Catatan Senja

Denesa Ekalista
Chapter #31

31 - Haruskah Aku Kehilangan?

"Senja, Papa bangga sama kamu bisa lolos di UGM."

"Papa sudah mengizinkan Senja, Pa?"

"Iya, Nak. Maafin Papa, ya, udah ngekang kamu selama ini. Sekarang kamu bebas berjalan di jalan yang sudah kamu pilih."

Senja memeluk papanya dengan begitu erat. "Makasih, ya, Pa."

Seketika Senja tersentak dari tidurnya. Bukan papanya yang dipeluk malah bantal guling. Tawanya di alam mimpi seketika berubah menjadi kemurungan saat ia menyadari bahwa semua itu hanyalah mimpi.

Senja terlalu asyik menikmati alam mimpinya. Dunia mimpi mengajaknya mengembara dengan indah sehingga ia ingin berlama-lama berada di sana, sampai-sampai ia lupa bahwa hari ini masih harus pergi ke sekolah. Sebenarnya tidak ada lagi kegiatan belajar mengajar untuk siswa kelas XII, mereka hanya tinggal menunggu waktu pengumuman kelulusan. Namun, hari ini seluruh kelas XII diwajibkan untuk hadir karena suatu hal.

Senja terkejut menyadari keberadaan Latif di kamarnya. Bagaimana bisa ia membangunkannya hari ini? Bahkan, hal ini sudah lama tidak pernah terjadi.

"Kamu mimpi apaan, sih? Sampai Papa bangun berkali-kali gak dengar. Ketemu pangeran ganteng, ya?" tanya Latif meledek.

"Iya, maaf, Pa. Senja gak dengar, hehe."

"Mandi, gih. Nanti sarapan bareng. Papa tunggu di bawah, ya, sama mama," ujar Latif sambil mengelus ubun-ubun kepala Senja.

"Siap laksanakan, Pak Bos," jawab Senja sambil beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.

Senja masih bertanya-tanya saat berada di kamar mandi. Bagaimana bisa Latif membangunkannya hari ini dan mengajak sarapan bersama? Bukankah, biasanya dia sudah harus berangkat ke kantor sebelum matanya terbuka lebar memandang dunia.

"Papa kesambet hantu atau gimana, ya? Sungguh sulit dipercaya. Aneh bin nyata," gumamnya dalam hati.

***

Dewi dan Latif sudah duduk di meja makan saat Senja baru saja tiba di dapur.

"Pagi, Ma, Pa."

Sapaan dari Senja tak mendapatkan balasan apa-apa dari mereka berdua.

"Ada apa, nih? Kok tegang amat, sih?" Senja kebingungan melihat raut wajah Dewi dan Latif yang seketika datar dan tegang.

"Duduk sini, Mama udah siapin sarapan buat kamu," ujar Dewi seraya membawa sepiring roti dan segelas susu ke hadapan Senja.

Senja meraih roti dan susu dari Dewi, "Makasih, Ma."

Dewi hanya mengangguk dan tersenyum tanpa menjawab apa-apa.

Senja melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.15 WIB. Kenapa ia dibangunkan begitu cepat? Seharusnya ia masih punga waktu tiga puluh menit untuk menikmati mimpinya. "Kok cepat banget bangunin Senja? Padahal lagi enak-enak loh mimpinya. Jadinya terjeda, deh."

Latif tertawa kecil mendengar penuturan Senja barusan. "Emangnya kamu mimpiin apa sih?"

Senja terdiam sejenak. Ia tidak mungkin menceritakan perihal mimpinya kepada Latif atau itu akan mendinginkan suasana pagi hari ini.

Senja tertawa dan menggarukkan kepalanya yang tidak gatal. "Hehe, udah lupa, deh."

Senja menggigit roti yang dilapisi oleh selai coklat dan meneguk segelas susu yang diperuntukkan untuknya.

"Senja." Panggilan Latif yang menyapa Senja secara tiba-tiba membuatnya tersedak ketika mengunyah roti yang ada di mulutnya.

Uhuk, uhuk.

"Ih, Papa ngagetin Senja, deh," ujar Senja sambil meneguk segelas air mineral.

"Hehe, maaf, maaf."

"Kenapa, Pa?"

Latif terdiam beberapa saat, seperti ada sesuatu yang menahan dirinya untuk berbicara.

"Oh, iya, Pa. Kok tumben hari ini belum berangkat ke kantor? Biasanya Papa selalu jadi orang sibuk. Senja bangun batang hidungnya udah gak kelihatan."

"Papa izin telat hari ini," jawabnya gugup.

"Kenapa?"

Latif mencubit pelan pipi Senja. "Supaya bisa sarapan dan antar kamu ke sekolah. Semalam kan kamu bilang harus ke sekolah."

Senja terheran-heran mendengar ucapan Latif barusan. "Kok tumben, Pa? Papa gak lagi kesambet hantu, kan?"

"Ya, enggaklah. Iya kali Papa masih bisa duduk normal di sini kalau kesambet hantu."

Senja tertawa mendengar jawaban dari Latif. Namun, ia masih terheran-heran, apa maksud dari perlakuannya hari ini?

"Senja," panggil Latif untuk yang kedua kalinya.

"Kenapa, Pa?"

Dewi hanya diam tak berbicara, ia menyaksikan perbincangan dingin di antara seorang ayah dan anaknya. Ia hanya berharap, semoga perbincangan dingin pagi hari ini bisa berujung menghangatkan untuk putrinya.

"Papa sadar, selama ini Papa terlalu takut untuk kehilangan kamu, sampai-sampai Papa jadi orang yang berhasil mematahkan mimpi-mimpi kamu. Senja, kamu harus tahu. Kamu anak Papa satu-satunya, gak pernah sedetik pun Papa jedakan rasa sayang dan cinta Papa untuk kamu. Papa juga gak pernah berniat untuk mengekang apa maunya kamu. Papa minta maaf kalau kamu gak nyaman dengan cara Papa yang seperti itu," jelas Latif dengan raut wajah datarnya.

Lihat selengkapnya