Catatan Senja

Denesa Ekalista
Chapter #3

3 - Di Balik Jendela

Setelah perbincangan hangat Senja dan Jingga tadi pagi. Senja teringat dengan sosok papanya yang sudah hampir semingguan bertugas di Jakarta. Ia bingung bagaimana caranya harus berhadapan kembali dengan sosok satu-satunya lelaki yang pernah ia miliki sedari lahir. Namun, Ia kembali dihantui dengan masa rapuhnya kemarin ditambah dengan perbincangan dingin pemecah keheningan. Bagaimana mungkin ia bisa menceritakan hal ini kembali?

“Senja, kamu, kok, masih begong? Kita kan mau pergi ke bandara jemput Papa. Papa sudah hampir sampai nih. Tadi bilangnya take off pukul empat, sekarang sudah pukul lima. Buruan siap-siap entar kejebak macet.”

“Iya, Ma.”

Selama berada di dalam mobil, Senja hanya diam tak mengeluarkan suara. Ia melihat kesibukan orang-orang di jam pulang kerja memenuhi jalan raya di kota metropolitan kedua setelah Jakarta. Entah apa yang ada di pikirannya, duka dan tanya itu kembali mengelilingi benaknya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba gerimis turun. Rintiknya yang perlahan membahasi jendela menemani Senja di saat lara. Untung saja ia turun di waktu yang tepat, Senja tak merasa kesepian untuk berbagi ceritanya kepada gerimis yang membawa hujan deras datang.

Semesta...

Terima kasih telah menemani laraku yang penuh tanya

Terima kasih telah mengutus gerimis dan hujan deras turun ke dunia

Aku ingin bertanya kenapa,

Tapi selalu tak ada jawabannya

Aku ingin menjadi amnesia

Tapi ada banyak cara yang membuatku kembali mengingatnya

Aku buntu,

Aku takut,

Takut semuanya akan kembali seperti semula

Dan aku bisa saja kehilangan segalanya

-Senja Augrey Leora

Senja memang selalu membawa bukunya ke mana-mana. Ia tahu akan ada masa di mana perjalanan begitu membosankan. Namun, kadangkala ia juga merasa senang dilanda oleh keheningan semesta yang membuatnya ingin terus bercerita tanpa suara melalui sajak-sajak tercinta.

***

Hang Nadim Batam

Tulisan itu tampak jelas walau jendela terlihat buram karena dibasahi oleh hujan. Ia benar-benar telah sampai. Tak menyangka lamunan akan membawanya begitu cepat tiba di tempat ini.

Waktu telah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh lima menit, belum ada tanda-tanda dering gawai atau lambaian tangan dari Latif, lelaki pekerja keras yang selalu sibuk dengan pekerjaannya.

Tiba-tiba, alunan intro lagu “Celengan Rindu” sebelum memasuki lirik awal aku kesal dengan jarak membuat Senja segera meraih gawainya.

“Ma, Papa yang nelpon,” ucap Senja sambil memberikan gawai kepada mamanya.

“Hallo, Pa. Papa sudah sampai mana?” tanya Dewi

“Papa sudah di depan pintu. Mama di mana?”

“Bentar, Mama ke sana.”

“Senja, kamu tunggu di mobil saja. Payung cuma dua,” ucap Dewi dengan menyerahkan kembali HP Senja.

“Iya, Ma.”

Tak lama setelah itu, di balik jendela tampak sepasang suami istri sedang berjalan menuju ke arah mobil. Senja tak tahu harus bagaimana. Sebelum itu ia terlihat biasa-biasa saja. Namun, setelah perbincangan yang membuatnya kembali mengingat akan hal itu. Kini ia benar-benar canggung.

Setelah mama dan papanya masuk ke dalam mobil, ia memutuskan untuk bersikap biasa-biasa saja. Ia tidak mau moment yang sudah dinanti-nantikan selama seminggu hancur karena dirinya sendiri.

“Hallo, Pa. Papa apa kabar?”

“Eh, ada anak Papa. Papa baik, Senja gimana sekolahnya?” tanya Latif

“Aman, Pa.” jawab Senja sembari tersenyum manis.

“Papa sama Senja sampai rumah langsung mandi, ya. Mama sudah siapkan makan malam. Nanti kita makan bersama,” ucap Dewi sembari menoleh ke arah di mana Senja duduk.

“Siap, Ma.” Jawab mereka serempak.

***

Malam ini adalah malam pertama di tahun yang baru mereka berkumpul kembali setelah Latif kembali dari luar kota. Anggap saja ini perayaan tahun baru yang tertunda. Senja tak tahu perbincangan apa yang akan dibicarakan ketika di meja makan. Namun di balik itu, Senja pasti sudah menyiapkan mentalnya untuk membentengi diri dengan berbagai macam perbincangan yang mungkin bisa memanggil lara yang awalnya jauh menjadi dekat.

“Senja,” panggil Latif sambil mengunyah-ngunyah makanan yang ada di mulutnya.

“Iya, Pa. Kenapa?”

“Kemarin teman Papa bilang Politeknik Negeri Batam lumayan bagus, akreditasinya juga lumayan. Nanti, sehabis dari SMA kamu masuk sana aja, ya. Biar gak perlu ke luar kota,” ucap papanya dengan raut wajah yang serius.

Lihat selengkapnya