Fajar sampai di depan rumah Senja. Lelaki itu masih menunggu Senja yang mungkin masih sedang sibuk berdandan. Perempuan memang selalu rempong berhadapan dengan yang namanya gaun dan make up, terlebih lagi Senja jarang menggunakan semua itu.
Fajar mengenakan kemeja putih polos dilapisi dengan jas yang berwarna biru navy. Lelaki itu membunyikan klakson beberapa kali mengisyaratkan bahwa ia sudah sampai. Salah satu alasannya tidak ingin masuk karena harus membuka sepatu pantofelnya, tidak seperti biasanya yang hanya menggunakan sendal Fipper saja.
Tak lama setelah itu, Senja berjalan perlahan mendekati pintu. Fajar yang menyadari hal itu segera keluar dari mobilnya. Tatapannya terfokus melihat Senja yang berpenampilan beda. Ia mengenakan kebaya berwarna biru muda serta sepatu high heels berwarna putih. Senja terlihat sangat cantik sampai-sampai membuat mata Fajar tidak berkedip menatapnya.
“Woi, ngapain bengong?” ujar Senja sembari melambaikan tangannya di depan wajah Fajar.
“Gak usah mandangin gua kayak gitu juga kali,” lanjut Senja yang sedang berdiri di hadapan Fajar.
“Buset! Lo oplas, Beb?”
“Bab beb bab beb.”
“Sejak kapan lo manggil gua beb?” Lanjut Senja.
“Sejak barusan, setelah gua menyadari lo oplas,” jawab Fajar menggeleng-gelengkan kepalanya, takjub melihat kecantikan Senja.
Senja menampar pelan pipi Fajar. “Gua gak oplas, kampret!”
“Emangnya lo kira gua kayak artis-artis Korea yang doyan oplas?” Tambah gadis itu.
Fajar kembali menatap Senja dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dan dilanjutkan dengan gelengan kepala tidak menyangka sembari memukul pipinya. “Gua gak lagi mimpi, kan?”
Senja melihat penampilannya dan mencubit kuat pipi Fajar. “Aw! Sakit!.” Lelaki itu merintih kesakitan.
“Emangnya penampilan gua aneh, ya?” tanya Senja heran.
“Enggak, sih. Cuma beda banget gitu.”
Senja melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 07.25 WIB. “Buruan, Jar!” seru Senja sambil memukul pundak Fajar.
Fajar segera berjalan cepat menuju pintu mobil sebelah kiri dan membukakan pintu untuk Senja. “Silahkan, Tuan Putri Senja.”
Senja hanya tertawa melihat perlakuan Fajar yang menurutnya sedikit berlebihan. Senja bukan gadis yang suka berdandan, apalagi menggunakan gaun yang meribetkan langkahnya. Kesehariannya hanya mengenakan celana, baju kaos, serta bedak baby jika ingin keluar.
Fajar melirik ke arah Senja yang sedang sibuk membetulkan tali sepatunya. “Lo bangun jam berapa?”
“Jam empat subuh. Gila! Gua benci banget dibuat jadi boneka kayak gini.”
“Ribet amat jadi cewek!” gerutu Senja.
“Cowok kan gampang, pakai celana sama kemeja terus ditambah jas. Udah, itu aja cukup. Lah, kalau cewek?” lanjut gadis itu berceloteh.
Fajar hanya tersenyum melihat Senja berceloteh. “Kenapa lo senyum-senyum?” tanya Senja heran.
“Habisnya lo cantik kalau lagi ngomel kayak gitu. Lagian, sih, lo ngomelnya gak masuk akal. Emangnya bisa kita milih mau terlahir jadi cewek atau cowok?”
“Hmm ... iya juga, sih,” jawab Senja membenarkan argumen Fajar barusan.
“Gua bersyukur lo terlahir sebagai cewek. Jadi, gua bisa percaya kalau bidadari di dunia itu nyata. Lo cewek pertama yang buat gua percaya akan hal itu.”
“Nyokap lo? Mantan lo?”
Fajar terdiam sejenak mendengar pertanyaan Senja. “Oh, iya. Nanti nyokap atau bokap lo yang pergi?” elak Fajar.
“Gak usah ngelak!”
“Gua gak pernah lihat nyokap kandung gua dan masalah mantan tolong jangan diungkit lagi,” jawab Fajar dengan nada yang rendah dan raut wajahnya yang tiba-tiba mendatar.
“Sorry ... gua gak bermaksud apa-apa.”
“Santuy aja.”
***
Mereka telah tiba di sekolah, partiran sudah dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan, pastinya sudah banyak siswa dan orang tua yang datang. Setelah memarkirkan mobil, Fajar dan Senja berjalan bergandengan menuju aula, tempat berlangsungnya acara.
Setiba mereka di depan aula, Fajar melihat Bara yang sedang celingak-celinguk seperti mencari keberadaan seseorang.