Seminggu kemudian, hari di mana Senja akan berangkat ke Jakarta mengikuti Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional. Ini merupakan kali pertama Senja mengikuti event di kancah nasional, biasanya hanya daerah atau provinsi.
Sesuai kesepakatan dengan Kinanti, mereka akan pergi ke sekolah terlebih dahulu sebelum check-in ke bandara.
Ketika mobil berwarna hitam tiba, Senja berpamitan dengan Dewi. Latif sudah lebih dulu meninggalkan rumah sedari pagi karena ada meeting penting yang harus diikuti hari ini.
"Ma, Senja berangkat, ya. Doain Senja," ucap Senja seraya mencium pipi kanan-kiri Dewi secara bergantian.
"Iya. Mama selalu doain yang terbaik buat kamu," jawab Dewi sambil mencium dahi Senja dan mengelus pelan rambutnya.
"Bu, saya titip Senja, ya," ucap Dewi.
"Siap. Senja aman sama saya," jawab Kinanti dari dalam mobil.
"Senja jalan, ya. Bye, Mama," ujar Senja seraya melambaikan tangan.
"Senja udah sarapan?" tanya Kinanti.
"Tadi makan roti sama susu aja, Bu."
"Mau sarapan di sekolah atau bungkus bawa ke bandara aja?"
"Senja ikut Ibu aja."
Mereka tiba di sekolah tanpa berpakaian seperti biasanya. Hari ini, langit tampaknya sangat bersahabat, Senja tidak menyangka hari ini akan tiba dengan begitu cepatnya.
"Bu, Senja ke kelas bentar, ya."
"Oke. Ibu tunggu di kantin," jawab Kinanti seraya berjalan menuju ke arah kantin, sedangkan Senja berbalik arah menuju kelas.
Senja hanya ingin mengambil pena yang tertinggal di loker mejanya. Sekalian berpamitan dengan sahabatnya Jingga.
Ketika Senja tiba di depan pintu kelas, ia tak melihat ada siapa-siapa di kelas. Senja lupa bahwa hari ini adalah hari Sabtu, seluruh kegiatan dilakukan di luar kelas.
Di tengah perjalanan, ketika Senja ingin menuju ke kantin. Ia bertemu Fajar mengenakan seragam basketnya yang berwarna biru les silver dengan nomor punggung 08 bertuliskan inisial namanya D.F.A. Senja terhenti sejenak menyadari pesona Fajar yang sangat tampan mengenakan baju basket. Semerbak parfumnya masih tercium walau telah berbaur dengan tetesan keringan yang mengalir di sekujur tubuhnya.
"Senja."
Senja terpaku diam, ia merasa sangat canggung berada di depan Fajar.
"Senja, kok bengong?" tanya Fajar sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Senja.
"Eng ... enggak, kok," jawab Senja terbata-bata.
"Senja, kamu cantik," ujar Fajar. Ternyata sejak ia melihat Senja mengenakan celana jeans hitam dan baju berwarna putih serta dilapisi dengan cardigan berwarna krim, Fajar semakin terpesona dengan kecantikan gadis itu.
"What! Jangan baper, Senja. Tolong, jangan!" gumam Senja.
Ia hanya tunduk tersipu malu, tapi tak ingin memperlihatkan wajahnya yang memerah. Ia bersikap seperti Senja yang biasanya dengan menunjukkan wajah datarnya.
"Lo mau ke mana? Kok rapi banget?"
"Gua selalu rapi setiap hari," jawab Senja.
"Sorry gua ralat. Lo mau ke mana pakai baju bebas?"
Lalu Senja mengalihkan pembicaraan menanyakan keberadaan Jingga, "Lo lihat Jingga, gak?"
"Oh, Jingga. Ada tuh di lapangan lagi sparing," jawab Fajar sembari menunjuk ke arah lapangan basket.
"Thank you. Gua duluan," ujar Senja sambil menunduk pergi meninggalkan Fajar. Ia tak ingin melihat wajah pria itu terlalu lama atau ia akan salah tingkah dengan ketampanannya.
Senja segera bergegas menuju kantin. Awalnya ia ingin menghampiri Jingga di lapangan. Namun, ia takut bertemu Fajar untuk ke sekian kalinya.
“Senja, sarapan dulu. Habis ini kita langsung ke bandara,” ujar Kinanti.
“Iya, Bu.”
“Mak, seperti biasa, nasi goreng sama tempe goreng. Duduk di meja bu Kinanti, ya.”
“Siap. Ditunggu, ya. Mak siapin pesanan Jingga dulu.”
“Jingga? Mana dia?”
“Tadi dia ke sini, terus ramai. Jadi, dia mesan katanya bentar lagi balik ke sini,” ujar mak Siti sembari mencedok nasi.
Senja hanya mengangguk dan segera berjalan menuju meja Kinanti.
“Ibu udah makan?”
“Kelamaan nunggu kamu, haha.”
“Haha, maaf, Bu.”
“Gak apa-apa. Kamu bekal, gak?”
“Gak usah, Bu. Tadi ada bawa roti dari rumah,” jawab Senja sembari melepaskan tas ransel dari pundaknya.
Mak, makanan Jingga udah siap belum?
Belum sampai orangnya, suara dari pemilik orang tersebut sudah lebih duluan tiba di sekeliling kantin.
“Siapa sih teriak-teriak?” tanya Kinanti.
“Palingan suaranya Jingga, Bu.”
Tak lama setelah itu muncullah sosok dari pemilik suara tersebut. Jingga tak sadar jika ada guru di kantin saat itu. Ia melihat keberadaan Kinanti dan Senja di kantin dan ia merasa malu memperlihatkan sisi tomboinya di depan guru.
“Jingga, sini kamu,” panggil Kinanti.
“Maaf, Bu. Saya gak tahu ada ibu di sini,” jawab Jingga sambil menyalami Kinanti.
Senja hanya duduk diam dan tertawa kecil melihat perilaku sahabatnya yang tak pernah berubah. Sudah kayak tarzan yang teriak-teriak di hutan.