Catatan Senja

Denesa Ekalista
Chapter #36

36 - Sepucuk Surat untuk Senja

Waktu Senja di Batam hanya tinggal seminggu lagi. Minggu depan, ia harus berangkat ke Yogyakarta untuk melakukan segala bentuk pendaftaran ulang, mengurus segala berkas, survei tempat tinggal, dan sebagainya.

Senja berharap Fajar bisa menemaninya di Jogja sebelum berangkat ke Jakarta untuk mengikuti kelas bahasa Inggris. Namun, harapannya tidak dapat menjadi kenyataan sebab Fajar juga harus tiba di Jakarta minggu depan.

Sudah siapkah Senja berjalan tanpa Fajar? Walaupun ia percaya hubungan mereka akan baik-baik saja, tetapi mengingat segala bentuk kemungkinan menjalani hari-hari tanpa Fajar membuatnya murung dan sedih. Hari-hari bersama lelaki itu sungguh menyenangkan baginya, akan ada banyak kejutan indah tidak terduga yang terjadi saat bersamanya. Senja merasa menjadi perempuan yang paling diistimewakan di kehidupan Fajar. Bagaimana bisa Alleta—mantan Fajar meninggalkannya hanya untuk bersama lelaki yang lain? Senja masih tidak habis pikir.

***

Bagaimana bisa aku menjalani hari-hari tanpamu? Sejak kamu masuk dalam kehidupanku, aku selalu takut akan ada kemungkinan kehilangan yang selanjutnya. Kau selalu membuatku ingin berada di dekatmu, tanpa ada jarak sedikit pun itu.

Sekarang dan beberapa waktu di depan sana, tidak ada lagi kita di satu ruang yang sama, walau kita akan terus memeluk cinta yang sama. Melangkah tanpamu selalu membuatku tersesat mencari arah jalah pulang. Sebab hanya kamulah satu-satunya rumah, tempatku pulang dan bercerita.

Dulu, ketika pertama kali kau hadir dalam kehidupanku, mengusik seluruh ketenanganku, dan menghadirkan banyak tanda tanya dalam benakku, saat itu, kau adalah momok mengerikan bagiku.

Sekarang, saat kau berhasil meluluhkan hatiku, memecahkan gunung es-ku, memiliki hatiku, saat itu juga jauh darimu menjadi momok mengerikan bagiku.

Ternyata, begini rasanya dilanda cinta. Setelah memilikinya, kemungkinan-kemungkinan selanjutkan akan hadir menakuti kita, termasuk perihal kehilangan.

Sebab sebuah kata pergi tidak pernah ada jaminan untuk kembali pulang. Mungkin saja ia bisa tersesat di tengah perjalanan sana dan memutuskan untuk mencari jalan yang baru, membangun rumah yang baru.

Semesta...

Tidak bisakah kau jedakan sejenak waktu? Biarkan aku menenangkan hatiku. Aku terlalu takut untuk menerima itu. Walau ku tahu, semua harus ku lawan dengan segala kemungkinan pilu. Pada akhirnya, aku hanya akan menjadi si pemalu yang tidak berani mengatakan satu kata pun kepadamu.

Cara kerja semesta selalu membuatku bingung, bagaimana bisa ia menciptakan pertemuan yang dibumbui dengan rasa nyaman. Setelah memeluk hal itu, semesta kembali mempertemukan kita dengan yang namanya perpisahan. Terdengar aneh, bukan? Untuk apa ada dipertemukan kalau ujung-ujungnya hanya untuk dipisahkan. Mungkin sebaiknya, kita tidak harus saling mengenal agar tidak ada kemungkinan kehilangan.

***

“Lagi mikirin apa, Sayang?” Dewi tiba-tiba memasuki kamar Senja ketika menyadari putrinya sedang termenung entah memikirkan apa.

“Enggak, kok.”

“Enggak salah maksudnya?”

Senja menggarukkan kepalanya yang tidak gatal. “Hehe.”

“Anak mama udah dewasa, udah mau jadi mahasiswa. Jaga diri baik-baik, ya, di sana,” ujar Dewi sambil mengelus lembut rambut Senja.

“Ma, kenapa selalu ada perpisahan di sebuah pertemuan?”

Dewi tersenyum kecil mendengar pertanyaan Senja. Ia memegang bahu Senja dan mengarahkan tubuh Senja menghadapnya. “Kalau Senja lahir, terus hidup sampai berabad-abad sampai keriput dan gak kuat lagi berjalan, tapi enggak ada yang namanya kematian itu gimana? Senja mau?”

Senja berpikir keras, kata-kata mamanya barusan ada benarnya. “Senja kan tahu kelanjutan dari sebuah perpisahan itu tergantung dari apa yang menjadi pilihan kita. Bertahan atau meninggalkan,” lanjut Dewi mengingatkan.

“Iya, sih. Hanya saja, tidak ada jaminan kan kalau kita bertahan seseorang itu tidak akan pernah meninggalkan?”

