Termenung di sudut kamar tidurnya, Aulia menatap buku-buku tebal seleksi perguruan tinggi dengan sendu. Segalanya telah pupus setelah dia tidak diterima di universitas Ibu Kota.
Beberapa hari lalu dia menceritakan hasil seleksi dari perguruan tinggi perawat yang dia ikuti kepada Satya. Tentu hasilnya positif diterima. Dia mengabarkan dengan senyuman yang biasa dia berikan kepada sang kekasih akan tetapi hatinya tidak bisa menerima dengan lapang. Dia tidak ingin bercerita mengenai hal ini kepada Satya, karena Satya sudah memiliki masalahnya sendiri.
Terlebih kembali Satya juga akan segera berangkat ke luar kota untuk mengikuti seleksi bersama Darren. Dia tidak ingin membebani masalahnya. Mungkin ini adalah ujian Tuhan terindah untuknya.
Tak beberapa lama mamanya memanggil untuk makan malam bersama.
"Gimana Nisa, sudah siap jadi mahasiswa?" Canda papanya.
"Ihhh, Papa. Nisa kan masih ingin jadi anak manja Papa," jawab Aulia dengan candaan juga diiringi suara tawa seluruh keluarga.
"Oh iya, Kakak tidak pulang ke sini ya? Bentar lagi liburan sekolah bukan?" Tanya Aulia menatap ke arah papanya.
"Kalau yang kamu maksud Kak Aisyah tidak pulang, dia tidak libur kerja. Kalau Angga belum memberi kabar," terang mama.
"Yahh, padahal ingin lihat ponakan Nisa udah sebesar apa sekarang," Aulia kecewa mendengarnya, dia sudah membayangkan kehadiran ponakan kecilnya yang sekarang berusia dua tahun.
Aulia Nisa adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertama laki-laki bernama Angga Mahendra yang menetap di rumah kakek neneknya di pulau seberang sehingga sulit untuk berjumpa. Kakak keduanya Aisyah Nurmala, bekerja di luar kota cukup jauh dari Ibu Kota Provinsi. Aulia si bungsu merupakan kesayangan kedua kakaknya, meskipun sekarang sudah memiliki kehidupan masing-masing tapi terkadang mengabari dan membelikan hadiah di ulang tahunnya.
***
Hari ini dia berkunjung ke rumah Satya kembali, bertemu ibu dan Nabila. Satya dan Darren sudah pergi ke luar kota dua hari yang lalu.
"Gimana Nabila ujian kenaikan kelasnya?" Tanya Aulia yang mengajak Nabila makan di luar.
"Susah Kak, tapi ya begitulah. Masih tiga hari nih, pusing aku," jawab Nabila dengan frustrasi menggelengkan kepalanya.
Aulia menyemangati supaya lebih rajin belajar supaya pintar seperti kakaknya, Nabila yang mendengar hal itu langsung marah, karena setiap orang pasti membandingkan dengan kakak laki-lakinya.
"Ya maaf. Aku gak bermaksud seperti itu, kamu marah ya?" Sesal Aulia sambil memohon maaf.
Nabila hanya melengos jalan cepat meninggalkan Aulia di belakang. Tidak menghiraukan panggilan Aulia yang meminta untuk menunggu. Sesampainya di warung Bu Inem, Nabila sudah memesan nasi goreng dan es jeruk.
"Maaf ya Nabila, Kakak gak bermaksud seperti itu. Jujur Kakak juga tidak pintar banget, kalau pintar pasti sudah masuk SMU yang sama seperti Kakakmu," jelas Aulia dengan tulus.
"Sebagai gantinya, Nabila mau Kakak menceritakan sesuatu," Nabila menoleh ke ke depan tempat Aulia duduk.
"Apa?"
"Kenapa Kakak suka sama Kak Satya? Kakak kan tahu Kak Satya itu orang yang belajar terus-menerus, sesekali dengerin radio atau berita televisi. Gak asih orangnya, terus..."