Beberapa bulan ini, Senja lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah. Mulai dari Pemilihan Duta GenRe, Pekan Olahraga Siswa, hingga Lomba Cerdas Cermat Matematika. Hal ini membuat Senja sangat antusias mengikutinya, sehingga ia lupa untuk menjaga stamina tubuhnya.
Waktu telah menunjukkan jam enam lewat lima belas menit. Senja masih saja belum menampakkan dirinya. Apakah ia lupa bahwa hari ini adalah hari Senin?
Dewi yang sedang menyiapkan sarapan di dapur segera bergegas menaiki tangga menuju kamar Senja.
Dewi melihat Senja masih sedang tertidur di atas ranjang. Ia duduk di sebelahnya melihat sorot mata yang terlihat kelelahan. Ia mencoba untuk membangunkan Senja secara perlahan. Namun, ketika Dewi memegang keningnya, ia merasa suhu panas yang lumayan tinggi.
"Senja, bangun, Nak," ujar Dewi seraya mengelus kepala Senja.
Senja menyadari suara panggilan dari Dewi. Ia langsung terbangun dari tidurnya. "Eh, Mama. Udah jam berapa, Ma?"
"Enam lewat dua puluh, Nak."
Senja langsung bergegas dari baringnya. "Hah! Kok Mama gak bangunin Senja? Udah telat nih." Senja berjalan menuju lemari baju dan segera menuju kamar mandi.
"Senja, kamu benar mau sekolah?" tanya Dewi dengan raut wajah khawatirnya.
"Kenapa emangnya, Ma?"
"Coba deh kamu pegang dahimu. Kamu demam loh."
Senja langsung memegang dahinya dan benar memang panas yang dirasakannya. Senja memang sudah merasa tidak enak badan sedari semalam. Namun, ia hanya menganggap itu hal biasa. Senja tak pernah ingin absen sekolah jika ia masih sanggup untuk melangkah.
"Senja baik-baik aja, kok, Ma."
"Kamu yakin?"
"Senja yakin, Ma."
"Ya udah, Senja mandi dulu, ya. Sarapannya dijadiin bekal aja, Ma. Soalnya udah gak sempat lagi."
Dewi hanya mengangguk dan tersenyum kecil pertanda mengiyakan. Namun, di balik itu, ia sungguh mengkhawatirkan keadaan Senja yang suhu tubuhnya panas secara tiba-tiba.
Senja telah berpakaian rapi dengan menyandang tas ranselnya di bahu. Ia menghampiri Dewi di dapur yang sedang memasukkan sarapan ke dalam tempat bekal.
"Senja, wajah kamu pucat loh."
Senja tersenyum dan menjawab, "Senja enggak kenapa-napa, Mama. Lihat nih, Senja kuat, kan?" ujarnya sambil menekukkan lengan dengan maksud menunjukkan ototnya.
Lagi-lagi Dewi tidak bisa membantah keinginan Senja untuk pergi ke sekolah. Ia hanya membalasnya dengan sebuah senyuman dan anggukan.
"Minum dulu susunya," pinta Dewi seraya memberikan segelas susu yang sudah dibuatnya.
"Udah telat, Ma."
"Setengah aja gak apa-apa, yang penting perutnya ada isi."
Senja meraih segelas susu dari tangan Dewi dan segera meneguknya.
"Senja pergi dulu, ya, Ma." Pamitnya sembari mengecup kening Dewi.
"Iya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut."
Baru selangkah Senja berjalan, ia kembali membalikkan badan karena panggilan dari Dewi. "Kenapa lagi, Ma? Senja udah telat, nih."
Dewi menyodorkan sepetak tempat bekal tupperware berwarna biru muda. "Ini bekalnya jangan lupa."
"Oh, iya. Hampir aja ketinggalan." Senja membuka tas ransel dan segera memasuki bekalnya ke dalam tas.
"Senja pergi, Ma." Ia meraih kunci motornya di atas meja dan segera menuju garasi.
Senja melirik jam tangannya. Waktu menunjuk pada pukul tujuh kurang lima belas menit. Ia harus tiba di sekolah dalam waktu sepuluh menit. Bagaimana jika jalanan tiba-tiba macet? Dihukum oleh pak Anwar adalah momok mengerikan. Bisa keringat darah jika harus menuruti seluruh perintah darinya.
***
Senja tiba di sekolah tepat pada pukul tujuh kurang dua menit. Gerbang sekolah baru saja ingin ditutup oleh pak Badrul. Namun, melihat lambaian tangan dari Senja, ia segera membuka celah untuk membiarkan Senja masuk.
Senja meletakkan helm dan segera mengambil topi di dalam tasnya. Karena jarak kelas Senja lumayan jauh, ia memutuskan untuk menitipkan tasnya di pos penjagaan pak Badrul daripada ia harus berlari ke kelas dan akhirnya terlambat tiba di lapangan upacara.
Senja melihat seluruh siswa telah berbaris. Gadis itu berlari dengan kencang menuju barisan kelasnya di tengah lapangan. Untungnya kali ini ia selamat dari hukuman pak Anwar.
Napasnya terengah-engah ketika tiba di barisan.
"Molor tuh ingat waktu. Habis ketemu sama pangeran kodok?" sindir Jingga menyenggol lengannya. Namun, ia terkejut ketika melihat wajah Senja yang sangat pucat.
"Lo sakit?"
"Enggak, kecapekan lari aja."
Senja mengambil posisi di depan Jingga. Walaupun merasa sedikit pusing, Senja selalu saja memaksakan diri berlaku seakan-akan dirinya tidak merasa apa-apa.
Beberapa menit setelah upacara dimulai. Senja merasa kepalanya berputar-putar, pandangannya seketika menjadi hitam. Ia berusaha untuk menahan rasa sakit yang ada. Namun, seperti ada sesuatu yang terus menusuk-nusuk kepalanya.
"Ja, lo enggak apa-apa?"
Bruk!
Senja jatuh terbaring di badan Jingga. Gadis itu terkejut melihat Senja yang tiba-tiba pingsan. Ia langsung berteriak meminta pertolongan dari anak laki-laki.
"Woi! Bantuin! Senja pingsan, nih," pekik Jingga menepuk salah satu lelaki yang ada di sampingnya. Namun, ketika Fajar mendengar Senja pingsan, ia segera berlari dari depan dan menggendong Senja.
Fajar terlihat sangat panik memandang wajah Senja yang begitu pucat. Ia berusaha untuk membangunkan Senja, tetapi sia-sia. Walaupun telah menggunakan minyak angin, Senja masih saja tak bisa sadarkan diri.
Kinanti yang menyadari kejadian ini segera berjalan menuju barisan Senja. Ia juga terlihat sangat khawatir dengan keadaan gadis itu.
"Fajar, Senja kenapa bisa pingsan?"