Setelah semalaman menangis dan akhirnya tertidur. Mata Senja sedikit bengkak dan memerah ketika ia bangun. Tak ingin rasanya menuju ke sekolah dengan keadaan seperti itu. Namun, bukan Senja namanya jika harus bolos sekolah walau sehari saja.
Senja kembali ke kebiasaannya semula. Tiba di sekolah lima menit sebelum lonceng berbunyi. Terlebih hari ini, Senja hampir saja terlambat. Gerbang langsung ditutup oleh pak Badrul saat Senja baru saja tiba di parkiran.
“Huft! Harus banget ya sekolah hari ini? Seharusnya aku di rumah saja dengan keadaan begini,” gumam Senja dalam hati.
Tiba-tiba ia dikejutkan dengan kehadiran Jingga yang ternyata sedang mencari keberadaan Senja.
“Woi! Lo ke mana aja jam segini baru datang? Kenapa gak sekalian aja entar jam 12 baru nyampe,” oceh Jingga layaknya radio tanpa jeda.
Senja hanya diam. Ia tak ingin berdebat di saat-saat seperti ini. Ia melangkahkan kakinya menuju kelas, tak peduli dengan ocehannya Jingga. Sesampainya di kelas, ia segera menaruhkan kepalanya di atas meja dan menutup mata.
“Lo kenapa sih, Ja? Kalau ada apa-apa tuh cerita.”
“Gua gak apa-apa,” jawab Senja.
“Gak usah bohong. Emangnya gua baru kenal lo sejam yang lalu?”
Senja tak ingin berdebat dengan Jingga karena berdebat dengannya hanya bisa menambah mood buruknya.
“Anak-anak hari ini kita belajar mengenai Sejarah Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia, semuanya dengarkan ibu menjelaskan.”
“Ga, membosankan gak sih belajar yang namanya Sejarah, kenapa ya gua gak pernah suka belajar yang namanya sejarah? Untuk apa coba kita mengingat masa lalu yang jelas-jelas tidak bisa diulang lagi, pantes aja anak-anak gaul zaman sekarang selalu bilang gimana mau move on kalau di sekolah diajarkan untuk mengingat sejarah?” celoteh Senja yang tak pernah bisa memahami materi sejarah.
“Lo tahu yang namanya bosan gak?”
“Taulah, emang gua segoblok itu gak tahu yang namanya bosan?”
“Nah, untung lo pinter. Itulah sejarah, selalu membosankan.”
“Ja, cabut, yuk. Bosan banget nih,”
“Lo udah gila, ya? Salah ajak orang kali lo,” tegas Senja
“Jingga, ibu lihat kamu dari tadi gak memperhatikan ibu menjelaskan. Sekarang ibu tanya, bagaimana perkembangan agama Hindu-Buddha di Indonesia?”
“Yah, Bu. Sejarah itu jangan dibahas-bahas, entar susah move on-nya,” jawab Jingga dengan wajah yang tidak bersalah sama sekali.
“Lo kesantet atau emang gak waras, bego?” tanya Senja
“Biarin aja. Siapa suruh nanya sama orang yang jelas-jelas gak tahu jawabannya.”
“Jingga, kamu kurang ajar ya sama ibu, makanya lain kali kalau ibu jelaskan itu didengar bukannya malah bicara atau tidur. Dengar, Anak-anak?”
“Dengar, Bu,” jawab mereka dengan serentak.
“Baiklah, Anak-anak, pelajaran kita hari ini cukup sampai di sini, kita lanjutin lagi minggu depan.”
“Siap, Bu.”
“It’s the time for canteen,” ajak Noval
“Gak deh, Val. Kamu aja, aku masih kenyang.”
“Yah, Senja gak seru nih.”
“Aku mau ke perpustakaan aja baca buku.”
“Lagi, lagi, dan lagi. Buku, buku, dan buku.”
“Ya udah deh, aku aja entar aku nyusul ke perpustakaan, aku lapar lagi nih.”
“Dasar perut gentong, gak pernah penuh isinya.”
***
Senja selalu menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan. Entah itu menulis atau membaca yang jelas ia lebih suka berada di perpustakaan dengan suasananya yang hening dan tenang. Tidak serusuh suasana di kantin ketika jam istirahat yang berebutan makanan layaknya orang tidak makan sebulan.
Senja memilih untuk berada di lorong-lorong rak buku agar orang-orang tak begitu menyadari keberadaannya. Ia malas jika harus berhadapan dengan orang yang tak dikenal. Ketika Senja sedang membaca salah satu buku karya Fiersa Besari yang berjudul “Garis Waktu”, ia selalu menampakkan serpihan tawanya. Ia selalu bisa masuk ke dalam cerita yang ia baca. Itulah alasan mengapa Senja lebih memilih membaca dan menulis ketika sedang gelisah. Setidaknya ada satu penghibur yang mampu mengembalikan tawanya yang tersembunyi.
Ketika Fajar berjalan memasuki perpustakaan, tak sengaja ia melihat keberadaan Senja dengan ekspresi sedang tersenyum membaca buku. Fajar tersentak diam di tempat, memandangi pemandangan indah seperti yang ia lihat pertama kali ia bertemunya di Taman Gajah Mada. Fajar segera menghampiri Senja, ia berniat untuk menyapanya karena perkenalan yang tertunda di kelas semalam. Fajar dihantui rasa penasaran dengan siapa gadis itu sebenarnya. Kenapa ia begitu tak ingin mengeluarkan suara hanya sekadar menyebutkan nama.
“Hai, suka baca buku juga?”
Senja hanya diam tak membalasnya, bahkan ia tak menoleh sedikitpun. Padahal ia menyadari suara itu bersumber dari orang yang berada di sampingnya.
“Gua Fajar,” ujarnya sembari menjulurkan tangan mengajak kenalan.
Lagi lagi Senja hanya diam tak bersuara. Senja membawaa buku yang ia baca tadi dan segera pergi ke meja guru untuk melakukan pencatatan.