Catatan Senja

Denesa Ekalista
Chapter #22

22 - Kehilangan Jingga

Ketika libur telah tiba, Senja selalu membayangkan perihal sebuah perjalanan yang menyenangkan. Namun, sayangnya kesibukan orang tuanya selalu membuat ia harus menetap di Kota Batam. Untung saja Jingga juga bernasib sama, sehingga Senja tidak merasa terlalu kesepian untuk menjalani hari-harinya,

Senja dan Jingga menghabiskan waktu liburannya di Batam. Entah itu menonton film, nongkrong di cafe, atau sekadar jalan-jalan keliling Batam. Padahal, Senja selalu membayangkan sebuah perjalanan mendaki gunung, snorkling, menikmati pantai sampai matahari terbenam, dan berbagai macam petualangan alam.

Senja lebih suka menjelajahi alam daripada gedung. Jikalau pun ia berlibur ke mall, gadis itu hanya akan menghabiskan waktu di toko buku dan menonton film. Tidak untuk mengelilingi mall tanpa tujuan. Senja lebih memilih untuk berada di kamarnya dibandingkan dengan keliling mall gak jelas.

***

Setelah liburan berakhir, mereka pun kembali memasuki sekolah di tahun ajaran yang baru. Kini, Senja dan teman-teman telah menapaki kelas dua belas. Masa di mana mereka akan lebih disibukkan dengan berbagai macam persiapan menuju Ujian Nasional. Entah itu, pelajaran tambahan, bimbel, try out, dan sebagainya, mereka akan benar-benar sibuk sepanjang tahun ini.

Siswa kelas dua belas hanya diperkenankan mengikuti kegiatan OSIS, ekstrakurikuler, dan sebagainya sampai pada akhir semester lima. Setelah itu, mereka tak boleh berikatan dengan kegiatan apa pun. Mereka diminta untuk fokus dengan segala persiapan Ujian Nasional.

SMA Negeri 1 Batam memiliki keharusan merombak isi kelas setiap tahunnya. Jadi, setiap pergantian tahun ajaran, mereka akan disusun dan diacak kembali orang-orangnya.

Senja tak pernah berharap sekelas dengan siapa pun selain Jingga. Namun, ketika Senja melihat kertas nama-nama, ia tak melihat ada Jingga di kertas itu, justru keinginan yang tak pernah terlintas di benak Senja untuk sekelas dengan Fajar malah selalu dipersatukan. Ternyata, kali ini ia harus dipisahkan dari Jingga setelah sekelas bertahun-tahun sejak SMP.

***

Semenjak tidak sekelas dengan Jingga, Senja merasa Jingga berubah drastis. Ia bisa dengan mudahnya beradaptasi dengan teman barunya dan melupakan Senja. Walau tak jarang Jingga selalu mengatakan bahwa ia selalu melihat Senja dari jauh. Namun, apalah arti sebuah perhatian jika tak sampai pada orangnya.

Semenjak itu juga, Senja enggan ingin menceritakan hal apa pun dengan Jingga. Kadangkala mungkin ada, tapi hanya sesekali ketika tidak sengaja semesta kembali mempertemukan dua raga di satu ruang yang sama. Gadis itu tampak baik-baik saja tanpa adanya Senja. Memang semudah itukah melupakan teman lama jika sudah ada baru yang lebih istimewa?

Senja mencoba mengalah untuk menyapa dan memulai pembicaraan terlebih dahulu. Walau jarak kelas Jingga hanya bersebelahan dengan kelas Senja, ia tak pernah lagi menemui Senja walau hanya untuk sekadar menyapa.

"Jingga," panggil Senja sembari berjalan mendekati Jingga yang kebetulan sedang ada di depan pintu kelasnya.

"Iya, kenapa?"

"Lo sibuk hari ini?"

Jingga memegang dagunya layaknya orang yang sedang berpikir keras mencari waktu luang. Padahal Senja sangat paham tidak ada kesibukan yang menimpa hari-hari Jingga selain jadwal latihan basket. Selain itu, ia akan lebih senang berada di rumah teman dikarenakan orang tuanya yang selalu pulang larut malam. "Gak tahu, nih. Emangnya kenapa?"

"Enggak, sih. Kalau lo gak sibuk gua mau ngajak ke Ombak Bar. Gua yang traktir, deh," ujar Senja sembari menaikkan alis sebelah kanannya.

Tak lama setelah itu, terdengar suara yang tidak asing menghampiri Jingga, tak lain dan tak bukan itu bersumber dari Bella, teman barunya Jingga. "Jingga, entar sore pulang sekolah jangan lupa, ya," ujar Bella seraya merangkul Jingga.

"Oh, oke, siap," balas Jingga sambil merangkul balik Bella.

