Senja berjalan memasuki kelas. Kali ini Senja datang lebih awal karena ia harus menemui Renata untuk mengantarkan bahan mading.
“Ga, temanin gua ke kelas XI MIPA 1,” ujar Senja seraya menepuk pundaknya Jingga.
“Ngapain?”
“Ketemu kak Renata. Mau ngantar bahan mading sekalian nyetor puisi,” jawab Senja.
“Oke, Bos.”
Kelas Renata yang terletak paling ujung membuat Senja dan Jingga harus melewati seluruh lorong kelas sebelas. Senja tak pernah ingin menginjak area kelas sebelas dan dua belas jika bukan untuk hal penting.
Di tengah perjalanan menuju kelas Renata, Senja dikejutkan oleh panggilan dari orang yang tak dikenalnya.
“Kamu Senja, kan?” tanya Bryan yang merupakan siswa kelas XI MIPA 2.
Senja hanya mengangguk kebingungan.
“Nama gua Bryan,” ujar lelaki itu sembari menjulurkan tangannya.
“Kakak tahu nama aku dari mana?” tanya Senja kebingungan.
“Kamu peraih juara umum 2 semester lalu, kan? Kamu lupa sama aku?”
Senja mencoba mengingat siapa sosok lelaki itu. “Oh, peraih juara umum 1, ya?”.
“Iya. Kamu ngapain ke sini?”
“Sorry I’m forget. Oh iya, aku mau ketemu kak Renata,” ujar Senja.
“Oh, Renata. Kebetulan dia lagi ada di kelas gua. Bentar, gua panggilin dulu,”
“Renata, lo dicari sama adik kelas,” pekik Bryan dari luar kelas.
“Siapa?” balas Renata.
“Senja. Katanya mau ketemu sama lo.”
“Oh iya. Bentar.”
“Kak, Senja mau ngantar bahan mading sekalian nyetor puisi untuk mading,” ujar Senja sembari memberikan bahan mading dan secarik kertas berisi puisi.
“Mumpung masih pagi, lo ikut gua ke mading sekalian langsung tempel di sana,” sambung Renata.
“Oke, Kak,” ucap Senja seraya mengikuti langkah Renata menjauhi area kelas sebelas.
“Kok lo tahu gua ada di kelas MIPA 2?” tanya Renata.
“Tadi pas mau ke kelas MIPA 1, kak Bryan bilang Kakak ada di MIPA 2. Makanya tadi kak Bryan yang manggil.”
“Oh gitu. Next gua kasih kunci serap ruangan buat lo. Jadi, lo bisa langsung ke ruangan saja.”
“Oke, Kak,” ujar Senja sembari menganggukkan kapalanya.
Setelah mereka menempelkan puisi Senja di mading, mereka menuju ke ruangan jurnalistik untuk meletakkan bahan mading.
“Ini kunci kaca mading dan ruangan jurnalistik. Jangan sampai hilang, ya,” ujar Renata.
“Siap, Kak. Aku izin balik ke kelas, Kak.”
“Oke. Jangan lupa bantuin gua koordinir anggota mading dan jurnalistik kelas sepuluh MIPA dan IPS buat ngumpulin karya. Nanti lo bisa langsung masukin ke mading kalau gak penuh,” jelas Renata.
“Oke, Kak. Nanti aku kabarin ke mereka.”
“Ga, entar lo yang ngumumin ke kelas-kelas, ya.”
“Kok gua?”
“Lo kan tahu gua gak suka banyak bunyi.”
“Terus gua harus bilang apa?”
“Bilang aja gini, kepada seluruh anggota mading dan jurnalistik agar dapat mengumpulkan karyanya ke Senja Augrey Leora di kelas X MIPA 2, terima kasih. Udah gitu aja,” ujar Senja.
“Enak aja lo bilang udah gitu aja. Lo enak-enakan gak perlu apa-apa. Gua anak basket bukan anak mading dan jurnalistik,” tegas Jingga.
“Tolongin gua,” mohon Senja.
“Traktirin gua nasi kuning mak Siti,” pinta Jingga.
“Yaelah, sama sahabat sendiri perhitungan banget,” jawab Senja.
“Gak mau juga gak apa-apa.”
“Iya, iya. Buruan entar keburu masuk.”
“Siap laksanakan, Bos.”
***
Saatnya istirahat.
It’s time to have break.
Lonceng pertanda istirahat telah berbunyi. Seperti biasa Jingga mengajak Senja pergi ke kantin.
“Senja, kantin, yuk. Bayar hutang lo.” tagih Jingga.
“Lo makan saja sepuas lo, bilang nanti Senja yang bayar. Mak Siti percaya sama gua. Gua mau ke perpustakaan kembalikan buku.”
“Lo gak makan?”
“Gak lapar.”
“Baiklah kalau begitu. Awas lo gak bayar nanti, gua tabok lo.”