Semenjak Jingga tak lagi muncul di kehidupan Senja. Ia tidak pernah lagi memikirkan sebuah hari Minggu berdua bersama Jingga. Namun di balik itu, ada Kinanti yang senantiasa mengisi ruang kosongnya. Entah apa yang membuat mereka bisa sedekat itu. Namun, Senja merasa nyaman saat berada di sisi Kinanti. Ia bisa menceritakan segala rasa yang sedang menggeluti dirinya tanpa ada sekat yang bernama rahasia.
Sejak saat itu, Senja lebih sering menghabiskan waktu bersama Kinanti. Hari ini, entah apa yang membuat Kinanti mengunjungi rumah Senja pagi-pagi buta. Senja masih terlelap dan ketika ia tersadar dari tidurnya, ia terkejut melihat keberadaan Kinanti di samping ranjangnya.
"Buwet, kok di sini?" tanya Senja. Ia terheran-heran melihat keberadaan Kinanti. Padahal biasanya Kinanti akan menghubunginya terlebih dahulu jika ingin datang ke rumah atau mengajak keluar.
"Emangnya gak boleh?"
"Bukan gitu, sih. Cuma tiba-tiba aja," jawab Senja sembari menggarukkan kepalanya yang tidak gatal.
"Buruan mandi sekarang," ujar Kinanti sambil menarik Senja untuk beranjak dari kasurnya.
"Emangnya mau ke mana, Buwet? Ini masih pagi banget."
"Udah, mandi dulu. Nanti kamu tahu sendiri. Buruan, Sot!" seru Kinanti memaksa Senja untuk segera mandi.
Senja yang merasa kebingungan pun menuruti kemauan Kinanti. "Iya, iya. Ini otw mandi." Senja melangkah membuka lemari dan segera menuju kamar mandi.
"Pakai baju yang bagus," teriak Kinanti.
Kinanti tahu bahwa Senja membutuhkan waktu yang lama untuk bertapa di kamar mandi. Ia segera meraih ponselnya dan segera menelepon seseorang.
Kinanti bergegas turun menghampiri Dewi di dapur. Sebelumnya, Kinanti telah menceritakan segalanya kepada Dewi dan Dewi mengizinkannya. Tak lama setelah itu, terlihat mobil berwarna putih berhenti di depan rumah Senja. Dewi baru saja ingin melangkah membuka pintu, Kinanti sudah lebih dulu menawarkan diri agar ia yang membukanya.
Kinanti berjalan menuju dapur bersama sosok seorang lelaki yang pasti sudah dikenal oleh Dewi.
"Eh, Nak Fajar," ujar Dewi yang melihat Fajar melangkah mendekatinya.
Fajar mengacungkan jari telunjuknya ke arah wajahnya pertanda meminta Dewi untuk berjaga-jaga agar tidak ketahuan Senja.
Dewi mengangguk, ia mengerti maksud dari ekspresi Fajar.
Fajar mencium pundak tangannya Dewi. "Nte, Fajar izin bawa Senja, ya. Maaf gak berani ke sini lama-lama, Fajar takut ketahuan Senja. Jadi, minta bantuannya bu Kinanti. Fajar udah booking semuanya, nanti mungkin pulangnya agak malam, ya, Nte, soalnya trip-nya seharian."
Dewi tersenyum dan mengangguk, ia sangat menghargai maksud dari Fajar yang ingin membawa Senja refreshing karena sudah beberapa hari ini ia selalu murung di dalam kamar. "Oke, Tante titip Senja, ya. Ajak aja gak apa-apa, dia udah lama banget gak jalan-jalan, soalnya papanya sibuk terus."
Fajar memberi hormat, lalu berkata, "Siap laksanakan, Calon mama mertua."
Dewi terkekeh-kekeh mendengar panggilan Fajar barusan sembari mengacak-ngacak pelan rambut Fajar. "Ada-ada saja kamu."
Tak lama setelah itu, terdengar suara teriakan Senja dari atas. "Ma, Buwet."
Dewi segera meminta Fajar untuk bersembunyi di belakang sebelum Senja mengetahui keberadaannya. Suaranya semakin mendekat, Fajar pun segera menyembunyikan dirinya.
Senja melihat sebuah mobil yang terparkir di depan rumahnya, apa mungkin papanya pulang secepat ini?
"Ma, tadi Senja dengar Mama bicara sama siapa?"
"Gak ada siapa-siapa, kok. Ini dari tadi bicara sama Buwet," jawab Dewi dengan mengenakan celemek khas dapurnya yang berwarna merah muda.
"Itu mobil siapa di depan?"
Dewi menaikkan bahunya. "Tetangga mungkin."
"Udah mandinya? Naik lagi, yuk," sahut Kinanti sambil mendorong Senja menjauhi dapur.
