Catatan Langit; Bumi, muda, sedia.

Auraocta
Chapter #3

Bagian 2 : Nyawa di ujung tanduk

Ketibaanku bersama Lateb dan Frand di sambut hangat oleh mereka yang tinggal di penginapan Big Brother. Namun, baru saja sampai, sudah ada masalah yang menghampiri.

Dia Halim, seorang teman dari kampung halaman yang terlahir di kota Juang. Halim kesal atas sikapku, padahal saat keberangkatan kami baik-baik saja. Sebelumnya, pesan dari whatshap bahasa itu sangat ambigu.

Begitu dia melihatku di depan pintu, dia langsung membawaku masuk ke bilik kamarnya. Tampaknya ini masalah yang sangat serius hingga perbincangan itu harus empat mata denganya. "Aku kesal dengan kau, Je. Kau tau di hari pertama pertemuan harusnya kau itu dengan kelompokmu, parahnya lagi enciā€¦"

Aku langsung memotong pembicaran, hanya tidak ingin berlama lama di kamarnya, karena mungkin saja penghuni penginapan ini sudah menunggu kedataganku di ruang tamu, "Oh prihal itu aku minta maaf,"

"Sebelumya, aku udah izin dengan enci Sella karena masih ada yang harus aku kerjain, tugas ujianku menumpuk, jadi aku gak bisa buat gabung dulu sama kalian, memang nya kenapa juga kalau aku ada di kelompok lain?"

"Bukan itu masalahanya!" Suara Halim terdengar mulai meninggi.

"Hah... langsung ke intinya, Lim," desahku, sebelum Halim semakin larut. Mencoba mencari apa yang sebenarnya diperdebatkan disini. Bahkan, aku tak yakin arah pembicaraan kali ini kemana. Tapi, jelas tampaknya dia sangatĀ kesal dan ada sesuatu yang besar yang tak kunjung kuingat.

"Aku mau ke intinya, tapi kau potong tadi, Je!. Perihal tugas itu kewajibanmu. Permasalahanya, kenapa sewaktu foto anak dari Aceh bukan kau yang disitu, malah enci Angel nyuruh orang lain," kata Halim dalam bahasa Aceh.

Akupun tertawa setelah mendengarnya, perihal ini bisa membuat Halim menjadi kesal, "Oh, jadi itu masalahnya. Mungkin enci Angel ngak tau, kalau aku ada di kelompok itu. Sebelumnya, kau tau sendirikan kan anak yang dari Aceh cuman kita bertiga. Terus, kita bertiga juga satu kelompok. Wajar ngak sih, enci Angel ngak manggil. Aku juga masuk ke kelompoknya seperti penumpang gelap."

"Biar gimanapun ya, aku mau kita yang dari Aceh juga harus nampain kalau kita aktif di luar kampus. Apalagi waktu itu sempat di naikan berita, harusnya yang ada di foto itu kan kau dengan almamater hijau kebangaan kita," ucap Halim. Kali ini, nada bicara mulai merendah.

"Oh okeh, sebelumnya aku minta maaf prihal itu. Tapi, ini murni bukan kesalahan enci Angel ya, ini murni kesalahan aku, karena aku sebelumnya gak ada izin dengan enci Angel. Okelah, kalau cuman ini aja kayaknya kawan-kawan juga udah nuggu di ruang tamu. Gak sopan rasanya kan, kalau aku ngak tegur sapa dulu dengan orang itu," melasku.

Halim langsung berdiri sambil mencari sesuatu di lemarinya dan langsung menyodorkan ketanganku sambil berkata, "Ini oleh-olehmu. Sekalian ko kasi buat orang itu."

Oleh-oleh dari kampung halaman yang aku bawa sebelumnya. Kukira, sudah di berikan duluan di hari pertamanya disini. Ada 55 mahasiswa dari wilayah barat yang pergi ke manado. Masing-masing anak diberi kebebasan untuk memilih tempat penginapan. Makanya, aku dan Halim tak lagi bersama saat tiba di negeri ini. Masih ada 2 penginapan yang belum sempat tersinggah, mungkin di lain waktu.

Sangat ramai disini, penginapan ini begitu lebih hidup. Dimana, Big Brother hampir setengahnya dari total keseluruhan mahasiswa yang tiba di negeri ini. Tampak begitu mewah dengan fasilitas lengkap seperti Ac dan kulkas mengisi di tiap-tiap kamar. Tapi, kurasa tak sehat juga untuk dompet, karena saat kulewati kamar mereka, bunyi token itu tak ramah di telinga.

Aku check setiap kamar dari mereka yang di lantai bawah. Niat jahat muncul ketika berakhir di kamar Kus, anak yang berasal dari Cirebon, teman satu kelompokku. Kulihat, dia masih terbaring di tempat tidur. Kukatakan kepadanya, "Oh ini Kus?"

Kus terkejut, langsung beranjak dari tempat tidur dan menjabatanganku, tapi dia tak melepaskanya sebelum bertanya, "Maaf, ini siapa ya?"

"Aku mentor mahasiswa di kelompok kalian." Dengan percaya dirinya aku katakan seperti itu kepada Kus. Tangan kanan nya memegang pundakku di susul dengan tangan kirinya seperti mengisyaratkan dengan hormat untuk menuju ke ruang tamu, "Monggo."

Dia menyuguhkan jamuan hangat seperti segelas kopi dan makanan khas dari kampung halamannya tak lupa ia hidangkan. Aku tersenyum kaku, merasa canggung. Teman-teman di penginapan tampak begitu geli melihat tingkahku, berusaha menahan tawa yang hampir meledak. Pastinya mereka juga tak habis pikir bagaimana Kus bisa dengan mudahnya percaya.

Padahal, wajahku jelas terlihat saat pertemuan daring di Zoom, tapi Kus seolah tak mengenali sama sekali. Aku tak tahu apakah harus merasa tersinggung atau justru bersyukur atas situasi aneh ini.

Lihat selengkapnya