Catatan Senja

Denesa Ekalista
Chapter #9

9 - Hadiah untuk Senja

Hari di mana seroang Fajar bukanlah Fajar yang seperti biasanya, tak ada senyum dan sapaan ramahnya kepada sekitar. Hari ini, ia benar-benar mengurungkan senyumnya, lelaki itu benar-benar khawatir memikirkan Senja yang marah dengannya.

Tiba-tiba langkah Fajar terhenti ketika melihat sosok seorang Senja yang tak jauh darinya, ingin menghampiri tapi takut Senja akan semakin marah. Namun, ia mengurungkan ketakutannya. Ia harus meminta maaf secara langsung dengannya, lelaki itu tidak suka jika dirinya berperilaku sebagai seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab.

Fajar menghampiri Senja yang sedang duduk membaca buku di kursi depan trotoar kelas.

"Senja…"

"Apa?"

"Soal semalam gua minta maaf, ya," ujar Fajar seraya menjulurkan tangan kanannya.

"Gua lupa." Acuh Senja.

"Gua benar-benar gak bermaksud," ucap Fajar memohon.

"Soal buku itu, udah lo terima?"

"Belum." Senja menjawab tanpa memandang wajahnya Fajar, Ia hanya asyik dengan buku bacaannya.

"Ya udah, gak usah dibuka. Nanti kalau udah diterima, baru lo buka bukunya. Gak perlu bilang sama gua juga gak apa-apa."

"Oh, iya. Gua ada sesuatu buat lo, gak bermaksud apa-apa. Anggap aja ini hadiah permintaan maaf gua." Fajar membuka tas ransel dan mengeluarkan sebuah lukisan ilustrasi berbingkai berukuran A4 yang ia buat semalaman.

"Gua gak tahu lo suka atau gak. Tapi gua harap lo bisa terima ini sebagai permohonan maaf gua. Gua buat ini semalaman. Gua gak akan maksa lo buat ambil. Kalau lo nolak gak apa-apa, tong sampah di depan masih kosong." Fajar menyodorkan sebuah bingkai ilustrasi senja dengan berisi puisi di dalamnya.

"Gua terima," ujar Senja sembari mengambil lukisan tersebut dari tangan Fajar dan meletakkannya di samping kursi yang ia duduki.

"Thank you, Senja. Sekali lagi gua minta maaf, ya," ucap Fajar sambil menjulurkan tangannya kembali.

"Gak usah basa-basi." Senja kembali beralih ke buku bacaannya.

"Senja, nyokap gua bilang kalau orang minta maaf harus kita maafin." Fajar kembali menjulurkan tangannya berharap Senja akan menjabat tangannya sebagai penerimaan maaf.

Senja menepuk tangannya Fajar, "Udah gua sentuh kan? Ya udah! Berarti gua maafin, gak usah ngeyel! Pergi sana, jangan gangguin gua baca atau gua tarik balik ucapan gua?" tegas Senja dengan wajahnya yang datar tak berekspresi.

"Siap laksanakan, Ratu Senja." Fajar memberi hormat ke Senja dan segera masuk ke kelas meninggalkan Senja yang sedang asyik dengan buku bacaannya.

Fajar tidak menyangka Senja akan menyentuh tangannya walau hanya sebuah tolakan untuk berjabat. Seorang Senja yang dikenal dengan sikap dinginnya, tak pernah sekali pun meladeni cowok yang dianggapnya tidak jelas.

"Jika kemarin-kemarin genggaman itu ialah paksaan, hari ini sentuhan itu tanpa paksaan walaupun hanya sebuah tepisan, mungkin saja besok-besok genggaman itu akan jadi sebuah ketulusan darinya," gumam Fajar dalam hati sembari membolak-balikkan tangan kanannya dan tersenyum manis.

Saatnya jam pertama dimulai

It's time to begin the first lesson

Seluruh siswa berbondong-bondong memasuki kelas ketika melihat sosok seorang pak Anwar dari kejauhan.

Fajar masih duduk di tempat yang sama, tepatnya di samping kanannya Senja. Ia merasa bangga dengan dirinya sendiri ketika melihat Senja membawa bingkai lukisan di tangannya dan memasukkannya ke bawah loker meja. Senja memang sangat mencintai buku, bahkan saat masuk ke kelas pun Senja masih asyik dengan buku bacaannya.

"Selamat pagi, Anak-anak," ucap sosok seorang wanita memasuki kelas dengan high heels-nya yang berukuran tujuh cm. Bu Rita namanya, para siswa kerap kali menjuluki wanita itu sebagai guru ter-fashionable. Semerbak parfumnya selalu bisa menjadi Stella alami di kelas ketika jam pelajaran bahasa Indonesia.

Senja yang menyadari keberadaan bu Rita di depan kelas dengan segera menutup novel yang sedang ia baca dan meletakkannya di ujung meja sebelah kanan.

"Ga, sejak kapan bu Rita masuk kelas?"

"Sejak lo asyik-asyikan sama buku lo. Makanya telinga tuh jangan budek kalau udah baca buku." Ledek Jingga. Jingga memang selalu kesal melihat sahabatnya yang selalu tidak bisa mengingat dunia ketika telah bermesraan dengan bukunya. Entah ada pangeran muda setampan artis korea atau bidadari secantik Maudy Ayunda di dalam buku yang membuatnya tidak ingin mengenal sekitar selain buku.

