Senja baru saja sampai di parkiran. Tiba-tiba, ia mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. Ia mencari di mana keberadaan suara itu. Ternyata bersumber dari Gita siswa kelas X MIPA 1.
“Gua cariin lo dari tadi,” ujar Gita.
“Kenapa?” tanya Senja sembari melepaskan helm LTD berwarna putih.
“Lo dipanggil sama bu Nelly tuh,” jawab Gita.
“Oh, ada apa?”
“Gua juga gak tahu. Tadi pas mau ke kelas, bu Nelly pesan katanya suruh manggil Senja.”
“Bu Nelly di mana?”
“Ada di majelis guru. Lo samperin aja ke sana,” ucap Gita.
“Oke, terima kasih infonya,” ujar Senja seraya menarik kunci motor dan memasukkannya ke dalam saku.
Waktu menunjukkan pukul 07:20, Senja segera menuju ke ruang majelis guru. Padahal, ia berniat untuk singgah ke kantin mak Siti terlebih dahulu karena belum sarapan. Ia harus menahan lapar selama 4 jam pelajaran.
Tok, tok, tok.
“Permisi, Bu,” ujar Senja.
“Iya, Nak. Silahkan masuk,” jawab salah satu guru yang duduk di dekat pintu.
Senja segera melangkahkan kakinya masuk menuju ke meja bu Nelly.
“Permisi, Bu. Ibu manggil Senja?” tanya Senja.
“Iya, Nak. Kamu ke kelas kasih tahu sama teman yang lain siapkan segala bahan praktikum yang ibu suruh bawa dari rumah. Ini kunci laboratorium biologi, jendela dibuka, ruangan dibersihin dulu. Setelah lonceng berbunyi tidak ada lagi yang di dalam kelas. Nanti Ibu langsung ke laboratorium,” jelas Nelly sambil menyerahkan kunci laboratorium ke Senja.
“Siap, terima kasih, Bu,” jawab Senja seraya melangkahkan kaki keluar dari majelis.
Senja langsung bergegas menuju kelasnya.
“Guys, bu Nelly pesan semua bahan praktikum disiapkan. Kita disuruh ke laboratorium buka jendela dan bersihin ruangan dulu. Gak ada yang di kelas. Nanti Ibu langsung ke sana.”
“Oke, Ja,” sahut beberapa siswi secara bersamaan.
Saatnya jam pertama dimulai.
It’s time to begin the first lesson.
Lonceng telah berbunyi, seluruh siswa kelas X MIPA 2 telah berkumpul di laboratorium biologi untuk mengikuti praktikum.
“Hallo, selamat pagi,” sapa Nelly memasuki laboratorium biologi.
“Pagi, Bu,” sahut para siswa serentak.
“Hari ini kita praktikum, ya. Sebelum memulai praktikum kita berdoa dulu. Pak ketua siapkan dulu,” ujar Nelly.
“Bersiap. Untuk mengawali pelajaran kita pada pagi hari ini, marilah kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai. Berdoa selesai. Beri salam.”
“Selamat pagi, Bu,” ujar para siswa serentak.
“Selamat pagi, Anak-anak Ibu.”
“Baiklah, hari ini kita praktikum mengenai fungi, ya. Sudah lengkap bahan-bahannya?” tanya Nelly.
“Siap, sudah, Bu,” jawab mereka serentak.
“Silahkan bentuk kelompok sesuai dengan yang Ibu bagikan di grup whatsapp kemarin, ya.”
Siswa dan siswi pun bergerak untuk mencari kelompoknya masing-masing. Kali ini Senja mendapat kelompok dengan Jingga, Fajar, dan Reno. Fajar merasa sangat beruntung bisa sekelompok dengan Senja kali ini.
Setelah kejadian sore hari kemarin. Fajar tak bisa menghilangkan gadis itu dari pikirannya. Ia benar-benar mengaguminya. Entah apa yang semesta kirimkan pada dirinya, tetapi melihat Senja mampu membuatnya tersenyum bahagia walau tanpa bertegur sapa.
Fajar termenung memandang Senja dengan bermesraan dengan mikroskop. Senja memang sangat bersemangat dalam sebuah tugas, Ia tak akan berhenti sebelum semuanya selesai.
"Jar, lo bengongin apa sih?" tanya Reno memecah khayalan Fajar.
"Eh, Ren, maaf. Lo ngomong apa tadi?"
"Gua gak ngomong apa-apa. Gua cuma nanya lo bengongin apa dari tadi," ujar Reno.
"Enggak ada apa-apa kok," jawab Fajar.
"Seluruh foto-foto untuk dibuat laporan udah gua ambil. Sekarang giliran kalian yang mengamati, setelah itu bersihin barang-barangnya. Gua isi LKS dulu," ujar Senja.
"Senja, gua bantuin lo isi LKS, ya," ucap Fajar.
"Gak perlu, gua bisa sendiri," ketus Senja sembari berpindah posisi ke kursi paling ujung.
"Ren, Senja memang gitu, ya, orangnya?" tanya Fajar dengan mata melirik ke arah di mana Senja duduk.
"Iya. Dia memang lebih suka menyendiri. Dari dulu juga gitu, kok. Sikapnya dingin. Jadi, kalau lo sekelompok sama dia, dengarin aja apa yang dia mau," jelas Reno.
Jingga yang tidak sengaja mendengar percakapan antara Fajar dan Reno pun menyambar.
"Heh! Kalian ngomongin apa?"
"Enggak, kok, Ga," jawab Reno ketakutan.
"Senja, Ga," jawab Fajar tidak bersalah.
Reno telah berusaha menutupi, takut Jingga akan menceritakannya ke Senja. Namun, Fajar dengan mudahnya mengakui apa yang sedang ia bicarakan dengan Reno.
"Ngapain kalian bicarain Senja? Gua kaduin ke Senja entar," ancam Jingga.
"Eh, jangan, Ga," mohon Reno.
"Ga, lo kan udah lama temenan sama Senja. Pasti lo tahu dia suka apa."
"Ngapain lo nanya dia suka apa. Hubungannya sama lo apa?" tanya Jingga kebingungan.
"Lo kasih tahu, gua traktir lo makan di kantin mak Siti seminggu," rayu Fajar.
"Serius lo?"
"Dua rius, tiga rius, berjuta-juta rius, deh," jawab Fajar.
"Tapi tunggu dulu. Apa motif lo nanyain hal itu? Lo mau guna-guna Senja, ya?" ucap Jingga.
"Gua cuma pengen tahu. Habisnya gua ajak bicara dia gak pernah jawab, gua kayak bicara sama patung. Untung aja sayang," ceplos Fajar sembari menutup mulut dengan tangannya.
"Hah! Apa lo bilang? Ulangin sekali lagi," seru Jingga.
"Eh, enggak, kok."
"Lo kira gua budek gak dengar lo bilang sayang," tegas Jingga.
"Jadi gimana nih tawaran gua?"
"Hidup Senja itu cuma satu," ujar Jingga.
"Apa?" tanya Fajar penasaran.
"Buku." jawab Jingga.
"Lo yakin dia cuma suka buku?"
"Hello! Gua sahabatan sama Senja dari SMP dan dia cuma punya satu teman, yaitu gua," gertak Jingga.
"Bukan dari lahir, kan?"
"Lo dikasih hati malah minta jantung. Gua tabok nanti lo," ucap Jingga sembari mengepalkan tangannya.