Catatan Senja

Denesa Ekalista
Chapter #8

8 - Mengejar Senja

Setelah jam pelajaran terakhir usai. Seperti biasa, Senja selalu menunggu saat suasana sudah sepi barulah ia menuju ke parkiran. Ia tak ingin ikut andil menciptakan desakan-desakan di pagar layaknya preman yang sedang melakukan konvoi untuk menguasai jalanan karena berebutan untuk segera keluar meninggalkan gedung sekolah ini. Untung saja ada pak Badrul yang setia berprofesi ganda sebagai seorang penjaga sekolah yang multitalenta.

"Ga, nongki, yuk," ajak Senja.

"Nongki ke mana?" Jingga memang selalu menjadi teman setia yang menemani Senja ke manapun ia pergi, termasuk menunggu waktu parkiran sepi.

"BCS Mall," ujar Senja cengar-cengir. Ia tahu, Jingga sangat mengerti apa maksudnya ingin pergi ke mall yang satu-satunya memiliki toko buku.

"Gua udah tau lo mau ngapain, gak perlu disebut lagi. Buruan entar keburu sore," ujar Jingga seraya mengambil helm dari spion kanannya.

"Langsung atau pulang dulu?" tanya Senja.

"Langsung aja. Entar ke rumah gua dulu letak motor, gak seru pisah-pisahan," ucap Jingga.

"Oke," jawab Senja.

Ketika Senja ingin berbalik arah, Ia tak sengaja bertatapan dengan Fajar. Ia dengan gesitnya mengalihkan pandangannya ke lain arah.

"Senja, pulang bareng, yuk. Gua bawa mobil," ujar Fajar mendekati Senja.

"Lo buta? Gua udah pakai helm dan gua bawa motor!" seru Senja.

"Besok gak perlu bawa motor, gua aja yang antar dan jemput lo," ujar Fajar.

"Gak perlu!" Senja menstater motornya dan segera pergi meninggalkan Fajar.

Ketika dalam perjalanan, Senja tidak sengaja melirik ke kaca spionnya dan melihat keberadaan Fajar yang mengikutinya.

"Ngapain sih tu anak ngikutin gua," gumam Senja kesal.

Tiba-tiba lampu merah menyala, Senja mengencangkan kelajuan motornya mendekati Jingga yang sudah beberapa meter di depannya.

"Ga, anak gak jelas itu ngapain sih ngikutin kita?" tanya Senja heran.

"Mana gua tahu, mungkin sejalan kali. Emang gua dukun bisa meramal dia mau ke mana?" jawab Jingga sembari melirik ke tiang lampu lalu lintas yang sudah berada di detik 10.

"Woi, gak usah menong, lampu udah mau hijau. Lo dilandas mobil belakang baru tahu rasa.” Kejut Jingga menepuk tangan Senja.

Lampu hijau pun menyala. Mereka mengencangkan kecepatan motornya untuk segera sampai di rumah Jingga.

Tepat di depan rumah Jingga, ketika Senja membuka helm dari kepalanya, tak sengaja ia melibat keberadaan mobil berwarna putih dengan nomor plat 2106 berhenti di depan komplek yang tak jauh dari rumah Jingga.

"Itu bukannya mobil anak gak jelas itu, ya. Ngapain dia di situ? Apa mungkin dia tinggal di dekat sini?" gumam Senja sembari mengejar Jingga.

"Ga, coba lo lihat. Itukan mobil anak gak jelas itu. Udah gua bilang dia ngikutin kita dari tadi," ujar Senja seraya menunjuk ke arah keberadaan mobil Fajar.

"Lo PD banget dia ngikutin kita. Barangkali aja dia singgah ke rumah saudaranya di dekat sini," jawab Jingga sambil membuka pintu rumahnya.

"Buruan ganti baju, entar kesorean," ujar Jingga.

Mereka menuju ke kamar Jingga yang terletak di lantai dua.

"Nyokap sama bokap lo belum pulang?" tanya Senja sembari melangkahkan kakinya menaiki satu demi satu anak tangga.

"Paling cepat jam enam sore baru sampai rumah. Kalau lembur kadang sampai jam sebelas sampai dua belas malam," jelas Jingga. Orang tua Jingga merupakan pekerja. Papanya merupakan seorang menejer di sebuah perusahaan industri di Batam, sedangkan Mamanya bekerja di sebuah perusahaan bisnis sebagai seorang sekretaris. Jingga memiliki seorang Kakak, tetapi ia sedang menempuh pendidikannya di China. Ia hanya bisa pulang ke Indonesia setahun sekali.