"Baiklah, Anak-anak. Materi pelajaran kita hari ini mengenai debat. Jadi, debat merupakan proses saling tukar menukar pendapat untuk membahas suatu isu dengan masing-masing pihak berdebat memberi alasan. Debat terdiri dari enam unsur, yaitu mosi, tim afirmasi, tim oposisi, tim netral, moderator, dan penulis. Di materi kali ini, kita akan menggunakan sistem praktik. Nanti ibu akan bagikan kelompok, tugas kalian sekarang memahami apa itu unsur-unsur debat. Silahkan dibaca sembari menunggu ibu membagikan kelompok," jelas Rita dengan suara lantangnya.

Senja yang merasa telah memahami materi ini pun dengan segera membuka kembali lembaran novelnya. Senja memang selalu menjadi yang terdepan memahami materi pelajaran sebelum dijelaskan.

"Ja, lo gak baca yang disuruh bu Rita? Malah baca novel lagi." Jingga selalu heran melihat Senja yang tak bisa jauh dari buku sebentar saja.

"Gua udah paham. Ini lagi seru-serunya, jangan ganggu gua," jawab Senja tanpa menoleh ke arah Jingga.

"Senja, kamu disuruh baca buku malah baca novel. Kamu udah paham?" tanya Rita yang tak sengaja melihat Senja sedang asik dengan novelnya.

"Sudah, Bu." Senja dengan segera menutup kembali novelnya.

"Coba kamu jelaskan ke teman-temanmu," pinta Rita untuk menguji apakah benar Senja sudah memahami materi ini.

"Siap, Bu. Jadi teman-teman, unsur debat terbagi menjadi enam, yaitu mosi, tim afirmasi, tim oposisi, tim netral, moderator, dan penulis. Mosi merupakan topik atau isu yang akan kita bahas dalam sebuah debat. Tim afirmasi merupakan tim pendukung atau pro. Tim oposisi ialah tim penentang atau kontra yang merupakan kebalikan dari tim afirmasi. Tim netral adalah tim yang murni tidak memihak ke tim afirmasi maupun oposisi, tim ini berperan memberikan argumen yang bersifat tidak mendukung maupun menolak mosi. Moderator selaku pengarah debat dan penulis bertugas mencatat hasil-hasil debat." Senja selalu berhasil membuat seisi kelas kagum kepada dirinya termasuk bu Rita yang geleng-geleng kepala dan mengacungkan kedua jempol untuknya.

"Sudah, cukup. Kamu boleh duduk dan silahkan lanjutin baca novelnya," jawab Rita sembari mengacungkan kedua jempolnya.

Senja hanya tersenyum kecil mendengar jawaban dari bu Rita yang mempersilahkannya untuk kembali membaca novel.

Tak lama setelah itu ketika keributan telah memainkan perannya, Rita kembali memecahnya dengan keheningan.

"Disuruh baca, bukan disuruh ribut!" seru Rita seraya memegang selembaran kertas yang berisikan nama kelompok.

"Sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Ibu mau bagikan kelompok. Ibu hanya membacakan sekali. Jadi, telinga dipasang baik-baik."

"Senja, kamu jadi moderator, ya," ujar Rita.

"Siap, Bu."

"Jingga, kamu masuk tim oposisi."

"Yah, kok gak sama Senja, Bu?" Tanya Jingga.

"Saya gak ada apa-apanya tanpa Senja, Bu," tambahnya. Jingga memang selalu beruntung jika bisa sekelompok dengan Senja. Ia tidak perlu memusingkan diri untuk mencari jawaban, hanya terima bersih saja.

"Gak usah, Bu. Dia mau enak aja sama yang pintar," ucap Tiara dari ujung paling belakang.

"Sudah, sudah. Ibu yang atur. Jingga kamu tetap di tim oposisi." Jingga tak bisa menentang untuk keputusan yang kedua kali.

"Moderator hanya terdiri dari dua orang, satu perempuan dan satu laki-laki."

"Bu, saya aja yang jadi moderator," ujar Devan.

"Ngapain coba mereka berebut posisi hanya untuk sekelompok sama gua. Emangnya gua boneka yang bisa direbut-rebut." ujar Senja pelan.

Jingga yang mendengarkan ucapan Senja langsung menyambung, "Siapa suruh jadi anak terlalu pintar."

"Biasa aja kali," jawab Senja.

"Lo dikasih makan apa sih sama bokap nyokap lo? Kenapa pintar lo terlalu over? Ibarat air di cangkir, itu air lo udah pada tumpah."

"Bakar aja buku lo, terus abunya lo campurin ke air, dan minum," jawab Senja dengan wajah cengengesan.

"Entar pulang gua coba."

"Bodo! Palingan besok gua sediain peti buat pengistirahatan terakhir lo." Senja selalu dibuat bingung dengan sikap tak masuk akal sahabatnya satu ini, bagaimana bisa seseorang menjadi pintar karena meminum air hasil dari abu buku yang dibakar.

"Kurang ajar! Gua kira beneran."

Lihat selengkapnya