Catatan Senja

Denesa Ekalista
Chapter #10

10 - Takjub

Hari sabtu merupakan hari free class. Seluruh siswa dibebaskan untuk melakukan ekstrakurikuler, entah itu sparing, membersihkan ruangan, menggelar rapat, dan sebagainya, sampai pukul dua belas. Setelah itu, mereka akan dilanjutkan dengan kelas literasi atau sosialisasi, siswa dipinta untuk membaca buku di kelas masing-masing atau duduk berkumpul di aula mendengar sosialisasi dari pemateri yang berbeda setiap minggunya. Bisa dari guru, siswa yang ditunjuk, atau mengundang pemateri dari luar.

Ini merupakan hari favoritnya para siswa, tak ada jam yang harus diisi dengan mata pelajaran sejarah yang membosankan atau matematika yang katanya mematikan.

Bryan yang merupakan ketua OSIS di SMA Negeri 1 Batam. Maka itu, ia memiliki tanggung jawab yang besar atas segala bentuk aktivitas di sekolah. Ia adalah orang yang paling rempong ketika hari Sabtu telah tiba. Ia harus mengawasi segala bentuk kegiatan yang dilakukan para siswa untuk memastikan tak ada satu pun yang keluar dari sekolah atau hanya rebahan di dalam kelas, bahkan duduk santai di kantin mak Siti.

"Bryan, kamu tahu gak siapa ketua mading dan jurnalistik?" Bryan terhenti karena panggilan dari Kinanti ketika ia sedang berjalan melewati majelis guru dengan kesibukannya mengawasi aktivitas siswa.

"Renata, Bu. Siswa kelas XI MIPA 1. Kebetulan saya juga lagi cari Renata," ujar Bryan.

"Kamu tolong panggilkan Renata, temuin ibu di majelis guru, ya," pinta Kinanti.

Kinanti merupakan seorang guru bahasa Indonesia yang mengajar kelas XII di SMA Negeri 1 Batam. Kecintaannya terhadap dunia sastra tak bisa dipungkiri lagi adanya. Ia sering menulis puisi yang diunggah di beranda facebook-nya, bahkan lolos mengikuti berbagai event sastra di kancah daerah, nasional, bahkan sampai internasional.

"Siap, Bu. Saya coba cari Renata di kelasnya," ucap Bryan sembari beranjak dari kursi.

"Pakai mic di majelis aja biar cepat," saran Kinanti.

"Oke, Bu." Fajar berjalan menuju majelis dan segera membuka mic.

Panggilan untuk Renata kelas XI MIPA 1, ketua mading dan jurnalistik agar segera menemui bu Kinanti di majelis guru sekarang." ucap Bryan di balik mic.

Ketukan suara mic terdengar oleh seisi sekolah, suara yang bersumber dari toa itu selalu berhasil memecah keramaian di sudut manapun. Ketika mendengar ketukan mic di balik toa, seisi sekolah tiba-tiba menjadi sunyi. Mereka selalu berharap akan ada pengumuman "give away" yang akan memulangkan mereka lebih awal.

"Kayak suaranya si Bryan. Ngapain ya gua dipanggil?" gumam Renata.

Ketika mendengar pengumuman dari toa, Renata segera bergegas menuju majelis guru. Ia khawatir jika ada kesalahan yang tak sengaja ia perbuat atau ada hal penting lainnya.

Renata melihat Bryan yang sedang berdiri di depan majelis. Ia segera menghampirinya.

"Bro, ngapain panggil gua?" Tanya Renata.

"Bukan gua. Bu Kinanti cari lo. Tadi pas gua lewat majelis mau cari lo ke kelas, bu Kinanti manggil gua," ujar Bryan sembari meneguk air dari botol tupperware berwarna hitam yang selalu ia bawa ke mana-mana.

"Oh, terus lo ngapain cari gua?"

"Ya mau nanyain ekskul lo. Mading udah lo eksekusi gak? Jangan sampai gua nemuin anak buah lo rebahan dalam kelas ya. Ketuanya gua tabok," ujar Bryan.

"Tadi gua mau ke kelas ngumpulin anak mading. Tapi, tiba-tiba gua dengar suara lo manggilin gua. So, gak jadi deh."

"Sana temuin bu Kinanti."

"Di mana?"

"Coba aja cari di majelis, gua cabut dulu. Masih banyak kerjaan lain. Mading lo jangan lupa dieksekusi," jawab Bryan seraya melangkah pergi menjauhi Renata.

Renata hanya mengangguk tak menjawab dan segera berjalan memasuki majelis guru.

Tok, tok, tok.

"Permisi, Bu," sahut Renata sambil mengetuk pintu majelis guru.

"Silahkan masuk." Seorang guru yang duduk di dekat pintu selalu menjadi penjawab untuk mempersilahkan siswa yang ingin masuk ke majelis guru.

"Permisi, Bu. Meja Bu Kinanti di mana, ya?" tanya Renata kepada guru yang mempersilahkannya masuk. Bu Marta, seorang guru sejarah yang dikenal paling ramah.

"Itu bu Kinanti, langsung saja, Kak." Marta menunjuk ke arah Kinanti yang baru saja memasuki majelis guru.

"Oke, terima kasih, Bu."

"Oh, ya. Renata ikut Ibu." Kinanti yang baru saja masuk segera memutar balik badannya keluar dari majelis. Mereka duduk di sebuah kursi di depan ruangan majelis.

"Ibu manggil saya, Bu?" Tanya Renata.

"Iya, Kak. Kamu ketua mading dan jurnalistik kan?"

"Iya, Bu."

"Sekolah dapat undangan untuk mengirimkan seorang peserta mengikuti Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional," ujar Kinanti sembari menunjukkan surat undangan tersebut.

"Aduh, Bu. Saya gak jago bikin puisi, Bu," kata Renata sambil mengembalikan surat tersebut.

"Masa iya anak jurnalistik gak bisa bikin puisi?"

"Iya, Bu. Saya bisa mengelola mading, kalau nulis itu palingan cuma artikel. Puisi saya gak jago," jelas Renata menolak.

"Kamu kan ketua, anggotamu pasti ada yang jago bikin puisi. Soalnya ini event besar, jadi sayang kalau kita gak ngirim."

"Ada, Bu. Senja namanya, siswa kelas X MIPA 2. Puisi-puisi di mading biasanya dia yang ngisi," ujar Renata.

"Coba kamu panggil dia, suruh temuin ibu sekarang. Ibu tunggu di sini, ya."

"Siap, Bu," jawab Renata sembari menyalam Kinanti.

Ketika Renata berjalan menyusuri trotoar depan kelas X. Tiba-tiba, ia bertemu dengan Fajar.

"Eh, lo sekelas sama Senja, kan?" Tanya Renata.

"Iya, Kak. Ada apa, ya?"

"Lo lihat Senja gak?"

"Kalau gak salah lagi baca buku di kelas," jawab Fajar.

"Oh, oke. Makasih," ucap Renata sembari berjalan meninggalkan Fajar.

Lihat selengkapnya