Kala rembulan telah kembali ke peraduannya, mentari pun menyapa dunia dari garis cakrawala ufuk Timur dengan penuh cahaya. Hari di mana tak ada lagi ruang rebahan untuk anak sekolah, kembali menuju rutinitasnya seperti biasa, sekolah.
Hilang sudah kisah Senja untuk bermesraan dengan kasur, memeluk erat guling, dan boneka hello kittynya karena sebuah teriakan dari Dewi yang berhasil memotong mimpi indahnya Senja saat itu.
“Senja, bangun!!!” pekik Dewi memecah gendang telinga Senja yang sedang menikmati indahnya alam mimpi.
“Huuaaa. Apa sih teriak-teriak, Ma! Senja masih ngantuk,” sahut Senja dengan menjulurkan kedua tangannya ke atas
“Masih nanya lagi kenapa, sekolah, Senja, sekolah.”
“Emang hari ini hari apa, Ma?”
“Eh, jangan ngaco! Buruan sana mandi.”
Dengan terpaksa Senja beralih dari kasur kesayangannya dan segera bergegas menuju kamar mandi. Ia malas jika harus mendengar teriakan dari mamanya terus-terusan.
“Serasa menyambut tahun baru, selalu saja diteriakin sama terompet,” gerutu Senja kesal.
Setelah selesai mandi, Senja menatap jam dinding yang masih mengarah pada pukul lima lewat lima belas menit. Ia semakin kesal. Untuk apa mamanya membangunkannya secepat ini.
“Ma, coba deh Mama lihat jam dinding. Kayaknya mama perlu ke optik deh buat ngecek mata.”
“Enak aja kamu! Mata mama masih normal tau. Ya gak apa-apalah sesekali pergi lebih awal, jangan mau jadi yang terakhir terus. Mending kalau terakhir, kalau telat syukurin.”
Senja hanya bisa terdiam kesal mendengar jawaban dari mamanya itu, tak ingin melawan atau perdebatan ini tak akan ada habisnya. Senja mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai srikaya di atasnya. Dua potong roti dan segelas susu saja cukup untuk sarapan Senja sebelum pergi ke sekolah, sisanya biarkan uang jajan yang berbicara.
“Ma, Papa masih di luar kota, ya?”
“Iya, tapi entar sore sampai kok. Papa pulang dari Jakarta hari ini.”
“Oh, oke deh. Senja mau berangkat sekarang saja, ya, Ma.”
“Kok tumben cepat? Bantuin Mama masak di dapur dulu kek.”
“Malas, ah! Nanti bau,” ejek Senja dengan menjulurkan lidahnya.
“Ma…” panggil Senja sambil menadahkan tangan dan mengedipkan mata.
“Apa? Kan, tadi udah kenyang makan roti sama minum susu,” oceh Dewi dengan memberikan selembaran Rp20.000,00.
“Iya kali Mama suruh Senja keroncongan di sekolah. Thank you very much, Mamaku tersayang, muach,” jawab Senja sambil mencium pipi mamanya.
“Dasar! Baik kalau ada maunya. Sana pergi.”
Senja bergegas menuju bagasi dan mengeluarkan sepeda motor Vario berwarna putihnya itu. Ketika Senja meraba-raba saku roknya, ia teringat bahwa lupa mengambil kunci yang ia letak di meja dapur tadi.
“Lah, kamu ngapain lagi masuk?” tanya Dewi
“Ini, Ma, kunci motor Senja ketinggalan. Bye, Ma,” jawab Senja dengan melambaikan tangan ke mamanya.
“Hati-hati. Jangan bawa motor ngebut-ngebut.”
“Siap laksanakan 45,” pekik Senja menjauhi mamanya.
***
“Gini, ya, rasanya jadi yang pertama datang ke sekolah. Not bad I think, sepi, sunyi, gak perlu rebut-rebutan takut ditutup pagar dan pastinya gak jadi buronan pak Anwar.”
“Woi! Pagi-pagi banget lo udah sampai sekolah. Biasa paling cepat lima sampai sepuluh menit sebelum masuk. Kok tumben?” kejut Jingga dari belakang seraya memukul pundaknya Senja.
Jingga adalah satu-satunya sahabat Senja sedari SMP, selalu ditakdirkan sekelas bahkan sampai mereka duduk di bangku SMA. Walau kadang ngeselin, tapi Senja senang bisa punya sahabat yang easy going banget, bisa diajak senang dan susah. Jingga tahu segala bahagia dan sedihnya, bahkan tanpa Senja cerita pun ia bisa menerka bahwa Senja sedang tidak baik-baik saja. Tak heran jika mereka sangat akrab dalam berhubungan. Jingga adalah seorang gadis tomboy yang memiliki gaya, seperti anak laki-laki, bahkan ia sering dijuluki dengan nama ‘tomboi girl’. Padahal jika ia berperilaku layaknya wanita sejati, percayalah akan ada banyak cowok yang mengantre untuk mendapatkannya.
