Seluruh pelajaran hari ini telah selesai. Sampai jumpa besok pagi dengan semangat belajar baru.
All lessons have ended for today. See you tomorrow morning with a new learning spirit. Take care on the way and have a nice day.
“Baiklah, Anak-anak. Pelajaran hari ini cukup sampai di sini. Sampai bertemu lagi dengan pelajaran ibu di minggu depan. Selamat siang,” ucap bu Ria mengakhiri pelajaran hari itu.
Setelah melihat bu Ria dan para siswa sudah melangkah keluar dari kelas. Senja dan Jingga segera memasuki kelas yang sudah tak ada penghuninya itu.
“Ja, gua gak bawa motor hari ini. Gua mau pesan gojek dulu, ya,” ujar Jingga
“Ga, lo mau langsung pulang?”
“Lah emangnya mau ke mana?” tanya Jingga penasaran.
“Ombak Bar, yuk,” ajak Senja seraya menarik tangan Jingga pertanda merayu.
“Lo gila? Gua mana bawa uang,” jawab Jingga.
“Entar ke rumah gua ambil uang dulu. Gua yang traktir.”
“Gua pulang naik apa?”
“Entar gua yang antar.”
Jingga menarik kecil seragamnya lalu berkata, “Masa gua pakai baju sekolah ke sana?”
“Ganti baju di rumah gua aja. Gua suntuk, malas banget lama-lama di rumah. Sebelum bokap gua pulang, mending cabut dulu.”
“Terserah lo, gua ngikut aja yang penting ditraktir.”
“Tapi lo yang bawa motor. Gua mau dukcans alias duduk cantik, hahaha.” ujar Senja sambil tertawa.
“Asalkan kau bahagia,” jawab Jingga seraya menyanyikan lagu Asal Kau Bahagia.
“Yuk, tancap gas,” ucap Senja seraya merangkul Jingga dan melangkah keluar dari kelas.
***
Setelah tiba di rumah, ia melihat tak ada mobil yang terparkir di bagasi. Senja merasa lega karena papanya belum pulang.
“Ma, Senja pulang,” sahut Senja seraya membuka sepatu dan segera melangkah menuju ke dapur.
“Hallo, Tante. Sudah lama gak bertemu,” ucap Jingga.
“Eh, ada Jingga. Kamu apa kabar?”
“Kabar baik dong. Seorang Jingga kan selalu strong,” jawab Jingga dengan melipatkan kedua tangannya di perut.
“Ma, Senja sama Jingga mau ke Ombak Bar, ya. Senja ganti baju dulu.”
“Kamu lagi bulan muda main ke sana?” tanya Dewi dengan heran. Secara harga makanan dan minuman di sana bisa dibilang mahal.
“Senja bulan tua. Mama kan bulan muda, hahaha. Jadi mama yang traktir Senja sama Jingga. Oke, Ma? Sayang Mama,” ujar Senja sembari mengecup pipi kanan mamanya.
“Ada udang di balik batu, nih.” jawab Dewi.
Setelah Senja mengganti pakaian. Ia sudah siap dengan celana jeans biru, baju putih polos, dan jaket kebangsaannya, jeans biru rada belel. Tak lupa tas ransel kecil berisikan buku dan pena.
“Ma…” sapa Senja seraya menadahkan tangan di depan mamanya.
“Seribu cukup?” ujar Dewi sembari tertawa mengejek.
“Yah, Ma. Seribu beli nasinya Mak Siti aja gak cukup apalagi beli air putih di Ombak Bar.”
“Hahaha,” tawa Dewi seraya menyerahkan tiga lembar uang seratus ribu.
“Makasih, Mama, Tante,” ujar Jingga dan Senja serentak.
***
Setelah tiba di Ombak Bar, Senja mencari posisi yang bertepatan di tepi laut dengan suasana agak tenang. Walaupun tempat tersebut tak pernah sepi, Senja selalu nyaman duduk menikmati Senja sembari mendengar putaran lagu yang ditemani suara nyanyian ombak. Ombak bar merupakan sebuah cafe di dekat sebuah resort. Jadi, tak heran jika segala fasilitasnya bagus karena harga-harganya juga high class.
“Mau duduk di mana, Princess Senja?” tanya Jingga seraya meledek karena ia tahu sahabatnya satu ini sangat selektif dalam memilih tempat.
“Di sana saja agak sepi,” jawab Senja sembari menunjuk ke arah kursi kosong di dekat ujung selebah kanan.
“Lo buta atau rabun? Orang ramai gini dibilang sepi,” tegas Jingga.
“Gak usah ngomel mulu. Ikutin aja napa sih,” seru Senja.
“Ga, pesenin gua Matcha Latte. Lo pesan aja apa yang lo mau, gak usah yang mahal-mahal. Awas lo, pulang berenang entar,” ujar Senja.
“Yaelah, gua kan gak bisa berenang. Bisanya berenang di hati Albert, hahaha.” Jawab Jingga sambil tertawa dengan keras tak peduli orang-orang melirik ke arahnya.
“Urat malu lo udah putus? Malu gua bawa lo ke sini.”
“Emang gua peduli?”
“Buruan sana pesan, gua tunggu di tempat duduk.”
Suasana sore hari ini begitu teduh. Ombak berhembus dengan tenang diiringi dengan lambaian nyiur di tepi pantai. Awan yang beriring berarak sudah menampakkan sedikit bias jingga mentari. Tempat ini memang selalu bisa membuat nyaman dan merasa terbayar walau harus memesan segelas minuman dengan harga di atas lima puluh ribu rupiah. Ditemani dengan kursi berwarna putih layaknya sofa dengan bantal khasnya yang berwarna biru.
“Ja, Matcha Latte sold out. Lo mau ganti apa?”
“Jus alpukat aja,” jawab Senja.
“Tapi bohong,” ujar Jingga seraya tertawa. Ia selalu senang bisa ngerjain sahabatnya.
“Minta kena tabok emang lo ya.”
“Mana tega lo tabok gua,” jawab Jingga dengan percaya diri.
“Lo nantang? Siapa bilang gua gak berani?”
“Salam damai, Sist,” ujar Jingga sembari menyatukan tangannya memohon layaknya orang bersalah.
Lima belas menit setelah itu, pelayan datang dengan membawa dua gelas air di atas nampan berwarna coklat kayu.
“Silahkan dinikmati, Mbak. Mohon maaf atas keterlambatannya.”
“Gak apa-apa. Terima kasih, Bang.”
“Ja, gua mau cerita,” sahut Jingga.
“Cerita aja.”
“Semalam gua berantem sama Albert,” ucap Jingga.
Senja yang terkejut mendengarkannya pun segera memberhentikan sedotan airnya.
“Kok bisa? Gara-gara apa?”
“Coba lo pikir. Dia chat gua, nanya gua lagi ngapain, terus gua jawab lagi baring. Masa iya dia langsung bilang, udah dulu ya gua mau main game. Kesal gak sih kalau lo jadi gua?” jelas Jingga panjang lebar.
“Makanya jangan cari cowok gamers.”
“Orang udah terlanjur sayang,” jawab Jingga.
“Makan tuh cinta, makan tuh sayang sampai kenyang,” celoteh Senja.
“Mau cerita malah diceramah. Dasar sahabat gak guna!” seru Jingga.
“Ya habisnya gua kira lo berantem gara-gara masalah besar. Tau-tau cuma karena game aja.”
“Terus, lo bilang apa sama Albert semalam?”
“Gua bilang gini. Gak usah nge-chat kalau cuma mau bikin badmood.”