Setelah beberapa bulan berlalu, kini tibalah saat ujian akhir semester menyapa. Seluruh siswa harus melaksanakan ujian sebelum akhirnya mendapatkan rapor kenaikan kelas.
Ujian berjalan dengan tenang dan lancar. Seluruh siswa mengikutinya dengan sangat antusias. Entah itu antusias belajar atau antusias mencari jawaban teman. Pastinya mereka tak sabar untuk segera menghabiskan seminggu ini agar bisa segera mengikuti class meeting. Masa di mana tanpa belajar, hanya mengikuti rangkaian acara yang telah disusun oleh panitia.
***
Seminggu berlalu begitu cepat. Kini tibalah pada masa class meeting. Sebelum class meeting dilakukan, seluruh ketua kelas telah mengikuti rapat bersama OSIS. Class meeting kali ini akan diisi dengan bidang seni, olahraga, dan literasi. Bidang seni meliputi lomba band dan lomba cheers leaders. Bidang olahraga meliputi lomba basket, futsal, dan voli. Sedangkan literasi, yaitu lomba cipta puisi.
Kegiatan ini berlangsung selama lima hari, Senin-Jumat. Sedangkan hari Sabtu adalah pengumuman pemenang sekaligus pembagian rapor.
Akbar yang merupakan ketua kelas X MIPA 2 mengumpulkan seluruh warga kelasnya untuk berkumpul dan berdiskusi menentukan bidangnya masing-masing. Tidak ada siswa yang tidak terlibat dalam kegiatan ini. Jika ketahuan ada siswa yang berada di dalam kelas, maka akan diberikan sanksi.
"Guys, jadi kita bagi tugas, ya. Untuk lomba cipta puisi gua serahin sama sesepuh puisi kita, Senja. Setuju?" tanya Akbar.
"Setuju," ujar mereka serentak.
Senja hanya menggeleng-geleng tersenyum tak bisa menolak.
"Bar, cipta puisi diminta satu wanita, satu pria," ujar Senja.
"Oh iya. Siapa ya kira-kira cowoknya?"
"Fajar aja, Bar," ujar Jingga penuh keyakinan.
"Kok gua?" tanya Fajar bingung.
"Terus menurut lo Bara gitu?"
Seisi kelas tertawa mendengar nama Bara yang diminta untuk mengikuti lomba puisi. Boro-boro bikin puisi, tulisan sehari-hari aja gak bisa dibaca.
Fajar menepuk pundaknya Bara berkali-kali, "Harap bersabar, ini ujian, Bro." ujarnya.
"Iya, iya, gua mau. Kalau menang kalian traktir gua ya," canda Fajar sambil tertawa.
"Perhitungan banget lo. Gua pecat entar lo dari warga X MIPA 2," ujar Akbar.
“Lagian lo mana bisa menang lawan juara 1 Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional.” Tambah Akbar.
"Untuk basket putri, gua serahin ke Jingga dan basket putra gua serahin ke Fajar. Silahkan bentuk tim kalian masing-masing."
"Gua lagi?" Tanya Fajar yang mendengar namanya disebut untuk kedua kali.
"Gak usah protes lo. Iyain aja napa sih!" seru Akbar.
"Oke. Gua rasa semuanya udah jelas. Untuk jadwal perlombaan, silakan baca di papan mading. Kalau ada perubahan akan diinfokan dari pihak panitia," ujar Akbar membubarkan.
Kepada seluruh peserta lomba cipta puisi agar segera masuk ke laboratorium bahasa. Dalam waktu paling lama 15 menit, apabila peserta tidak berada dalam ruangan, maka akan didiskualifikasi.
Senja bergegas menuju laboratorium bahasa. Ia melihat sosok Kinanti yang sedang berdiri di depan pintu. Ia segera menghampirinya.
"Hai, Buwet," sapa Senja.
"Eh, kamu. Kamu gak boleh ikut. Kan udah juara satu tingkat nasional."
"Tapi, panitia bolehin," jawab Senja sembari menjulurkan lidahnya.
"Kalau juri gak bolehin gimana?"
"Ihhh, Buwet. Jangan bercanda, dong."
Kinanti tertawa, ia merasa puas bisa mengerjain Senja. "Enggak bercanda, tapi main-main aja," ujar Kinanti.
"Maksudnya?"
"Mulai deh ngesot alias gak nyambung. Ibu panggil kamu Sot aja deh," ujar Kinanti sambil mengacak-acak rambut Senja.
Senja merapikan rambutnya yang diacak-acak oleh Kinanti. "Ihh, Buwet. Rambut Senja berserak entar."
"Biarin. Dasar Sot! Buruan sana masuk, cari tempat duduk masing-masing."
"Siap laksanakan 86, My Buwet."
Sejak hari itu, Senja sangat akrab dengan Kinanti. Entah apa yang membuat mereka bisa secepat itu akrab. Kinanti sudah dianggap Senja seperti ibunya sendiri.
Tak lama setelah itu, Fajar datang dengan membawa secarik kertas dan sebatang pena.
"Eits. Dilarang membawa perlengkapan apa pun ke dalam ruangan." Kinanti mencegat Fajar untuk masuk ke ruangan.
"Eh, Ibu. Selamat pagi menjelang siang, Bu," ucap Fajar sembari menyalami Kinanti.
"Kamu yang waktu itu ngaku pacarnya Senja, kan?"
"Emm ... enggak, Bu."
"Enggak salah maksudnya?"