“Ada, kok. Jaminannya berdoa dan percaya. Kalau kita berdoa dan percaya, niscaya Tuhan akan bekerja dengan sebaik-baiknya, walaupun yang terjadi di luar dugaan kita. Karena sejatinya, yang meninggalkan akan selalu tergantikan dengan yang bertahan. Mungkin kita tidak tahu siapa orangnya, apa bentuknya, yang jelas Tuhan selalu adil menempatkan anak-anak-Nya. Senja ingat, gak? Waktu SMP, Senja harus merelakan impian yang menurut Senja itu terbaik, tapi mungkin itu bukan rencana yang Tuhan berikan untuk Senja. Tuhan menjawabnya lewat papa. Terus, ingat, gak? Beberapa bulan yang lalu papa ngelarang Senja untuk kuliah di luar kota? Eh, beberapa hari itu bisa dengan mudahnya papa bilang iya dan minggu depan Senja sudah harus berangkat ke sana. Segala hal memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, Tuhan punya kemampuan untuk membolak-balikkan hati manusia.”

“Iya, Ma. Senja ngerti apa maksud Mama. Doain Senja, ya, Ma.”

Dewi merangkul Senja, membawa gadis itu pada dekapnya. “Sering-sering cerita sama mama kalau ada apa-apa. Walaupun nanti cuma bisa lewat telepon aja.”

Senja mengangguk, mengiyakan perkataan Dewi. Senja memang selalu tenang menceritakan segalanya kepada Dewi. Baginya, Dewi adalah bukti nyata dari kebenaran rumah, bahkan lebih dari sebuah istana, ia surga dunia, satu-satunya malaikat tidak bersayap yang diturunkan ke dunia untuk menjaganya. Tidak ada satu pun kata yang bisa mendeskripsikan seberapa besar cinta Senja untuk mamanya. Seluas samudra yang tidak terbatas atau mungkin seperti tangen 90° yang bernilai tidak terhingga.

“Nikmati sisa waktu yang ada, jangan terlalu memikirkan apa yang belum terjadi, sebab hari ini adalah hari penuh anugerah yang harus disyukuri.” Tambah Dewi.

***

Senja baru saja ingin memejamkan matanya. Namun, bunyi notifikasi yang berasal dari ponsel menggagalkan niatnya untuk tidur siang.

Senja, gua di bawah. Buruan ganti baju. GPL alias gak pakai lama!

Senja melihat pesan masuk yang berasal dari Fajar. Ia berjalan keluar kamarnya dan mengintip ke bawah. Benar saja, mobil Fajar sudah terparkir di depan rumahnya. Ia segera bergegas kembali ke kamar untuk mengganti baju.

Senja menuruni anak tangga secara tergesa-gesa, gadis itu tampak sudah tidak sabar untuk bertemu dengan sang pacar. Ia berjalan menuju dapur, melihat Dewi yang sedang bermesraan dengan bumbu-bumbu dapur.

“Ma, Senja pergi sama Fajar. Tuh anak udah di depan.”

“Gak masuk dulu?”

“Entar aja, Ma, tunggu pulang. Senja juga gak tahu dia mau ngajak ke mana.”

“Oke. Hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu malam.”

“Siap laksanakan, Bu Bos.” Senja bergegas keluar tanpa menyalami Dewi karena tangannya sedang dibalut oleh berbagai macam bumbu dapur.

“Mau ke mana dan mau cari siapa, ya, Pak?” ujar Senja mengintip di balik jendela. Ia melihat Fajar sedang merapikan rambutnya di spion.

“Mau ke pelaminan, nyarinya pasangan yang bersedia bergandengan sampai ke sana,” jawab Fajar bercanda.

Senja tertawa mendengar jawaban Fajar yang mengada-ada itu. Ia segera berjalan memasuki mobil. “Lo mau curi gua ke mana lagi?”

“Ke mana aja, yang penting sama gua.” Fajar mengedipkan sebelah matanya ketika menyadari wajah Senja yang berubah menjadi manyun mendengar jawabannya.

***

Fajar memberhentikan mobilnya di depan KTM Resort. Senja sudah bisa menebak ke mana mereka akan bermuara. Sebab tidak ada destinasi lain selain Ombak Bar jika sudah berhenti di sini.

“Lagi bulan muda, Mas?” ledek Senja sambil mendorong pelan lengan Fajar.

Ini adalah kali ketiga mereka pergi ke Ombak Bar bersama. Hanya saja perbedaanya Fajar tidak perlu lagi pergi diam-diam membuntuti Senja.

“Mau pesan apa?” tanya Fajar.

“Tumben lo nanya.”

“Barangkali aja lo berkeinginan mencoba yang lain.”

Senja menggelengkan kepalanya pertanda menolak. “No, no, no. Tetap sama!” jawab Senja.

“Siap laksanakan, Buk Pacar. Tunggu di sini sebentar.”

Senja hanya mengangguk dan meraih ponselnya dari saku.

“Ini kali ketiga kita ada di sini sama-sama.”

Senja berusaha mencerna dan mengingat, “Ketiga? Bukannya ini yang pertama?”

“Oh, iya. Kemarin pernah sekali gak sengaja kita bertemu di sini. Tapi ... sekali lagi kapan?” tanya Senja penasaran.

“Lo ingat, gak? Dulu Lo pernah ke sini sama Jingga?”

Senja mengernyitkan dahinya sembari menaikkan sebelah alisnya berusaha mengingat. “Oh, iya, gua ingat. Terus, apa hubungannya sama lo?”

Lihat selengkapnya