Catatan Senja

Denesa Ekalista
Chapter #28

28 - Nyaman

Senja sedang menikmati hidangan makan siang bersama Dewi dan Latif di ruang makannya. Senja berniat untuk membicarakan perihal perguruan tingginya karena ia sudah berada di ambang akhir. Tak lama lagi sekolah akan mendata siswa SNMPTN dan ia harus memilihnya.

Belum sempat ia memulai percakapannya, Latif sudah lebih dulu bertanya.

"Senja, kapan kamu bisa mendaftar di Politeknik Negeri Batam? Nanti kamu ambil Akuntansi aja, ya."

"Pa, Senja gak mau di politeknik. Senja udah bilang sejak lama kalau mau masuk di perguruan tinggi negeri."

"Gak usah, jauh. Ambil yang dekat-dekat aja."

"Senja gak mau!" serunya dengan nada yang sedikit meninggi.

"Sejak kapan kamu berani melawan Papa?"

"Sejak Papa berhasil mematahkan seluruh impian Senja!" jawabnya lancang. Senja tak pernah semarah ini sebelumnya, ia selalu menuruti kemauan orang tuanya, tapi tidak kali ini.

Latif dan Dewi terdiam tak menyangka.

"Pa, Senja bukan lagi anak kecil yang harus ikutin semua kemauan Papa. Senja yang sekolah! Senja yang jalanin! Kenapa harus Papa yang nentuin? Senja juga pengen kayak anak-anak lain yang dibebaskan memilih."

"Kamu gak berhak ngomong kayak gitu ke orang tua, Senja!"

"Papa juga gak berhak nentuin impian Senja!"

Amarah Senja meledak saat itu, air matanya mengalir membasahi wajahnya tanpa ia sadari.

"Pa, Senja cuma minta restu aja. Susah banget, ya, Papa ngasihnya? Belum cukup Papa buat Senja rapuh saat itu? Sekarang? Papa mau lakuin itu lagi?"

"Papa cuma gak mau jauh dari kamu."

"Gak mau jauh Papa bilang? Selama ini ada Papa di dekat aku? Papa enggak pernah ngertiin maunya Senja. Senja gak pernah mau melawan kayak gini, Pa. Tapi, Senja capek, Pa. Capek diginiin terus."

Latif mengusap air mata di pipi Senja, ia menyentuh lembut wajahnya. "Kamu harus ngerti kenapa Papa lakuin ini semua, Nak." Matanya berlinang menahan air mata.

"Papa mau Senja ngertiin, tapi gak pernah sekali pun Papa ngertiin Senja. Selama ini, kalau Senja nangis, cuma Mama yang ada untuk Senja. Mama yang menenangkan Senja. Papa ke mana?"

Latif menunduk mendengar ucapan Senja barusan. Ia menyadari bahwa ia memang jarang bercengkerama dengan putrinya.

Senja menghempaskan sendok dan kursi yang ada di tangannya saat itu. Ia beranjak dari kursi dan bergegas masuk ke kamarnya dengan linangan air mata yang membasahi wajahnya.

Ia meraih kunci motor yang ada di atas mejanya dan berlari meninggalkan rumah.

Senja menghidupkan motornya dan pergi meninggalkan Dewi dan Latif yang masih sedang duduk di dapur. Gadis itu berhenti di depan rumah yang didominasi oleh warna hijau. Rumah itu ialah rumah Kinanti.

Senja mengetuk pintu berkali-kali. Ketika Kinanti membukakan pintunya, Senja langsung memeluk erat Kinanti yang masih mengenakan celemek di tubuh depannya dan menumpahkan air mata dalam dekapannya.

Kinanti terkejut melihat keberadaan Senja yang datang secara tiba-tiba ditambah dengan keadaannya yang menangis terisak-isak.

"Sot, kamu kenapa? Masuk dulu, yuk," ajak Kinanti sembari membawa Senja ke ruang tamunya.

Senja masih menangis tak henti-henti. Kinanti sengaja membiarkan gadis itu menangis sampai dengan ia tenang dengan sendirinya.

Kinanti meraih ponselnya di atas meja, ia segera mengirim pesan kepada Dewi. Ia tahu, Senja pergi begitu saja dari rumah tanpa berkata ingin ke mana. Ia hanya tidak ingin orang tuanya khawatir di rumah.

Kinanti mengelus-ngelus kepala Senja yang sedang terbaring di paha Kinanti. Beberapa waktu setelah itu, Senja tampak lebih tenang daripada sebelumnya. Tangisnya sudah mereda, hanya matanya saja yang masih memerah.

"Udah nangisnya?" tanya Kinanti sambil mengelus lembut rambutnya.