Setelah itu Bella kembali masuk ke kelas. Senja seperti baru saja menikmati keindahan bagi mereka yang menusuk-nusuk tajam jiwa-raga Senja. Baginya, kehilangan seorang sahabat jauh lebih menyakitkan daripada diputuskan cinta oleh pacar.

"Sorry, Ja. Gua lupa, udah ada janji sama Bella. Mungkin next time, ya," ujar Jingga menolak ajakan Senja tadi. Padahal biasanya, Jingga tak pernah menolak yang namanya traktiran. Namun kali ini, Senja sudah benar-benar berubah.

"Oke, gua balik ke kelas dulu." Senja kembali ke kelas tanpa berkata apa-apa. Ia ingin segera membenamkan wajahnya di meja. Ada banyak bulir yang sedang tertahan untuk mengalir dari pelupuk mata. Senja memang serapuh itu menghadapi yang namanya kehilangan.

"Kemarin, kehilangan impian. Hari ini, kehilangan sahabat. Besok, gua harus kehilangan apa lagi?" ujar Senja pelan sembari mengeluarkan air matanya. Ia tak bisa lagi menahan bulir yang sudah tertahan sejak pertama ia mengetahui Jingga telah berubah.

Fajar yang baru saja memasuki kelas dan mendengar suara tangisan yang bersumber dari Senja, ia pun segera menghampiri gadis itu. Iya, Fajar kembali dipersatukan dengan Senja di satu kelas yang sama.

"Hei, are you okay?" ujar Fajar ikut membaringkan kepalanya di meja menghadap ke arah Senja.

Senja sudah menyadari keberadaan suara yang bersumber dari seorang lelaki yang sering dianggap Senja tidak jelas itu, siapa lagi jika bukan Fajar.

Senja hanya diam tak menjawab, ia masih terisak-isak menangis tanpa memedulikan seisi kelasnya akan bertanya mengapa ia menangis.

Fajar mencoba untuk menenangkan dan membangunkan Senja dari tangisnya. "Nih, dihapus dulu air matanya," ujarnya sembari menyodorkan tisu untuk Senja.

Senja memilih untuk mengalah, ia menaikkan kepalanya, mengambil tisu dan segera menghapus air matanya. Sesekali Fajar juga membantu menghapus air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya.

Senja melirik ke arah Fajar yang duduk di sampingnya. "Makasih."

"Jangan nangis lagi," ucap Fajar sembari mengusap air matanya. Entah apa yang membuat Senja tidak menolak ketika tangan Fajar menyentuh pipinya.

"Iya," jawab Senja singkat.

"Lo gak mau cerita apa-apa?" tanya Fajar menatap Senja. Kini mereka saling menatap. Fajar bisa melihat kerapuhan di balik sorot matanya walau ia tak mengetahui permasalahan apa yang membuatnya menangis.

"Enggak."

"It's okay, no problem. Entar kalau berubah pikiran mau cerita, gua akan setia mendengarkan." Fajar merasakan kehangatan yang jarang sekali didapatkannya dari Senja. Bahkan, Senja tak pernah bersikap sehangat ini sebelumnya.

"Makasih."

Fajar mengangguk dan tersenyum. "Kantin, yuk."

Senja menggeleng pertanda menolak.

"Kalau perpustakaan?"

Gadis itu kini menganggukkan kepalanya dan segera beranjak menuju ke perpustakaan. Di saat seperti ini, ia mengerti hanya kesunyian dan buku yang bisa sedikit menghiburnya. Setidaknya, bisa menjadi obat yang meredamkan lukanya.

Fajar membiarkan Senja tenggelam dalam buku bacaannya. Ia lega bisa melihat Senja tersenyum walau masih ada luka yang tersimpan di balik matanya.

“Biasa kalau lo lagi sedih, apa yang bisa bikin lo cepat pulih?” tanya Senja.

Fajar terkejut mendengar pertanyaan Senja, ia bahkan tak pernah mendengar Senja melontarkan pertanyaan kepadanya. “Gua?”

“Nenek moyang lo,” cetus Senja sembari memukul Fajar.

“Biasanya gua main gitar atau ngelakuin yang gua suka mungkin.”

“Seperti?”

“Nonton atau baca buku, tetapi gak secandu lo juga sih,” jawab Fajar menutup buku bacaan Senja.

“Ngapain lo tutup bego! Halamannya jadi hilang,” ucap Senja sambil menjitakkan kepala Fajar.

“Lo suka baca buku juga?” lanjut Senja.

“Iya, tapi gak secandu lo.”

“Biarin!”

“Kalau lo?”

“Baca buku, nulis, atau menikmati alam, mungkin,” jawab Senja sembari memandang ke langit-langit perpustakaan. Lalu, ia meletakkan kepalanya di atas meja. “Menurut lo, kehilangan itu apa sih?”

“Kehilangan itu adalah pintu untuk kita menyambut orang yang baru. Gua tau sih, emang enggak mudah, but life will never stop even when you lose someone.”

Lihat selengkapnya