Catatan Langit; Bumi, muda, sedia.

Auraocta
Chapter #2

Bagian 1 : Putra Putri Sang Fajar

Mentari muda mulai merayap dari balik cakrawala, membangunkan dunia dengan sentuhan hangatnya. Langit terbuka lebar, menjadi panggung pertunjukan perdana dalam perjalanan mahasiswa.

Dalam gemuruh riuh alam, para pribadi berjuta cerita berkumpul di halaman universitas yang terhampar dengan warna-warni almamater dari berbagai pelosok bumi. Corak-corak almamater membentuk koreografi yang menarik. Dari jauh, aku bisa melihat ragam warna dan simbol yang melambangkan identitas mereka. Seperti sebuah simfoni, dalam suasana yang penuh harap pengenalan pun dimulai.

Dosen-Dosen memperkenalkan diri dengan elegan, bak seperti karakter penting di dalam sebuah novel. Sebutan enci dan menir sangat asing karena tak biasa terdengar di kampung halaman. Beberapa kali aku salah sebut saat memanggil mereka, mungkin karena belum terbiasa. Enci sebagai dosen prempuan dan Menir sebagai dosen laki-laki.

Pada saat pengenalan kampus berlangsung, aku menangkap gerakan lembut dari seorang gadis yang perlahan mendekat. Dia hope, bersikap hangat dan bertanya beberapa hal mengenai kampusku, dengan cepat aku terlibat dalam satu percakapan bersamanya.

"Kampusmu lebih luas dari pada kampus ini, kan?" katanya.

Aku tidak tahu, apakah memang benar kampusku lebih luas. Sebelumnya, tak ada riset terlebih dahulu, aku pun ragu menjawab pertanyaan dari Hope, "Mungkin kampusku lebih luas dari pada kampus ini, Hope. Tapi yang gak ada di kampusku, gedung tinggi berlantai dua belas karena satu aturan dari daerah khusus."

Fokus tak mungkin teralihkan, melihat gedung tinggi yang ada di depan. Gedung itu berwarna silver dengan paduan warna merah di temboknya, pertanda ciri khas dari fakultas hukum.

"Aturan khusus?" tanya Hope kembali, "Aturan gimana tu?" lalu menatap ke arahku.

"Aturan ini seperti gedung bertingkat tidak boleh melebihi tinggi dari masjid. Jadi kalaupun ada gedung tinggi, mungkin itu hanya berlantai empat," balasku sambil menoleh kearahnya. Bisa kulihat tinggi gadis ini kurang lebih sejajar dengan mata. Saat berbicara, harus sedikit menurunkan pandangan kearahnya.

"Oh gtu, aku sempat liat di Instagram. Kesan pertama masuk dari pintu gerbang seperti balik ke tahun 90-an. Dulu kampus itu bekas hunian bangsa asing, benar kan?" Langkah berhenti, cepat-cepat ia membuka tas sandangnya, mengambil smartphone, dan memperlihatkan video yang mungkin sebelumnya sempat disimpan.

Kulihat di video itu tampak seorang wanita duduk di atas motor sedang memperjuangkan makanan yang di ambil oleh monyet kampus. Lalu Hope tersenyum, tapi fokusnya bukan kearah monyet dan wanita melainkan kearah lain, "Tuh kan, liat bagunanya."

Bagunan perumahan komplek pada era 80 sampai 90, bagunan itu di hibahkan kepada kampusku. Itu sebabnya kampusku banyak bagunan tua dan bagunan ini menjadi saksi di era kejayan kota berjuluk Petro Dollar.

"Tunggu-tunggu, ini masih ada lagi," lanjutnya. Terus-menerus menyekrol seperti banyak yang ingin dia perlihatkan kepadaku.

"Bangunan itu sempat viral di media sosial. Beberapa bagiannya masih dipertahankan, jadi nggak banyak yang berubah dari segi estetika perumahannya. Nama jalannya juga masih sama, dari dulu hingga sekarang masih memakai nama pulau di Indonesia. Seperti jalan Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Papua. Tapi tau ngak, kuliah disana harus punya kendaraan,"

"Nih ya, di kampusku setiap kelas dimulai dari 1A sampai 9B. Jarak antar kelasnya sekitar kurang lebih 20 meter. Kebayang gak, sewaktu pergantian jam perkuliahan kita harus jalan dulu buat pergi ke sana dengan ngelewati bukit-bukit kecil di setiap perjalanan. Sumpah, itu capek!" ucapku sambil mengigat-ngigat kembali perjalanan yang melelahkan itu.

"Tapi sebanding lah dengan suasananya. Apalagi kalau dikejar monyet-monyet kampus, ini momen kerenya kan," celetuk Hope sambil bercanda.

Aku berhenti di hadapannya dengan sikap anjali mudra, senyum sesaat lalu menunjukkan wajah serius. Sebelum berkata, "Makasih, untuk saranya nona."

Disana profesi terhormat seperti ojek online atau ojol tak sebanyak di kota-kota yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Ntah aku juga tidak mengerti, ini karena faktor masyarakatnya yang terlalu mandiri atau memang semestinya profesi itu belum di butuhkan untuk disana. Yang jelas, tidak terbayang rasanya nanti ketika ada anak pertukaran mahasiswa yang pergi kesana sangat sulit untuk memesan makanan. Tapi, mestinya kita mahluk sosial tak perlu khawatir untuk hal itu.

Pembicaraan tak henti sampai disini, Hope bertanya kembali mengapa di antara jurusan lain aku memilih jurusan hukum dan sepertinya percakapanku bersama gadis ini membuat langkah tertinggal dari iringan kelompok. Teriak disana, dosen mentor memberi isyarat dengan melambaikan tangan agar langkah di percepat, "Halo kakak abang, ayok cepat!" 

"Saat memasuki bangku perkuliahan, ada dosen bertanya mengapa kami semua di ruangan itu mengambil ilmu hukum. 15 anak menjawab karena ikut-ikutan, 10 anak menjawab ingin melanjutkan studinya, 4 anak menjawab karena pilihan dari orang tua dan yang terakhir satu anak menjawab, 'Saat dia mengetahui hukum dia akan berbuat tindak pidana tanpa di kenakan sanksi'," ucapku. 

"Hah, gimana?" Sepertinya, suara tak jelas di pendengaran Hope, dia mendekatkan telingganya ke arahku.

"Saat dia tau hukum, dia tidak akan di hukum karena dia tahu celah hukum itu ada dimana. Makanya, dia tidak bisa di kenakan sanksi hukuman." Dengan perlahan aku katakan kepada Hope, agar kali ini dia tak salah mendengar.

"Pasti orang ini, orang jahat?" celetuknya.

Lihat selengkapnya