“Eh, lo ngagetin gua, Anak ayam. Wajarlah, Bro, sudah tahun baru nih. Masa iya mau terlambat terus?”
“Alah! Alasan lo aja yang banyak”
“Tuh! Tante kesayangan lo bangunin gua tadi pagi-pagi. Gua kira kesiangan, ternyata malah kepagian. Daripada dengar ocehannya, mending gua ke sekolah. Sesekali juga ngerasain jadi murid pertama yang datang ke sekolah.”
“Terus, rasanya apa? Manis? Asin? Pahit? Asam?”
“Manis kayak gue, asin kayak hidup lo, pahit kayak muka lo, asam kayak...” jawab Senja sambil memegang dagunya memikirkan kata apa yang cocok untuk menyambungnya.
“Bacot lo! Tahun baru masih saja ngeledekin orang lain. Tunggu saja masa lo tiba.”
“Hahaha. Ada yang ngambek nih.”
“Sudah, jangan ngambek. Mending kita keliling mumpung masih sepi.”
“Lo baru masuk sekolah atau baru pindah sekolah? Atau lo mau lihat pak Badrul?” ejek Jingga sembari menjulurkan lidahnya.
“Kalau gak mau, lo diam saja sampai badan lo mengeras sendiri.” jawab Senja sambil berjalan pergi meninggalkan Jingga.
“Eh, tungguin, Ja. Senja, tunggu!” Jingga berlari mengejar Senja yang sudah lumayan jauh.
Tiba-tiba Senja berhenti di depan mading secara mendadak yang membuah Jingga tak sengaja menabraknya.
“Lo ngerem gak pakai pluit dulu, bilang kek, apa kek.”
“Diam!” pinta Senja dengan keadaan sedang membaca papan mading.
“Lo lihat apaan sih? Ada cowok ganteng? Atau pak Badrul jadi model?”
Senja hanya diam tak memedulikan ocehan-ocehan Jingga, Ia terlalu fokus membaca deret tulisan yang ada di mading.
“Yaelah, kacang mahal, Woi!
Setelah melihat Senja telah menyelesaikan deret-deret artikel yang ia baca, Jingga langsung menyambar Senja.
“Udah? Udah ngacanginnya? Lo bisa gak sih sehari aja jangan baca mulu.”
“GAK BISA!” tegas Senja seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Jingga.
“Gak usah ngegas juga kali.”
Mohon perhatian, upacara bendera akan dimulai dalam lima menit. Seluruh petugas dan peserta upacara harap segera menyiapkan diri.
Attention please, the flag caremony will begin in five minutes. All participants should prepare.
“Selamat pagi. Bel sudah berbunyi, pertanda upacara akan segera kita mulai. Seluruh siswa dan siswi harap berkumpul di lapangan upacara. SEKARANG!” tegas pak Anwar melalui mic.
“Bapak hitung sampai 10. 10...9...8...” tambah pak Anwar sembari menghitung mundur.
Seluruh siswa bergegas lari dari dalam kelas menuju lapangan upacara, terlihat dari kepanikan mereka yang takut dihukum oleh pak Anwar.
“Enak, ya, gak perlu lari-lari kayak biasanya.” sahut Senja
“Makanya! Lain kali datang lebih awal, lo mau jadi buronon pak Anwar?”
Jingga tidak sadar bahwa pak Anwar baru saja melewati barisannya, ia kira pak Anwar masih berdiri celotehan di depan. Senja dan Jingga memang selalu mengambil posisi paling belakang untuk menghindari sambaran langsung dari terik matahari.
“Ehem ... ehem ....”
“Eh, Pak Anwar. Hehe, anu ... anu, Pak,” desis Jingga sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal.
“Anu apa anu! Jingga! Kamu itu tiang, barisnya di depan bukan di belakang! Pindah sana ke barisan paling depan.” Perintah pak Anwar.
“Si ... siap, Pak.” jawab Jingga seraya bergegas menuju barisan paling depan.
Setelah ia memastikan pak Anwar telah pergi, Jingga kembali ke barisan belakang. Namun kali ini, dirinya mengambil posisi di depan Senja agar tidak terlalu terlihat oleh pak Anwar yang terkenal killer.
Upacara selesai, laporan selesai.
Kembali ke tempat dan bubarkan
Siap, kembali ke tempat dan bubarkan
Tanpa penghormatan, bubar jalan
Setelah mendengar aba-aba dari pemimpin upacara, seluruh siswa membubarkan diri dari lapangan upacara dan segera masuk ke kelasnya masing-masing.