"Udah mau cerita?" lanjut Kinanti.

Kinanti meraih segelas air yang diletakkannya di atas meja. "Nih, diminum dulu," ujarnya sembari menyerahkan segelas air kepada Senja.

Senja bangun dari baringnya, ia meneguk segelas air itu sampai habis. Gadis itu menatap Kinanti lekat.

"Buwet...."

"Kenapa? Papa lagi?"

Senja mengangguk, ia tahu Kinanti sangat mengerti setiap deret dukanya. Tak pernah sedetik pun Senja lewatkan untuk bercerita kepada Kinanti. Baginya, hanya dengan Kinantilah ia bisa bercerita tanpa harus ada sekat yang dinamakan rahasia.

"Kok tahu?"

Kinanti tersenyum, ia menarik Senja untuk mendekatkan diri dengannya. Senja bersandar di bahu Kinanti. Ia menceritakan segala hal yang baru saja terjadi di rumahnya.

"Sot, Buwet tahu kamu marah, tapi jangan biarkan amarah menguasai dirimu."

"Sot capek harus berhadapan dengan hal yang sama, hal yang bisa membuat Sot terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam."

Kinanti tersenyum, "Buwet tau, tapi di balik itu kamu harus percaya bahwa Tuhan sudah menyiapkan kejutan indah di depan sana. Tugasmu hanya berdoa, berusaha, dan sabar."

"Sampai kapan Sot harus sabar? Selama ini Sot udah terlalu sabar."

"Lepaskan apa yang seharusnya dilepaskan. Bukankah yang lebih baik akan datang setelah kita belajar dari kata merelakan?"

"Harus merelakan untuk yang ke sekian kali, Buwet?"

Kinanti mengangguk pelan, ia mengerti apa yang sedang dirasakan gadis itu.

"Sini peluk Buwet." Kinanti membuka lebar tangannya dan memeluk gadis itu dalam dekapnya. "Tidak ada orang tua yang enggak sayang sama anaknya, termasuk papa. Asal kita mau lebih membuka hati, membuka diri, menerima apa yang seharusnya kita jalani."

"Buwet tahu apa yang kamu rasakan. Buwet gak bermaksud membela papa, tapi justru karena Buwet sayang sama kamu. Buwet gak mau kamu terus-terusan sedih menerima kenyataan. Kenyataan itu harus dijalani bukan dihindari. Buwet tahu, anak Buwet kuat," lanjutnya.

"Tapi, Buwet—"

"Kata tapi tidak akan berbuah jawaban, Sayang."

"Terus, Sot harus gimana?"

"Hadapin! Sot anak yang kuat, kan? Bukankah luka lama selalu memberi kita pelajaran sebagai modal untuk melangkah ke depan?"

Gadis itu tersentak mendengar ucapan Kinanti. Ia merasa bersalah telah berperilaku keterlaluan dengan Latif tadi. "Iya, Buwet," jawab Senja sambil menundukkan kepalanya.

"Satu hal yang harus Sot pegang erat-erat. Kita hidup di dunia enggak pernah sendiri, sekali pun tak ada manusia yang berada di dekat kita, tapi Tuhan tak pernah meninggalkan anak-anak-Nya."

"Iya, Buwet. Maafin, Sot."

"Jangan minta maaf sama Buwet. Pulang, gih. Minta maaf sama papa-mama. Pasti kabur dari rumah, kan?"

"Senja di sini dulu boleh, ya, Buwet? Nanti Senja pasti pulang, janji," ujarnya sembari mengacungkan jari kelingking.

Kinanti mengangguk dan tersenyum. "Iya, iya. Janji gak kabur-kaburan lagi, ya? Kasihan loh mama sama papa khawatir di rumah," ucap Kinanti sambil mengacak-acak rambut Senja.

"Buwet, makasih, ya, selalu ada buat Senja. Selalu mendengarkan semua keluh kesah Senja. Jangan bosan, ya. Walaupun Senja bukan anak kandung Buwet, tapi Senja nyaman setiap cerita sama Buwet."

Kinanti memegang wajah Senja. "Kamu tetap anak Buwet. Apa pun itu, janji selalu cerita sama Buwet, ya." Ia membawa Senja pada dekapnya.

"Udah, jangan nangis lagi, ya. Keep smile, dong. Ingat! Senyum adalah lengkung yang bisa meluruskan banyak hal," ujar Kinanti sambil menarik bibir Senja membentuk lengkungan.

Senja kembali memeluk Kinanti, "Senja sayang Buwet."

***

Tiba-tiba, terdengar suara klakson mobil yang dilanjutkan dengan bunyi ketukan pintu.

Lihat selengkapnya