Hari ini merupakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah melakukan upacara bendera, SMA Negeri 1 Batam selalu mengadakan kegiatan lomba untuk merayakan hari kemerdekaan RI. Lomba yang digelar meliputi permainan rakyat, yaitu tarik tambang, lompat karung, bola air, sendok goli, dan sebagainya.
Seperti biasa, Senja hanya menjadi tim hore yang ikut memeriahkan acara. Ia tak pernah suka mengikuti perlombaan seperti itu. Ia hanya akan berdiam diri menjadi penonton daripada harus bersusah payah mengikuti perlombaan.
Berbeda halnya dengan Jingga. Karena tidak belajar, Jingga sangat antusias mengikuti satu demi satu perlombaan. Bahkan, ketika tak ada perwakilan kelas yang maju, Jinggalah yang menyerahkan diri dengan sendirinya. Ada untungnya juga. Jadi, seisi kelas tidak perlu dihukum oleh pak Anwar gara-gara tidak ada yang mengikuti.
Seluruh siswa berkumpul di lapangan basket.
Banyak dari mereka berbondong-bondong mengambil posisi duduk memenuhi lapangan, sedangkan Senja memilih untuk mengambil posisi duduk di anak tangga kelima, tepatnya di depan pohon-pohon cemara yang juga berisi tulisan SMAN 1 KOTA BATAM. Selain karena sedikit menjauhi kerumunan yang akan dipenuhi dengan teriakan, Senja juga bisa menyaksikan dengan jelas karena berada di posisi yang lebih tinggi.
Fajar yang kebetulan juga tidak mengikuti perlombaan memilih untuk tiba di lapangan setelah berkeliling satu sekolah bersama kerabatnya Bara.
"Bar, lo gak ke lapangan?"
Bara hanya diam tak menjawab. Ia sedang asik menghorizontalkan handphone-nya dan masuk ke dalam dunia per-game-annya.
"Bar."
"Bara!"
"BARAAAAAAA!!!"
"Bar, Bar, Bara gila!" Fajar berteriak tepat di telinganya Bara menggunakan nada dari lagu power rangers.
"Pekak bego!"
"Oh, masih bisa dengar. Gua kira lo budek!"
"Apaan! Telinga gua masih normal kali," jawab Bara sembari melanjutkan game-nya.
"Habisnya lo dipanggil berkali-kali gak dengar."
Bara kembali tak merespon ucapan dari Fajar.
Fajar yang merasa kesal dengan perilakunya Bara segera merampas handphone dari genggaman Bara. "Lo ngapain sih! Gua lagi seru-seru main lo ganggu," cetus Bara dengan raut wajahnya yang sedikit kesal.
Fajar menghentikan langkahnya sejenak. "Jalan itu arahnya ke depan, bukan ke bawah goblok! Lo mau kelanggar sama tiang gara-gara main game?" tegas Fajar sambil menjitak kepalanya Bara.
"Woi, kepala mulus gua lo jitak-jitak terus! Enggak licin lagi entar," sahut Bara sembari mengelus-ngelus kepalanya yang licin itu.
"Gak ada yang punya juga."
"Ada!"
"Siapa?" tanya Fajar dengan raut wajahnya yang berkerut memandang Bara.
"Siapa apanya?"
"Tadi lo bilang ada."
"Ada apa lagi?" Bara menjawab seakan-akan tak merasa bersalah.
Fajar mulai geram melihat Bara yang gobloknya tingkat dewa. Dikasih makan apa coba sampai segila ini.
"Ada yang punya!" seru Fajar sembari merangkul Bara dan mencekik lehernya.
"Punya apa lagi?" Bara memang sekonyol itu. Kecepatan otaknya menangkap mungkin hanya kisaran 0-0,9 m/s, tak menjejaki angka 1.
"Lo lola atau emang goblok sih? Pacar bego!" seru Fajar menaikkan nada bicaranya.
