota, mencari benda-benda berharga untuk ditukarkan dengan KAS atau sekadar makanan dan minuman. Umumnya begitu, namun ada beberapa hunter yang lebih profesional.
Mereka tidak pergi ke tengah kota demi mendapatkan barang-barang berharga apapun itu, yang penting berharga. Tidak seperti itu, hunter profesional pergi ketika ada permintaan dari klien. Bentuk permintaannya beragam, tapi yang jelas mereka pasti akan meminta untuk dicarikan sebuah benda spesifik seperti, obat-obatan, onderdil, suku cadang peralatan elektronik, senjata, buku, peta, bahkan di beberapa kasus, minta dicarikan pusaka. Untuk yang terakhir itu saya akan membuat sebuah liputan khususnya.
Ada juga beberapa hunter profesional yang saya kenal, menerima pekerjaan mencari orang. Ya, seperti bounty hunter.
Sejujurnya, pekerjaan hunter itu tidak jauh berbeda seperti pemulung. Mengumpulkan barang-barang berharga untuk ditukarkan. Tapi yang membuatnya berbeda adalah para hunter memulung barang-barang di tengah kota yang telah hancur, yang sudah menjadi habitat mayat-mayat hidup pemangsa manusia.
Sebagai hunter, saya kenal banyak dari mereka. Masing-masing punya cerita yang unik. Namun ada seorang hunter yang cukup mencuri perhatian saya.
Namanya Hasan, umur 36 tahun.
Agak berbeda dengan manusia-manusia post-apocalypse pada umumnya, Hasan berhasil bertahan hidup bersama keluarganya dari tahun pertama penyebaran wabah.
Keluarganya kecil memang, hanya ada ibu dan adiknya. Tapi tetap saja, ini merupakan kejadian yang sangat langka. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kerasnya perjuangan Hasan remaja demi melindungi ibu dan adik perempuannya. Ditambah lagi, adik perempuannya itu tuna-netra sejak lahir.
Sekarang Hasan bekerja sebagai hunter amatir. Dia berkelana ke berbagai tempat untuk menemukan barang berharga untuk dijual. Area jelajahnya tidak hanya kota Bekasi saja, tapi juga sampai ke kabupaten Bekasi, dan sebagian kota Jakarta. Dia juga hafal jalur-jalur yang aman untuk dilewati. Bukan hanya aman dari zombie, tapi juga aman dari para kanibal dan tukang culik. Karena kemampuannya itulah dia terkenal di antara para hunter sebagai Hasan, Si Peta Hidup.
Saya pertama kali bertemu dengannya di Pasar Gundala, sebuah gedung bekas kampus terkemuka di Bekasi, yang sudah beralih fungsi menjadi pusat jual-beli masyarakat post-apocalypse. Di sana, saya bertanya kepada Hasan, sepanjang menjadi hunter, barang apa yang paling berharga yang kamu temukan?
Jawabannya mengejutkan, iPod.
"Itu iPod bukan sembarang iPod, Mbak Lela!
Itu bukan touch, bukan shuffle, bukan nano, itu tuh iPod classic! Sama persis seperti yang ibuku punya jaman dulu! Ibu seneng banget pas aku kasih iPod itu. Emang sih, lagu-lagunya nggak bisa update lagi, tapi untungnya lumayan banyak lagu yang ibu suka di iPod itu.
Emang dah yak, kalo jodoh kaga kemana!" Hasan bercerita dengan penuh antusias.
Sejenak, dalam obrolan bersamanya, saya seperti kembali ke masa lalu. Ke masa sebelum wabah melanda. Masa dimana orang-orang bisa duduk dan bertukar cerita tanpa ada rasa was-was dan cemas, persis seperti saat itu, saat saya tenggelam dalam obrolan bersama Hasan, Si Hunter Sayang Ibu.
MAIA, DAN BAYINYA
Sebagai seorang perempuan, saya selalu kagum akan sosok seorang ibu. Setiap harinya, para ibu harus memberi makan dua mulut, dan harus melindungi dua nyawa. Tapi mayoritas perempuan di era pagbeluk ini lebih memilih untuk tidak punya anak. Karena memang peran ibu itu berkali-kali lipat tingkat kesulitannya. Hanya segelintir perempuan yang berani, kuat, dan tangguh untuk menjalani proses keibuan.
Salah satunya adalah Maia, umur 34 tahun, seorang ibu muda yang baru saja melahirkan bayinya di tengah kekacauan kiamat zombie.