"Pantes aja lo gak betah di rumah mulu," ujar Senja sembari membuka tas ranselnya. Jingga memang selalu tak betah berada dalam kesendirian. Maka itu, ia lebih senang bermain di rumah Senja saat pulang sekolah, menikmati hidangan nikmat dari mamanya dan baru akan pulang setelah mendapat deringan telepon dari orang tuanya.

"Gua udah beres. Ayo gas," ucap Senja sambil membuka pintu kamarnya dan segera keluar.

"Eh, bentar, Ga. Gua hubungi nyokap dulu," ujar Senja saat melangkahkan kaki turun tangga.

"Gak harus di tangga juga kali," ujar Jingga.

Senja segera mempercepat langkahnya untuk sampai di bawah. Ia melihat Jingga yang sudah duduk menunggunya di sofa ruang tamunya.

"Bentar gua telepon dulu." Senja meraih tas ransel dan segera mengeluarkan telepon genggamnya.

Sisa pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini.

"Ga, pinjam HP dong," ujar Senja.

"Anak bos tapi pulsa gak ada. Gimana sih," ejek Jingga seraya mengambil HP dari sakunya.

"Gua lupa isi," jawab Senja sembari meraih HP Jingga.

"Hallo, Ma. Ini Senja," ucap Senja.

"Kamu pakai nomor siapa?"

"Pulsa Senja habis. Jadi, pinjam HP-nya Jingga," jelas Senja.

"Ma, Senja sama Jingga mau ke BCS, ya. Senja mau ke toko buku. Entar kalau lama pulangnya berarti Senja sekalian makan di sana."

"Ya udah. Jangan pulang malam-malam, ya," jawab Dewi.

"Iya, Ma. Senja pergi dulu, ya."

"Iya, hati-hati. Jangan kebut-kebutan," ujar Dewi sembari mematikan teleponnya.

"Makasih. Entar gua ganti pulsanya. Tapi bohong," ujar Senja sembari mengembalikan HP Jingga.

"Udah makai gak tahu diri lagi. Buruan," omel Jingga sambil mengunci pintu rumahnya.

"Lo yang bawa motor. Gua mau dukcans," ujar Senja sembari menjulurkan lidahnya.

***

Setelah mereka tiba di parkiran mall, Senja kembali melihat keberadaan mobil putih dengan plat bernomor 2106. Senja berusaha cuek dan tidak ingin menganggap keberadaan Fajar.

Mereka menaiki eskalator menuju tujuan utama Senja, yaitu Gramedia. Senja menyadari Fajar mengikutinya dari belakang. Namun, kali ini ia memutuskan untuk tak memedulikannya.

"Ga, kalau bosan di dalam Gramedia, lo keliling aja. Nanti kalau udah kelar, gua misscall," ujar Senja sambil melangkahkan kaki menuju surga dunianya.

"Masalah gampang tuh," jawab Jingga sembari mengikuti Senja menjelajah rak demi rak buku.

Tiga puluh menit kemudian, Jingga merasa jenuh berada di sebuah keramaian namun ia seperti diasingkan. Senja terlalu asyik menikmati toko buku ini. Banyak buku yang sudah ia sentuh, namun diletakkannya lagi. Begitu seterusnya sampai ia menemukan buku yang cocok untuk ia bawa pulang.

"Ja, lo masih lama?"

"Masih kayaknya," jawab Senja singkat.

"Gua keluar dulu. Entar call aja."

Senja hanya mengangguk tak menjawab. Ia memang selalu begitu jika sudah berada dalam toko buku. Tak ada seorang pun yang boleh mengganggu keasyikannya membaca dan memilih buku.

Senja mengambil sebuah buku dari rak kumpulan novel karya Boy Candra yang berjudul “Pada Senja yang Membawamu Pergi”.

Lalu, ketika ingin beralih menuju rak novel yang lainnya, ia terkejut dengan keberadaan Fajar di hadapan wajahnya. Ia hampir saja menabrak lelaki itu. Senja tak ingin ada perdebatan, ia memilih untuk berbalik badan menuju rak novel yang lain. Ia tak mau mood baiknya hilang gara-gara lelaki yang selalu ia anggap tidak jelas.

Fajar terus mengikuti ke mana Senja pergi walau ia tak berbunyi sama sekali. Baginya, memandang gadis itu saja sudah cukup membuatnya bahagia. Fajar hanya tersenyum melihat Senja yang sangat mencintai dunia buku.

"Pantas saja pintar, di toko buku berjam-jam aja betah. Ternyata apa yang dibilang Jingga benar, gadis ini benar-benar mencintai buku," gumam Fajar dalam hati.

Lihat selengkapnya