Catatan Satya Manggala

Halimah RU
Chapter #6

Chapter 5: Penentuan

"Berita hari ini, demo mahasiswa besar-besaran di Ibu Kota masih berlangsung. Polisi yang mengamankan aksi tersebut mulai kewalahan..."

Berita demo mahasiswa di stasiun televisi masih menjadi berita hangat. Masyarakat yang menyaksikan mulai membicarakan hal serupa, tentu ada yang pro dan kontra. Beberapa hari yang lalu telah disahkan presiden dan wakil presiden di istana negara. Mayoritas para mahasiswa tidak setuju dengan kesepakatan tersebut dan ingin menurunkan-nya. Di tengah krisis ekonomi yang terancam, para politikus masih memikirkan cara untuk bertahan di posisinya. Janji yang dilontarkannya tidak pernah bisa memberikan hasil yang diinginkan, hanya keserakahan memenuhi hati ketika sudah berada di posisi atas.

Sebenarnya, bagaimana kita akan berjumpa dengan para pahlawan yang mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan negeri ini? Mereka tentu akan merasa kecewa dengan para pembesar saat ini. Rezim yang kuat memberi otorisasi tanpa berpikir untuk kesenjangan di dalamnya.

Satya masih fokus dengan siaran berita tentang demo mahasiswa. Darren yang disampingnya pergi mengambil makanan dan minuman untuknya dan Satya. Hari ini Bibi izin pulang karena anaknya sakit dan akan kembali seminggu lagi.

"Sat, nih ada apel sama kue yang di beli Papa tadi malam," Darren mempersilakan Satya untuk makan dan ada dua gelas jus jeruk.

"Hmm," Satya berdeham, justru mengambil minuman daripada kue.

"Jadi, gimana kelanjutannya?" tanya Darren.

"Apa?"

"Itu beritanya."

"Oh, soal itu masih berlangsung, jika saja Presiden bisa mengerti keinginan rakyat bukan berambisi mungkin tidak akan ada kekacauan ini. Permasalahan pangan yang ditimbulkan saja sudah begitu mencekik kehidupan kaum bawah apalagi sikap otoriter penguasa yang menginginkan kekuasaan lebih lama. Apalagi, jika kamu lihat sendiri demo ini hanya akan merugikan rakyat kecil di bandingkan mereka. Kita lihat saja banyak mahasiswa yang hilang dan meninggal karena peristiwa itu, bukankah orang tua yang paling kehilangan akhirnya.”

Darren hanya mengangguk - angguk saja tanda setuju.

“Maka, dari itu kau jangan ikut-ikutan mereka. Kemarin ada yang lihat kamu di pertigaan dekat universitas Ibu Kota Provinsi," tuduh Satya kepada Darren yang suka nekat melihat jika ada peristiwa besar.

"Itu bukan aku, ada yang salah lihat mungkin," Darren menyangkal sambil mengibaskan tangannya, terlihat raut muka yang panik.

"Okee, aku percaya," Satya melirik ke Darren sebentar kemudian fokus kembali melihat berita di televisi.

Jam menunjukkan pukul 6 sore, Satya berpamitan kepada Darren untuk pulang sebentar. Hari ini dia menginap di rumah Darren sambil menemaninya dan ada teman satu kelas mereka Hendra yang ikut menginap.

"Jadi, apa rencana kalian setelah lulus?" tanya Satya kepada keduanya.

"Lah, kamu kan tahu, aku mau masuk ABRI seperti Bapakmu Satya," jawab Darren dengan bangga, yang bertanya hanya tersenyum saja.

"Aku masih belum tahu juga sih. Orang tua ingin aku masuk pendidikan seperti mereka, tapi aku lebih suka teknik," Hendra menjawab dengan pelan.

"Aku juga belum tahu kok," kata Satya kepada Hendra dan menepuknya.

"Loh bagaimana sih Sat, kamu katanya mau masuk ke ABRI juga?" tanya Darren terkejut. Dia tahu pasti ada sesuatu yang mengganjal hati sahabatnya itu.

Satya hanya menggeleng dan tersenyum pahit kepada Darren, mungkin ini waktunya untuk memberi tahu dia.


***

 

Beberapa hari yang lalu

Satya pulang setelah selesai ujian nasional, ini adalah hari terakhir. Akhirnya dia bisa bersantai sejenak sebelum belajar kembali untuk memasuki ujian perguruan tinggi. Sampai di rumah tidak ada orang sama sekali. Adiknya belum pulang sekolah dan ibu masih di warung makan milik tetangganya. Hari ini pun dia pulang sendiri, Darren bersama teman sekelas lainnya pergi ke alun-alun kota untuk menenangkan otak setelah selesai ujian nasional.

Sejak tadi dia masih berkutat dengan buku catatan hariannya, membaca kembali apa yang dia tulis. Tak disangka tulisannya seperti sajak puisi, Darren selalu mengejeknya karena tulisannya sangat puitis dan banyak kiasan di dalamnya. Satya tentu tak marah karena dia memang menyukai hal seperti itu, sebab hanya dia yang tahu maksud dari setiap tulisan-tulisannya.

Setelah itu dia membuka catatan puisi-puisi yang dia tulis. Puisi kesukaan bapak yang paling Satya sukai, dia akan selalu mengingat setiap bait suara serak basah bapak ketika membaca. Nabila yang mendengar selalu tertawa karena memang tidak cocok.

Jam satu siang ibu pulang ke rumah. Adiknya sebenarnya sudah pulang tetapi langsung main ke rumah temannya. Ibu membawakan lauk sup ayam dan lauk tempe tahu.

"Ibu, Satya makan ya!" seru Satya kepada ibunya yang berada di kamar tidur dan di iyakan oleh ibu.

"Bagaimana ujianmu Satya? Apakah susah?" tanya ibu yang juga ikut makan menemani anaknya.

"Lumayan Bu, soalnya banyak yang Satya bisa."

"Bagus itu. Kamu memang anak kebanggaan Bapak dan Ibu," Ibu mengelus kepala Satya dengan lembut.

"Oh iya Bu. Aulia sudah mau berangkat ke Ibu Kota untuk mengikuti ujian seleksi perguruan tinggi di sana."

Lihat selengkapnya