"Oh pacar. Ada dong, udah masuk yang ke-11. Mantan gua ada 10. Emang kayak lo yang jomblo dari lahir!" jawab Bara penuh tawa sinisnya.
"Bohong lo!"
"Yah, ni anak dikasih tau malah gak percaya. Apa perlu gua kursus bahasa alien supaya lo bisa ngerti dan percaya?" ujar Bara menaikkan alis kanannya.
"Mana ada yang mau sama lo."
"Jangan salah. Babang Bara terkenal di kalangan para wanita dan selalu menjadi rebutan mereka."
Bara memasang gaya sok cool dengan mengelus ke belakang kepalanya yang berambut tipis itu.
"Gak usah elus-elus. Kepala lo udah licin."
"Biar gan…"
Belum selesai Bara berbicara, Fajar langsung memotong ucapannya. "Eh, lo bilang apa tadi? Gua jomblo dari lahir? Ngaco! Gua pernah pacaran kali. Emangnya lo kira gua guy?"
"Siapa tahu kan." Bara berusaha untuk merebut kembali handphone-nya. Namun sia-sia, Fajar selalu bisa menepis tangannya.
"Entar tunggu sampai lapangan biar lo gak ngacangin gua bicara!" seru Fajar memasukkan handphone Bara ke dalam sakunya.
"Dasar jomblo!"
"Gua gak jomblo keles."
"Emang lo ada pacar? Mana ada cewek yang mau sama lo atau mungkin pacar lo yang sejenis?" ejek Bara sembari tertawa keras memegang perutnya.
"Ada. Gua tunjukin bentar lagi kalau udah sampai lapangan."
Setelah mereka tiba di lapangan basket, Fajar melirik ke seisi lapangan mencari keberadaan Senja. "Nah, itu dia," ucap Fajar menunjuk ke arah Senja.
Bara tak bisa menahan tawanya, "Lo halu, Bro? Itu jari lo nunjuk ke arah Senja? Mana mau dia sama lo."
"Hari ini statusnya masih calon. Tapi, besok-besok gua pastiin dia jadi pacar gua."
Bara benar-benar tak bisa menahan tawanya, ia tertawa layaknya orang gila tak henti sampai seisi lapangan memandang ke arahnya tak terkecuali Senja. Ia merasa terganggu dengan suara tawa Bara layaknya toa. Ia tak bisa berkonsentrasi membaca buku.
Fajar menjitak kepalanya Bara. "Semua orang liatin lo kampret! Gak usah malu-maluin."
"Biarin aja. Mereka terpesona dengan kegantengan gua."
"Terserah lo! Kalau lo dipanggil pak Anwar, jangan cari gua. Gua cabut dulu ah." Fajar berjalan menuju ke arah di mana Senja duduk.
Ternyata benar, pak Anwar berjalan menuju ke arah Bara. Bara sudah mulai keringat dingin melihat langkah pak Anwar yang semakin mendekat.
"Mampuslah gua," gumam Fajar dalam hati.
"Kamu!" ujar pak Anwar menunjuk ke wajah Bara.
"I ... iya, Pak." Bara menjawab dengan nada pelan dan terbata-bata.
"Kenapa kamu di sini ketawa-ketawa," ucap Anwar sembari menjewer telinganya Bara.
"Anu ... anu, Pak."
"Anu, anu, anu. Apanya yang anu."
Bara terdiam tak tahu ingin menjawab apa.
"Sekarang kamu lari keliling lapangan sebanyak lima kali. Jangan coba-coba kabur atau kamu akan mendapatkan hukuman yang lebih berat." Anwar menunjuk ke arah lapangan yang sedang dipenuhi oleh siswa-siswi.
"Ta ... tapi, Pak?"
"Gak ada tapi-tapian. Laksanakan sekarang juga!" tegas Anwar.
"Si ... siap, Pak!" Bara segera berlari menuju ke lapangan.