Setelah Senja kembali ke kamar, Fajar segera bergegas meninggalkan rumah dan menunggu di tempat yang sudah direncanakan.
"Buwet, kita mau ke mana sih?"
"Jalan-jalan, refreshing. Daripada kamu murung mulu di rumah."
"Ke mana?"
"Udah, ikut aja. Nanti kamu juga tahu," ujar Kinanti sembari mengambil tas ransel Senja dan memasukkan beberapa perlengkapannya.
"Itu ngapain kok bawa baju sama celana?" tanya Senja bingung.
Kinanti hanya diam tak menjawab dan tertawa kecil melihat gadis itu penasaran.
"Jaketmu jangan lupa dibawa, Sot," ujar Kinanti.
Senja melangkah menuju belakang pintu dan meraih jaket jeansnya. "Udah, nih. Apa lagi? Udah kayak orang mau piknik aja."
Kinanti melirik sekeliling kamar Senja, memastikan tidak ada perlengkapan yang tertinggal. "Oke, sudah ready. Let's go."
"Senja izin ke mama dulu."
"Buwet udah bilang ke mama, kok, tenang aja."
Lagi dan lagi Senja menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kok Buwet aneh hari ini, mendadak banget. Biasa juga slow-slow aja."
Kinanti menjawab seraya cengengesan. "Sesekali jadi beda boleh, kan?"
Senja kini mengalah, berdebat dengan Kinanti memang tak akan ada ujungnya. Mereka turun menuju dapur dan berpamitan dengan Dewi.
"Ma, Senja pergi sama Buwet," ujarnya sembari mencium pundak tangannya Dewi.
"Bu, Senja pergi sama saya, ya."
Dewi mengangguk dan tersenyum, sesekali ia juga tertawa kecil melihat wajah Senja yang kebingungan. "Hati-hati, ya."
Kinanti dan Senja berjalan keluar rumah. Senja melihat tak ada hal yang mencurigakan di sekitarnya. Ia terus bertanya-tanya dalam hati ke mana Kinanti akan membawanya.
Mereka berhenti tepat di Taman Gajah Mada. Senja yang celingak-celinguk merasa ada sesuatu aneh yang sedang dirahasiakan Kinanti.
"Buwet, kok berhenti di sini?"
Kinanti tak menjawab pertanyaan Senja, ia menarik tangan Senja melangkah menuju sebuah mobil putih yang berada di dekat sana.
Senja memandang sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari sana. "Kayaknya gua pernah lihat mobil itu," gumam Senja dalam hati.
Kinanti dan Senja berhenti tepat di depan mobil putih itu. Ketika Senja baru saja ingin mengeluarkan suara, ia terbungkam melihat sosok seorang lelaki tampan mengenakan celana panjang hitam dan baju kaos putih polos yang dilapisi dengan jaket bomber berwarna hitam serta dipadani dengan sepatu sport berwarna putih. Siapa lagi jika bukan Fajar, cowok yang selalu dianggap tidak jelas oleh Senja.
"Hai, Senja," sapa Fajar mendekati Senja.
"Buwet, kok ada dia?" tanya Senja heran.
Kinanti hanya tertawa tak menjawab.
Senja memukul kecil lengan Kinanti. "Buwet ngerjain Senja, ya."
"Enggak, kok. Kan Buwet bilang tadi mau jalan-jalan."
"Terus kenapa ada dia?" Senja menunjuk ke arah Fajar yang berdiri tak jauh darinya.
"Ya, jalannya sama Fajar."
"Gak mau, ah!" seru Senja menolak.
Kinanti membuka pintu mobil Fajar dan segera menyuruh Senja untuk masuk. "Udah, ikut aja."
"Gak mau! Entar Senja dicuri, gimana?"
"Emangnya Fajar bandar organ tubuh?" ledek Kinanti sembari menarik tangan Senja untuk segera masuk ke dalam mobil.
"Kalau gitu, Buwet ikut juga!" pinta Senja memaksa.
"Enggak bisa dong, tiketnya hanya untuk berdua."
"Emang mau ke mana sih?" Senja melirik tajam ke arah Fajar.
"Nanti kamu juga tahu, ikut aja," ujar Kinanti menutup pintu ketika Senja sudah masuk ke dalam mobil.
"Fajar, Ibu titip Senja, ya. Ingat! Jangan macam-macam!"
Fajar memberi hormat layaknya orang yang sedang upacara. "Siap laksanakan, Buk Bos." Senja menyalami Kinanti dan segera masuk ke dalam mobilnya.
Setelah keduanya sudah berada di dalam mobil, Kinanti berbisik ke Senja dari balik jendela. "Have a nice holiday, My Sot! Bye bye." Kinanti berjalan mundur dan melambaikan tangannya kepada Senja.