Pada bulan Oktober, SMA Negeri 1 Batam menggelar Pekan Olahraga Siswa (POS). Kegiatan ini melibatkan seluruh siswa smansa dengan berbagai pertandingan olahraga, yaitu basket, futsal, atletik, voli, takraw, dan badminton.
Kegiatan ini digelar mulai dari pukul 15.00 sampai dengan selesai. Seluruh jam pelajaran disetujui untuk berakhir pada pukul 14.00. Hanya saja seluruh siswa tidak diperkenankan untuk kembali ke rumah. Mereka diwajibkan membawa bekal dari rumah atau membeli di kantin karena akan pulang lebih larut. Siswa-siswi yang tidak mengikuti pertandingan pun diwajibkan untuk tetap hadir walau hanya sekadar menjadi tim hore.
Hari ini adalah pertandingan bola basket antara kelas XII MIPA 1 melawan XI MIPA 2. Senja melihat ke sekelilingnya yang telah bersiap dengan senjatanya sebagai tim hore. Ada yang membawa terompet, toa, bahkan sampai membuat spanduk yang entah apa isinya.
Berbeda halnya dengan Senja. Ia tak menyiapkan alat peraga apa pun untuk menyemangati kelasnya. Justru ia menyiapkan novel yang akan menemaninya sore hari ini. Sebenarnya Senja tidak menyukai keramaian. Hal itu akan membuatnya sulit untuk berkonsentrasi dalam membaca. Jika bukan karena berbagai macam ancaman dan kemungkinan hukuman dari pak Anwar, mungkin saja Senja tidak akan berada di sana.
Pertandingan pertama akan segera dimulai. Seisi lapangan telah terpenuhi oleh siswa-siswi dengan suara yang meneriaki tim pilihannya masing-masing. Senja mengambil posisi duduk di anak tangga paling atas dekat lapangan basket, tepatnya di depan tulisan SMAN 1 KOTA BATAM.
Seperti biasa, ketika yang lainnya sibuk dengan perihal di lapangan, Senja malah asyik dengan bukunya. Entah sudah berapa puluh buku yang telah dibacanya atau mungkin rumahnya hanya penuh terisi dengan buku.
Sebelum pertandingan dimulai, Fajar mencari keberadaan Senja. Entah apa lagi yang ingin dilakukannya. Ia hanya ingin bertemu Senja sebelum waktu membawanya menuju ke dalam lapangan. Ia menemui Senja duduk di tempat yang sama ketika acara hari kemerdekaan RI kemarin. Fajar dengan segera menghampirinya tanpa rasa ragu.
"Senja, gua main hari ini."
Senja yang sedang menunduk membaca buku pun sedikit menaikkan kepalanya melirik ke arah Fajar yang sedang berdiri di depannya.
"Terus?" tanya Senja dengan wajah sinisnya.
"Doain gua supaya menang dan gak cedera."
"Cedera juga gak apa-apa," balas Senja. Gadis itu memang pedas ketika berbicara. Tak memikirkan bagaimana perasaan orang yang mendengarkannya. Begitulah Senja, selalu bersikap dingin kepada orang yang dianggapnya tidak penting.
Di luar dugaan. Bukannya marah, Fajar malah tersenyum dan berkata, "Kalau gua cedera karena kemauan lo. Gua rela."
"Dasar bego!"
Kepada seluruh peserta lomba agar segera memasuki lapangan.
"Gua udah dipanggil. Gua duluan ya. Ingat doain gua. Bye, Senja." Fajar melangkah menuju lapangan sembari melambaikan tangan ke arah Senja.
"Dasar anak aneh! Gak ngerti gua sama jalan pikirannya!" seru Senja.
Tiba-tiba Jingga datang mengejutkan Senja yang baru saja ingin melanjutkan bacanya.
Senja menghela napas panjang. "Untung aja gua belum baca. Kalau udah, kepala lo udah gua tabok," ujar gadis itu.
"Ya, maaf. Mana gua tau lo lagi baca. Habisnya orang sibuk di lapangan, lo malah di sini baca buku."
"Kan gua juga masih di area lapangan."
"Iya, iya. Terserah lo. Gua mau ke lapangan. Tim pro nih, jadi seru nontonnya." Jingga hanya mengiyakan perkataan Senja. Ia bisa menebak, apa pun yang didebatkan bersama dengan seorang Senja hanya akan berujung mengalah.
Senja kembali membaca bukunya yang berjudul “Hujan Bulan Juni”, sebuah novel karya Sapardi Djoko Damono. Namun, sesekali ia juga melirik ke arah lapangan ketika pertandingan sedang berlangsung.
Ketika para penonton sedang asik berteriak memberi semangat kepada tim yang sedang bertanding. Senja tak sengaja melihat beberapa spanduk yang berisikan tulisan "Semangat, Fajar!" membuatnya terheran-heran. Seistimewa itu Fajar di mata mereka. Bahkan, sedari awal pertandingan, ia hanya mendengar teriakan atas nama Fajar. Kenapa mereka sungguh tergila-gila dengan lelaki itu? Sedangkan dirinya selalu menolak mentah-mentah kehadiran Fajar.
Kini Senja mulai berpikir, dirinya yang aneh atau mungkin mereka yang aneh.
"Ah tidak! Mereka yang aneh. Cowok biasa gak jelas kayak gitu didamba-dambakan," ucap Senja kesal melihat seisi sekolah menyemangati Fajar seorang.
Tiba-tiba, ketika pertandingan sedang berlangsung, tak sengaja saat ia memalingkan pandangannya ke lapangan. Ia melihat sosok yang tak asing merintih kesakitan karena terkilir ketika sedang berlari merebut bola. Siapa lagi jika bukan Fajar.
Tim medis dengan kecepatan ekstra berlari menuju ke dalam lapangan untuk mengangkat Fajar keluar. Senja langsung menutup bukunya dan segera menuju keramaian.
Ia bersikap pura-pura gak tahu, padahal ia sudah melihat insiden itu terjadi di depan mata kepalanya sendiri.
"Kenapa? Kenapa?" tanya Senja.